Home Blog Page 2

Menikah di Surga

0

1.    Saya Buddhis sejak usia 10-11 tahun.

2.    Pada sekitar subuh hari Minggu, 23 Juli 2017 saya bermimpi yang menakjubkan.

3.    Mimpi itu dimulai dengan saya sedang naik mobil dalam perjalanan kembali ke Jakarta dari luar kota. Saya menelusuri jalan besar dan lebar tetapi tidak dari aspal atau beton melainkan seperti tanah merah tua kehitamam-hitaman yang keras. Tidak ada banyak mobil. Seperti tempat kuno.

4.    Lalu saya sampai di sebuah perempatan dan saya menjadi bingung: apakah harus lurus atau belok kiri?

5.    Saya memutuskan berhenti untuk bertanya.

6.    Saya memasukkan mobil saya ke halaman depan yang luas di depan sebuah sebuah rumah besar tapi terlihat tua.

7.    Saya turun dan melangkah memasuki rumah itu.

8.    Saya melihat ada beberapa orang Tionghoa di dalamnya.

9.    Saya melihat seorang anak muda Tionghoa, berusia sekitar 20 tahun, bertubuh gempal, tingginya sedang saja,  sedang memotong ayam dengan menggorok leher ayam itu terlebih dahulu, kemudian membacok kaki-kakinya hingga putus. Saya menjadi prihatin karena itu melanggar ajaran Buddha.

10. Saya mendekatinya dan berjongkok untuk mencoba menasihatinya dengan ajaran Buddha.

11. Persis sebelum saya mengucapkan perkataan kepada anak muda itu, dari sebelah kanan saya, tiba-tiba saya mendengar suara yang sangat lembut dan sopan,” Papa (atau Koko, kurang jelas), mari kita kembali ke surga untuk menikah.”

12. Saya langsung menengok ke kanan dan melihat seorang dewi (ya dewi dari surga!!!) berdiri di angkasa tidak jauh dari saya. Wajahnya putih bersih, agak bulat, rambut digelung ke atas, berpakaian lengan panjang, latar belakang merah cerah, dengan bunga-bunga warna hijau, biru dll, bercelana panjang dengan warna dan bunga yang sama. Tubuhnya terlihat tinggi, terlihat menawan, tidak langsing, lengannya agak panjang.

13. Hari kelihatannya menjelang sore.

14. Lalu, saya berdiri dan mendekatinya sehingga wajahnya semakin jelas terlihat dan saya menjadi berada cukup jauh dari anak muda Tionghoa itu.

15. Saya bertanya dengan ramah,”Siapakah kamu? Mengapa mengajak saya ke surga dan menikah dengan kamu?”

16. Dia menjawab dengan ramah, lembut dan merdu,” Saya adalah isteri Koko di surga. Saya datang untuk menjemput Koko.“

17. Saya yang biasanya cukup kritis dan keras berubah karena kesopanan dan kelembutannya sehingga saya  memutuskan  menerima tawarannya, terutama untuk membalas sikapnya itu. Saya tidak langsung jatuh cinta. Catatan: (i) Saya tidak pernah berpikir untuk lahir kembali di surga mana pun karenan tujuan akhir Buddhis adalah Nibbana; (ii) Seumpama ada sosok dewa mengajak tukar tempat: saya menjadi dia dan dia menjadi saya, akan saya tolak; (iii) Kondisi saya dua minggu sebelum mimpi ini: tekanan darah normal 120/80, kolesterol, gula darah normal dll;  sering nonton video YouTube ttg kehidupan binatang di Amazon dan Afrika; kemajuan teknologi, komputer dan satelit China; anak bungsu saya baru saja lulus ujian S1-nya; (iv) sehari sebelum mimpi sampai sore sebelum mimpi: ngobrol dua jam dengan tetangga, pergi ke mall, beli buku dll, dengarin lagu-lagu jadul Mandarin dll; 

18. Lalu, saya bertanya lagi,” Sesudah menikah di sana, apakah saya bisa kembali ke bumi manusia?”

19. Dia tersenyum manis sekali dan menjawab dengan cara sama,” Ya, bisa, besok harinya.”

20. Saya langsung ingat bahwa satu hari di Surga Catummaharajika saja sama dengan 50 tahun di alam manusia. Satu hari di Tavatimsa sama dengan 100 tahun di alam manusia.

21. Lalu saya bertanya lagi, juga dengan ramah,” Dari surga manakah kamu ini? Kalau dari Surga Catummaharajika, 1 hari di sana saja sama dengan 50 tahun di sini. Kalau dari Surga Tavatimsa, 1 hari di sana sama dengan 100 tahun di sini. Apakah kamu dari Tavatimsa?”

22. Dia tidak menjawab melainkan tersenyum manis lagi.

23. Saya memperhatikan pakaiannya, tampilannya dan keanggunannya. Saya menduga dia dari Tavatimsa. Mengapa? Menurut pengetahuan saya, penghuni surga Tavatimsa masih memiliki nafsu indrawi yang cukup besar. Karena itulah dia mengajak saya menikah.

24.  Lalu, saya  berkata,” Kamu mungkin dari Tavatimsa. Jika saya menikahi kamu di sana dan kemudian kembali ke bumi manusia esok harinya, itu berarti saya akan sudah 100 tahun meninggalkan bumi manusia dan semua anak serta cucu saya pun akan sudah meninggal dunia. Wah, itu terlalu lama.”

25.  Kemudian saya berkata lagi kepadanya,” Saya ingin mengajarkan Dhamma kepada anak muda itu, juga kepada abangnya dan ribuan orang lain.”

26. Dia membalas,” Kami semua tahu Koko memang sangat bersemangat mengajarkan Dhamma. Tetapi, sekarang ini hanya sedikit orang yang mau mendengarkan Dhamma yang baik itu. Sebagian besar manusia bernafsu untuk kaya, ambisus, terkenal, bersaingan dll. Jadi, percuma saja mengajarkan mereka dengan bersemangat. Juga, Koko sudah terlalu lama meninggalkan rumah/alam kita. Koko juga sudah tua di sini. Waktu Koko sudah habis. Di rumah kita di sana, ada banyak orang sedang menunggu Koko pulang. Mereka kangen dengan Koko. Koko Juga bisa mengajar Dhamma di sana.” 

27. Saya kaget dan bertanya,” Loh saya kan baru berumur 57 tahun?”

28. Dia menjawab dengan lembut,” Ya tetapi sudah cukup dan waktu Koko sudah habis. Harus pulang sekarang juga.”  

29. Karena didesak, lalu saya bertanya,” Bisakah saya ikut kamu dan menikah di sana tetapi kembali ke sini beberapa jam kemudian untuk mengajarkan Dhamma kepada anak muda itu dan abangnya?”

30. Dia menjawab dengan lembut sambil tersenyum manis,. “Ya, bisa.”

31. Catatan: (i) Selama pembicaraan, dia tetap melayang di atas bumi, tetapi tidak jauh dari saya, mungkin 1,5 meter saja; (ii) Biji matanya terlihat jelas, sepertinya hijau tua, (iii) Matanya tidak berkedip-kedip. Karena itu, saya yakin dia adalah dewi dari surga.

32. Saya setuju dan lalu terbang bersama dia.

33. Saya berasa bisa terbang sendiri Karena saya tidak merasa tangan saya dipegang oleh dia.

34. Dia terbang di kanan saya.

35. Lalu, saya memandang ke langit yang putih.

36. Tiba-tiba saya, dengan penuh kesadaran, melihat hanya kegelapan selama beberapa saat.

37. Tidak lama kemudian, saya terbang di angkasa di atas bumi. Saya melihat hutan/pepohonan di bawah dan juga hamparan tanah merah tua yang terbuka, bersama dia. Dia ada di sisi kiri saya.

38. Saya menengok kepadanya dan berkata,” Wah sepertinya kita sudah meninggalkan bumi manusia antara 23-25 tahun lamanya. Mungkin kedua orang kakak-beradik itu sudah tidak di rumah itu sekarang.”

39. Ketika saya baru memulai perkataan itu, dia terbang maju ke arah kiri saya, membalik badannya ke arah saya dan memandang saya.

40. Lalu, dengan lembut dan ramah dia berkata,” Jangan khawatir, Koko. Mereka masih ada di sana ataupun tidak, masalah kecil.”

41. Saya takjub sekali dengan keramahan dan kelembutan suaranya.

42. Saya melihat pakaian saya telah berubah sebagai berikut:

–       Berwarna putih, terlihat tebal, lengan panjang dan menggantung, sekitar 15 cm ke bawah lengan, halus dan ada garis-garis lebar dan pendek berwarna kuning emas;

–       Celana panjang dan lebar, tebal, halus dan juga ada garis-garis lebar berwarna kuning emas;

43. Fisik:

–        Saya merasa badan saya segar sekali

44. Saya melirik ke arahnya dan saya langsung merasa bahwa dia sudah isteri saya.

45. Lalu, saya terjaga dan bangun dari mimpi.

46. Saya langsung merasakan dada kiri saya lega dan nyaman sekali.

47. Perkataannya yang halus dan ramah masih terngiang-ngiang di kuping saya.

48. Esok malamnya saya ceritakan mimpi ini kepada semua anak dan mantu saya, kemudian isteri saya.

50. Atas permintaan sejumlah murid senior saya di bidang terjemahan dan sejumlah teman senior saya di berbagai organisasi, saya menulis dan menyebarkannya untuk kebaikan dan kebahagiaan banyak orang yang dapat memahaminya.

Kesimpulan:

1. Perkataan yang lembut dan sopan serta kejujuran bisa menjatuhkan hati orang yang keras sekali pun.

2. Etikanya yang tinggi selama berbicara dan terbang dengan saya boleh ditiru.

3. Kemungkinan besar sebentar lagi saya akan menjadi bhikkhu.

4. Perkataannya bahwa saat ini sulit bagi manusia untuk mendengarkan ajaran yang baik karena penuh ambisi, nafsu duniawi, bersaingan, sombong dll membuat saya keluar air mata ketika terjaga.

5. Alam bahagia adalah kenyataan dan menunggu kehadiran orang-orang yang bajik. Karena itu, hentikan semua kejahatan dan segera berbuat kebajikan menurut ajaran semua Buddha.

Semoga bermanfaat.

 Jakarta, 25 Juli 2017

Cattamalo T.

– Tinggal di Jakarta, pendidikan S2 Finance, mantan analis saham selama 16 tahun

Tentang Buddhist masuk Surga setelah Praktik Dhamma

0

Ringkasan Artikel:

  1. Masuk surga butuh tekad baja dan konsistensi dalam praktik Dhamma.
  2. Tujuan tertinggi umat Buddha adalah Nibbāna.

Kisah dua orang praktisi Dhamma yang kokoh:

  1. Mendiang mama saya, yang meninggal pada usia 90 tahun:

1. Mampu mengubah pendapatnya dari tradisional menjadi pengikut Dhamma

1. Sekitar 1990, Mama berpesan agar sesudah beliau meninggal, saya membuatkan altar untuk beliau, seperti para leluhur kami.

2. Tetapi, sejak 1992, yaitu ketika saya kunjungi beliau sekitar 1 minggu sebelum Imlek (Tahun Baru Tionghoa), beliau bertanya tentang beda antara Dhamma dan tradisi Tionghoa. Saya jawab pertanyaan itu dengan jelas dan beliau puas.

3. Pada saat itu juga, beliau nyatakan kepada saya bahwa beliau mencabut pesan beliau tersebut.

4. Beliau  juga nyatakan:

4.1 bercita cita utk lahir kembali di surga karena sudah sejak kecil mendengar cerita tentang surga dari banyak orang;

4.2 minta bimbingan saya; dan

4.3 juga minta saya menunjuk seorang adik kami untuk bantu menjaga agar beliau tidak melanggar Dhamma, terutama Pancasila Buddhis, karena saya sering bepergian ke luar kota dll.

5. Saya tekankan kepada beliau tentang manfaat dari praktik Pancasila dan Brahmavihara (metta, karuna, mudita dan upekkha) dan memberi beliau sejumlah contoh dalam kehidupan sehari-hari.

6. Contoh-contoh praktik Pancasila Buddhis:

5.1 Beliau langsung berhenti memesan daging dari langganan beliau;

5.2 Jika ingin makan daging ayam, beliau menyuruh adik kami membeli “bangkai ayam,” yaitu daging ayam yang memenuhi tiga syarat Dhamma: beliau tidak membunuh ayam yang bersangkutan secara langsung, tidak menyuruh orang lain membunuh ayam itu dan tidak mencurigai bahwa ayam itu dibunuh untuk dijual kepada beliau atau adik kami;

5.3 Setiap kali menjelang Imlek, beliau minta agar pemakaian daging dikurangi dan hanya “bangkai” yang dibeli;

5.4 Beliau mengubah perkataan dan pikiran beliau dari negatif menjadi positif sehingga tidak berani mengeluarkan kata-kata yang bersifat memarahi, memaki atau sejenisnya terhadap orang lain, dan mengubahnya dengan banyak kata positif, misalnya, “Senyum donk,” “Kamu pintar dan rajin ya,” dll.

7. Contoh praktik Brahmavihara oleh beliau:

7.1 Beliau menyayangi semua makhluk, yang mencakup binatang, misalnya kucing liar;

7.2 Beliau dengan sengaja membelikan ikan goreng dll untuk diberikan kepada kucing-kucing liar yang sering datang ke rumah beliau, terutama sore hari, lewat celah-celah di bawah pintu gerbang;

7.3 Beliau juga menyediakan air minumnya

8. Sejumlah contoh kebahagiaan beliau karena praktik Dhamma:

8.1 Memberi makan kepada kucing liar

Suatu sore, saya mengunjungi beliau. Ketika melewati pintu gerbang, saya melihat seekor kucing liar sedang makan ikan goreng, yang saya tahu pasti itu pemberian Mama;

Lalu, saya berkata kepada beliau:

8.1.1 Dengan memberi makan kepada kucing itu, Mama sudah menyelamatkan dua jenis hewan: kucing itu dan para tikus yang ada di gudang dekat pintu gerbang. Kucing itu menjadi kenyang dan lalu pergi. Para tikus di gudang itu menjadi merasa aman dari ancaman dimakan oleh kucing itu. Jadi, Mama juga sudah melakukan abhaya dāna, yaitu menyelamatkan para tikus itu dari rasa takut dan bahaya (bhaya).

8.1.2 Ketika mendengarkan penjelasan saya, beliau terlihat bahagia sekali. Beliau berujar,”Oh,  betapa indahnya Dhamma!!! Kenapa baru setua ini aku merasa kebahagiaan ini (beliau berusia sekitar 65 tahun pada waktu itu, tahun 1995).” Lalu, beliau memejamkan mata sebentar untuk menikmati kebahagiaan itu.

8.2 Beliau menghapuskan utang orang kepada beliau

8.2.1 Suatu hari Minggu, seorang wanita keponakan jauh beliau datang untuk pinjam uang guna membayar uang sekolah, uang daftar ulang, buku dll. untuk anak-anaknya. Beliau langsung memberikan pinjaman itu.

Setahun kemudian, keponakan itu datang lagi dan minta maaf karena belum bisa bayar kembali pinjamannya dan mau pinjam uang lagi untuk keperluan yang sama. Beliau langsung berikan pinjaman lagi.

Dua tahun kemudian, keponakan itu datang lagi.

Pada saat itu, saya kebetulan juga baru masuk ke rumah Mama. Saya menyapa keponakan itu, lalu pergi ke kamar Mama.

Saya lihat beliau sedang merenung dan saya tanya mengapa tidak menjumpai keponakannya di ruang tamu.

Jawab beliau,”Aqu lagi bingung nih. Dia sudah dua kali utang dan belum kembalikan sama sekali. Tadi aqu lihat wajahnya sendu dan aqu yakin dia mau utang lagi nih.”

Saya tersenyum dan berkata dengan lembut,” Mama, ini adalah kesempatan yang tepat untuk praktik karunā, yaitu menolong dia lagi dengan uang, dan juga praktik abhaya dāna, yang menghilangkan kecemasan dari dirinya, anak-anaknya dan juga suaminya karena sedang kejepit kebutuhan uang yang penting sekali dan sekaligus harus menanggung rasa malu bertemu dengan Mama karena belum bayar dua bon utangnya.”

Saya tambahkan,”Mama juga perlu jelaskan kepada dia bahwa (i) Mama menghapus dua bon utangnya dan menganggapnya sebagai ang pau kepada anak-anaknya; (ii) Dia boleh minta uang lagi kepada saya jika benar-benar perlu; dan (iii) kasih tahu suami dan anak-anaknya bahwa kita adalah saudara sejati sehingga enggak perlu malu minta uang yang memang benar-benar penting.” 

Mama langsung gembira sekali dan membuka laci uang beliau. Tetapi, beliau tidak jadi ambil uang, lalu, berkata kepada saya,” Aqu belum tahu nih dia mau utang berapa lagi. Jadi, aqu akan tanya dia dulu.”

Singkat cerita, saya kemudian melihat keponakan itu memeluk Mama sambil berurai air mata, mengucapkan banyak terima kasih dll, lalu keluar.

Mama tersenyum bahagia sekali, lalu duduk, memejamkan mata untuk menikmati kebahagiaan hasil praktik Dhamma dan berujar,”Oh, indahnya Dhamma Sang Buddha!!! Uang yang tidak berapa banyak itu ternyata sangat berguna untuk keponakan saya dan keluarganya. Semoga anak-anaknya rajin dan cerdas.”

9. Sekitar 2014, Mama terkena dua kali stroke ringan sehingga beliau tidak bisa bangun dari ranjang dengan mudah. Saya menasihati beliau untuk selalu ingat kebaikan-kebaikan beliau dan juga keindahan Dhamma Sang Buddha sehingga pikiran beliau bahagia, tenang dan damai.

10. Fenomena sekitar 3-4 jam sebelum meninggalnya Mama pada 14 Juli 2018

10.1 Pada Sabtu sore 14 Juli 2018, saya ditelepon oleh adik laki-laki kami untuk segera datang ke rumah Mama karena Mama mulai muntah-muntah dan kelihatannya sedang kritis.

10.2 Saya sampai di rumah Mama sekitar jam 4.00 sore. Saya melihat sejumlah tetangga, pemilik toko dan warung di sekitarnya sedang berkumpul di dekat pintu gerbang rumah beliau. Mereka terheran-heran oleh sejumlah fenomena alam yang sedang berlangsung ketika itu. Mereka bertanya kepada saya, “Mengapa suasana  sahdu sekali? Ini kali pertama terjadi di lingkungan kita,”

Saya jawab,” Mama sedang sakit dan kelihatannya akan pergi karena sudah muntah-muntah.”

10.3 Ketika saya masuk ke halaman rumah Mama, adik laki-laki kami itu sedang berdiri di halaman rumah Mama dengan sejumlah keponakan dan kakak ipar tertua kami. Saya tanya adik kami itu mengapa dia tidak menjaga Mama yang sedang kritis. Dia jawab,”Saya dan mereka sedang mengamati sejumlah fenomena alam sejak sekitar 1 jam lalu.”

10.3.1 Fenomena itu:

  a. Timbul satu buah bulan kecil yg cerah persis di atas rumah Mama,

b. Hujan rintik-rintik sekali;

c. Suasana sahdu sekali;

d. Angin di sekitar kami bertiup lembut padahal biasanya bertiup agak kencang dan berisik karena lewatnya banyak mobil di jalan raya di depan rumah Mama;

e. Daun pohon-pohon besar di sana yang biasanya berisik karena diterpa oleh angin dari jalan raya itu ternyata sunyi dan hanya bergerak ke berbagai arah perlahan-lahan;

f. Dll

10.4 Kakak ipar tertua kami itu, wanita yang sejak kecil diketahui punya kemampuan “melihat,” berkata dengan jelas kepada kami,” Lihat, di dekat bulan itu! Ada kereta kencana (emas) terlihat seperti sedang menunggu seseorang!!!”

10.5 Lalu, saya masuk ke kamar Mama dan melihat beliau sudah lemah, tetapi masih bisa mendengar percakapan jika diucapkan cukup keras. Saya membisiki beliau agar ucapkan kata “Buddho” terus-menerus. Lalu, saya mengajak sejumlah anggota keluarga untuk membaca paritta untuk orang sakit.

Di kamar Mama, ada altar kecil dengan sebuah rupang Buddha. Sesudah baca paritta, saya berkata,” Sang Buddha, sudah puluhan tahun Mama bercita-cita untuk lahir kembali di surga jika wafat. Apabila buah karma baik beliau belum cukup, bantulah beliau agar mencapai cita-cita beliau. Terima kasih, Sang Buddha.”

10.6 Begitu selesai berkata demikian, saya memandang wajah Mama dan saat itu juga beliau “pergi untuk selama-lamanya.”

11. Kakak ipar tertua kami berkata,” Oh, rupanya kereta kencana itu menjemput Mama!!!”

12. Wajah Mama terlihat tenang, sejuk dan bahagia.

13. Empat hari kemudian, kami mengkremasi jenazah beliau dan menyempurnakannya di laut menjelang sore.

14. Hari masih sore ketika saya dalam perjalanan pulang dari acara itu dan duduk di kursi depan di samping sopir. Tiba-tiba muncul wajah Mama dengan pakaian “keren” dan berkata,” Terima kasih ya sudah mengajarkan Dhamma kepada saya. Sekarang saya di alam bahagia.”

B. Tentang mendiang adik laki-laki saya, yang meninggal pada usia 57 tahun pada 14 Desember 2019

1. Dua hari sesudah kremasi Mama pada Juli 2018, dia bilang kepada saya,” Mulai saat ini, keyakinan saya pada ajaran Sang Buddha mantap. Saya mau dalami dan praktikkan selama sisa hidup saya. Saya mau kumpul kembali dgn Mama di surga.”

2. Dia bersumpah tidak akan melanggar Pancasila Buddhis.

3. Dia juga cukup aktif meditasi dan bahkan sangat aktif dorong orang lain ikut meditasi di sebuah vihara.

4. Dia ikut sejumlah grup WA Dhamma.

5. Sejak dia jatuh sakit ringan sekitar 1,5 bulan lalu, dia semakin curahkan waktunya untuk renungi Dhamma dan kikis kilesa dari pikirannya.

6. Saya jumpa dia kali terakhir pada Jumat malam lalu, 13 Desember 2019, dan lihat dia sedang baca dan kirim pesan-pesan Dhamma lewat WA.

7. Pagi ini, dia bangun tidur sekitar jam 4 pagi, lalu jalan ke kamar kecil. Dia ke dapur untuk makan sedikit, kembali ke kamarnya, terlentang, lalu pergi selama-lamanya sekitar jam 5.15 pagi.

8. Kami membawanya ke rumah duka.

9. Wajahnya tersenyum, mirip sekali dengan keadaannya sehari-hari. Ketika peti matinya akan ditutup, kami mengajak banyak teman dan tamu untuk melihatnya. Mereka takjub sekali. Bahkan abang kami dan isterinya berkata bahwa selama berpuluh-puluh tahun melihat wajah orang meninggal, baru kali ini mereka melihat wajah orang meninggal (yaitu adik kami) tersenyum cerah!!!

10. Seorang wanita teman keluarga kami membantu membuat sejumlah kue untuk para tamu di rumah duka. Esoknya dia bercerita kepada kami bahwa adik kami mendatanginya dalam mimpi dan, dengan ramah, mengucapkan terima kasih kepadanya sebagai berikut,” Ci, terima kasih banyak ya sudah membuat kue untuk acara saya.”

11. Dua hari kemudian, kami mengadakan upacara Buddhis untuk kremasi.

12. Sesudah kremasi, seorang mantu saya membawa sisa kremasi jasad adik kami ke laut dan menyempurnakannya di sana. Hari sudah sore, sekitar jam 4.00. Sesudah selesai, mantu saya masuk ke mobilnya dan menutup pintu mobilnya untuk menghidupkan mesin mobilnya. Tiba-tiba mendiang adik kami, dengan pakaian dan senyuman sehari-harinya, muncul di sebelah kanan mantu saya (di luar mobilnya) dan, sambil tersenyum ramah, mendiang adik kami berkata,” Terima kasih ya sudah menyempurnakan jasad saya.”

Semoga bermanfaat.

Cattamalo Tjan

Jakarta, 16 Desember 2019

Catatan: Kisah di atas hanya sebagian dari fenomena yang kami alami dan lihat tentang Mama dan adik kami itu sebelum dan sesudah mereka meninggal.

Pikiran yang labil

Dhammapada Stanza No. 33

Phandanaṃ capalaṃ cittaṃ – durakkhaṃ dunnivārayaṃ
ujuṃ karoti mēdhāvī – usukāro’va tējanaṃ’

Terjemahan Indonesia-nya:

Pikiran yang labil, berubah-ubah, sulit dijaga (dari objek-objek indra), sulit dikendalikan, orang bijak luruskan, bagaikan pembuat panah meluruskan anak panahnya.

Latar belakang:

Sang Buddha membabarkan ceramah Dhamma ini ketika beliau sedang berdiam di gunung Cāliya kepada Bhikkhu Mēghiya, pelayan beliau pada saat itu. Ada sebuah hutan mangga di tepi Sungai Kimkālā. Hutan itu bagus untuk meditasi. YM Mēghiya minta ijin dari Sang Buddha untuk pergi ke hutan itu untuk bermeditasi. Walaupun Sang Buddha telah menolaknya dua kali, pada kali ketiga Sang Buddha memberikan ijin. YM Mēghiya pergi ke hutan, tetapi tidak mampu mengendalikan pikiran beliau dan berbagai macam perasaan indrawi muncul di pikiran beliau. Beliau gagal dalam upaya beliau dan kembali kepada Sang Buddha serta menjelaskan apa yang telah terjadi ke pikiran beliau. Pada saat itulah Sang Buddha memberikan ceramah tentang isi stanza ini.

Penjelasan:

Apa arti perkataan ” Phandanaṃ capalaṃ cittaṃ?”Artinya adalah pikiran kita selalu bergetar, gemetar dan labil. Ia berubah-ubah sesuai dengan berbagai macam objek yang muncul ke mata kita dan organ-organ indrawi yang lain. Sulit menjinakkannya walaupun sekejap, mirip dengan seorang bayi yang tidak bisa diam dalam satu posisi walaupun sekejap. Pikiran kita berlari ke berbagai macam objek. Itulah sifat pikiran. Pikiran yang tidak dikendalikan (capalaṃ cittaṃ) selalu mengejar kesenangan indrawi dan tidak dapat menjauhkan dirinya dari objek indrawi. Pikiran sangat sulit dijaga karena ia mirip dengan seekor lembu yang makan jagung atau tanaman padi yang sedang tumbuh (kiṭṭhakhādaka gono viya).

Di stanza ini, dunnivārayaṃ berarti bahwa sulit membersihkan dan selalu cenderung memperhatikan objek-objek yang tidak umum atau pudendum muliebre (visabhāgha ārammana). Kita perlu membersihkan dan menyegarkan pikiran kita, tetapi hal itu adalah tugas yang sangat sulit karena pikiran kita selalu mencari objek yang tidak umum dan berbeda-beda.

‘ujuṃ karoti mēdhāvī’ –artinya adalah orang bijak (mēdhāvī) meluruskan pikirannya yang bergetar-getar, bagaikan seorang pembuat panah meluruskan anak panahnya. Walaupun tinggal di hutan, orang bijak melakukan seperangkat praktik yang menghasilkan keadaan atau sesuai dengan sebuah dhuta, yaitu menjadi seorang yang cermat sekali atau terhormat. Ia (dhuta) menghancurkan kotoran-kotoran batinnya dengan memakai pikiran yang yakin atau penuh keyakinan. Ia memperkuat meditasi ketenangan (samatha bhāvanā) dan vipassana bhāvanā (meditasi pandangan terang atau pandangan mendalam) untuk memperkuat ketenangan dan mawas diri. Orang-orang bijak meluruskan pikiran mereka dengan memakai kekuatan pikiran yang telah diperkuat atau dimajukan. Dalam konteks agama Buddha, kekuatan itu dianggap sebagai daya yang paling besar, energi dan tenaga yang tertinggi di dunia. Pikiran dapat diperkuat atau dimajukan secara sekuler maupun spiritual.

Pikiran sekuler yang telah diperkuat atau dimajukan: pikiran tersebut mampu menciptakan atau menemukan banyak benda yang baru, misalnya komputer, pesawat ruang angkasa ulang-alik, senjata nuklir.

Pikiran spiritual yang telah diperkuat atau dimajukan: pikiran tersebut mampu memahami sifat sejati manusia, alam raya dan semua makhluk lain serta empat kebenaran mulia. Ia berfokus pada kesejahteraan semua makhluk dan akan menghasilkan tindakan-tindakan yang welas-asih, produktif dan besar.

bhāvanā berarti penumbuh-kembangan pikiran seseorang, pemerkuatan atau pemajuan pikiran secara spiritual, pemerkuatan atau pemajuan pikiran melalui pikiran, perbuatan dan perasaan yang bajik. Hal itu benar-benar merupakan salah satu kekuatan besar pikiran (bhāvanā bala). Hal itu juga merupakan salah satu kegiuran atau kesenangan dengan penumbuh-kembangan diri (bhāvanārāma) bagi orang-orang bijak. Pikiran yang telah ditumbuh-kembangkan dengan mudah melihat sifat sejati dunia ini, manusia dan hal-hal lain, sifat kehidupan samsāra yang tidak dapat diakhiri, yaitu siklus terus-menerus kelahiran dan kematian semua makhluk secara tiada henti.

Catatan: Latar belakang dan penjelasan ditulis dalam bahasa Inggris oleh Prof. Bhikkhu Seevali, Ph.D, dan stanza Pali-nya diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, www.tjansietek.com

Senang dengan kehati-hatian

Dhammapada Stanza No. 31

appamāda rato bhikkhu – pamāde bhayadassi vā
saṃyojanaṃ anuṃ-thūlaṃ  – dahaṃ aggī’va gacchati’

Arti Bahasa Indonesia:
“Bhikkhu yang senang dengan kehati-hatian atau
melihat bahaya di dalam kelengahan
maju terus, bagaikan api membakar belenggu-belenggu,
yang kecil ataupun besar.”

Latar belakang

Di kota Sāvatthi, seorang bhikkhu mendatangi Sang Buddha dan mempelajari topik-topik untuk meditasi, lalu masuk ke dalam hutan. Keadaan sangat sulit bagi dirinya untuk meningkatkan mutu batinnya. Tetapi, ia tidak menanggalkan upayanya. Ia memutuskan akan mengunjungi Sang Buddha lagi. Di perjalanan, ia mengamati kebakaran hutan yang besar sekali. Ia merenungi pemusnaan yang disebabkan oleh kebakaran itu dan berpikir,” Saya juga seharusnya memusnakan belenggu-belenggu saṃsāra (siklus kehidupan dan kematian yang berulang-ulang) dan, kemudian, saya dapat bebas dari saṃsāra yang berbahaya ini. Pada saat itu, Sang Buddha, setelah mengetahui pikiran sang bhikkhu, membabarkan sebuah khotbah Dhamma kepada sang bhikkhu melalui pembabaran lewat gelombang cahaya. Kemudian, sang bhikkhu menjadi Arahat.

Penjelasan tentang sejumlah istilah bahasa Pali di stanza 31 ini

Mari kita bahas ari stanza Pali ini:
“Bhikkhu yang senang dengan kehati-hatian atau
melihat bahaya di dalam kelengahan
maju terus, bagaikan api membakar belenggu-belenggu dirinya,
yang kecil ataupun besar.”

Stanza ini menjelaskan belenggu-belenggu di kehidupan kita dalam saṃsāra. Karena itu, penting sekali bagi kita untuk mengerti sifat nasib kita. Tanpa memahami belenggu-belenggu itu, kita ada di dalam lingkaran saṃsāra yang berbahaya. Jika kita sedang di tangga kebatinan dan perlu memusnakan belenggu-belenggu proses saṃsāra, pertama-tama kita perlu memahami belenggu-belenggu itu dengan baik. Ada sepuluh belenggu (dasa sañyojana atau dasa saṁyojana) yang mengikat manusia ke roda  saṃsāra.

pamāde bhayadassi vā” berarti melihat bahaya kelahiran di neraka dan tempat-tempat penyiksaan seperti itu.

Kesepuluh belenggu itu adalah sebagai berikut:

  1. sakkāyadiṭṭhi – ajaran tentang roh, mitos tentang adanya aku, spekulasi tentang keabadian atau hal lain tentang keakuan seseorang;
  2. vicikiccā – kebingungan, ketidak-pastian, keraguan tentang Sang Buddha, Dhamma, Saņgha, Pañcasila, kelahiran kembali, kelahiran sebelumnya, karma dll;
  3. Sīlabbataparāmāsa – kemelekatan dengan aturan dan upacara belaka, kegemaran dan khayalan tentang upacara yang tidak ilmiah dan upcara yang membuta;
  4. Kāmacchanda – kegembiraan dengan kesenangan-kesenangan indrawi;
  5. Vyāpāda – niat jahat, keinginan untuk melukai, melakukan perusakan
  6. Rūparāga – nafsu rendah untuk mendapatkan kelahiran kembali
  7. Arūparāga – nafsur rendah untuk mendapatkan kelahiran kembali di alam-alam tanpa fisik;
  8. Māna – kegan, kejumawaan, keangkuhan
  9. Uddhacca – kebingungan yang aneh, pengimbangan secara berlebihan, ketersinggungan, ketergesa-gesaan
  10. Avijjā –  kebodohan batin, yaitu akar kejahatan

Kesepuluh belenggu itu dijadikan dua kelompok, yaitu:

  1. Anu sañyojana atau anu saṁyojana – belenggu halus, yaitu lima belenggu kedua
  2. Thūla sañyojanas atau thūlaṁ saṁyojana – belenggu besar, yaitu lima belenggu pertama

 

Catatan: Latar belakang dan penjelasan ditulis dalam bahasa Inggris oleh Prof. Bhikkhu Seevali, Ph.D, dan stanza Pali-nya diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, www.tjansietek.com

Jangan lengah

Dhammapada Stanza No. 27

Mā pamādamanuyuñjetha – mā kāmarati santhavaṃ
appamatto hi jhayanto –  pappoti vipulaṃ sukhaṃ’

Arti Bahasa Indonesia:
Jangan lekat dengan kelengahan dan juga dengan nafsu kenikmatan indrawi.
Meditator yang tekun pasti mendapatkan kebahagiaan yang berlimpah (Nibbana).

Mari kita perhatikan arti stanza Pali ini:

Jangan ikuti kesia-siaan atau kenikmatan ragawi dan nafsu! Orang yang tekun dan suka meditasi mendapatkan kebahagiaan yang besar sekali.

Sang Buddha secara tegas menasihati para bhikkhu dan umat awam sebagai berikut:” Jangan lengah, jangan malas!” “Jangan buang waktu anda yang berharga untuk hal-hal yang tidak ada gunanya!”

Itulah dorongan dan ilham dari Sang Buddha agar kita berlatih meditasi. Itu juga ilham dari Sang Buddha untuk umat awam agar berlatih meditasi.  Itu salah satu pendorong yang penting sekali oleh Sang Buddha untuk para bhikkhu agar berlatih meditasi.

Jadi, kita harus mengerti kemalasan dan sifat lamban kita untuk berlatih perenungan. Kita harus menghentikan sifat lamban bawaan kita.

‘mā kāmarati santhavaṃ -’ Di baris Pali ini, Sang Buddha memberikan nasihat sebagai berikut:” Jangan lekat pada kesenangan indrawi!”,  “Jangan mabuk dengan kenikmatan dalam kesenangan indrawi.”

Kemelekatan pada hal-hal indrawilah yang tidak boleh dilakukan. Nafsu untuk mendapatkan kesenangan indrawi atau mengejar kesenangan sangat merugikan dan sia-sia secara batin. Seluruh dunia sedang mengejar kesenangan duniawi saat ini. Masyarakat kita dikuasai oleh nafsu untuk mendapatkan kesenangan indrawi.

Benar bahwa kesenangan indrawi ada (kāma-nandī) dan pernyataan itu tidak salah. Seseorang boleh menikmati kesenangan indrawi, tetapi kita juga harus mengerti bahwa kesenangan ragawi tidak memberikan kebahagiaan yang bertahan lama. Ia adalah salah satu jenis kebahagiaan tetapi jenis kebahagiaan yang rendah, yaitu jenis kebahagiaan yang hina. Pengejaran kesenangan duniawi (kāmānusārin) menjadikan kita buta terhadap kenyataan. Karena itu, kita tidak melihat kenyataan, tidak mengerti dunia ini sebagaimana adanya karena kita dibutakan oleh kesenangan duniawi.

Ketika seseorang sangat lekat pada kenikmatan indrawi, ia bagaikan kerbau liar yang belum dijinakkan. Ia tidak melihat satu pun perbedaan antara hal yang baik dan yang buruk. Ia tidak patuh dengan ayah atau ibunya atau guru yang mana pun.

vipulaṃ sukhaṃ – yang berarti kebahagiaan yang tertinggi adalah tujuan tunggal agama Buddha. vipulaṃ sukhaṃ berarti Nibbāna, yaitu kebahagiaan yang tertinggi di dunia. Tidak mudah untuk mendapatkannya. Orang yang berlatih meditasi (atau jhāyanto) sedang ada di perjalanan batin itu.

Sekali lagi, untuk berlatih meditasi, kita benar-benar perlu tekat yang teguh, kesungguhan yang tulus dan kemauan yang keras.

Orang-orang yang berlatih meditasi adalah salah satu pelipur lara bagi dunia ini, yaitu penghiburan satu-satunya bagi masyarakat yang sedang gelisah ini. Energi mental para meditator itu menimbulkan kebahagiaan bagi anda dan juga rasa senang bagi dunia ini.

Catatan: Latar belakang dan penjelasan ditulis dalam bahasa Inggris oleh Prof. Bhikkhu Seevali, Ph.D, dan stanza Pali-nya diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, www.tjansietek.com

Pengendalian diri

Dhammapada Stanza No. 25

Uṭṭhānena’ppamādena – saññamena damena ca
dīpaṃ kayirātha medhāvī   –  yaṃ ogho nābhikirati

Arti Bahasa Indonesia:
Dengan kegigihan, kehati-hatian, kendali diri dan kuasai diri, orang bijak sebaiknya membuat pulau (untuk dirinya) yang tidak akan dilanda banjir.

Latar belakang: Culla-panthaka dan Mahā-panthaka adalah dua orang bersaudara yang lahir di sebuah keluarga kaya di Kota Rājagaha. Ketika mereka dewasa, kakek-nenek mereka mengurus mereka. Mahā-panthaka sangat ingin menjadi bhikkhu dan masuk Sańgha. Dengan persetujuan kakek-neneknya, Mahā-panthaka pun menahbiskan Culla-panthaka, tetapi Culla-panthaka ternyata bodoh karena selama empat bulan ia tidak mampu menghafal satu stanza pun. Mahā-panthaka minta dia meninggalkan Sańgha, tetapi Culla-panthaka sedemikian cintanya pada ajaran Sang Buddha sehingga ia tidak ingin kembali ke kehidupan sebagai umat awam. Ketika Culla-panthaka sedang berjalan keluar, Sang Buddha bertemu dengannya, membawanya ke vihara, menghibur dan menasihatinya. Kemudian, Culla-panthaka mencapai tingkat Arahat.

Penjelasan
Arti stanza Pali ini “Dengan kegigihan, kehati-hatian, kendali diri dan kuasai diri, orang bijak dapat membuat pulau untuk dirinya yang tidak dapat dilanda banjir.”

Uṭṭhānena – dengan segala daya-upaya, yaitu upaya keras untuk memperkuat pikiran dan energi batin, yaitu untuk meningkatkan sifat-sifat bajik yang sudah ada.

appamādena – dengan kehati-hatian, kewaspadaan, kesungguhan. Di stanza ini, kewaspadaan adalah upaya yang terkait dengan perbuatan-perbuatan yang kusala atau bajik.

saññamena damēna ca –dengan kendali diri dan kendali panca indra, terutama pengendalian tubuh dan ucapan. Bagaimana caranya mengendalikan panca indra?   Jawabannya: dengan menerapkan sīla, seseorang dapat mengendalikan panca indranya, yaitu untuk menjalani kehidupan dengan perilaku yang baik dan prinsip-prinsip yang baik. Ajaran yang berbunyi “dengan kendali diri dan kuasai diri” adalah salah satu sifat yang terbesar untuk memehami kehidupan ini. Ajaran itu dapat dipandang sebagai ilmu pengetahuan tentang kehidupan yang nyata.  Dengan sifat yang positif itu, seseorang dapat menjalani kehidupan yang menjadi teladan bagi orang lain. Cara hidup itu tidak merugikan siapa pun di dunia dan cara hidup itu bagaikan berkah yang besar bagi setiap orang di dunia. Apa arti kata ‘damena’? Kata itu berarti dengan penguasaan terhadap panca indra. Penguasaan panca indra itu mendatangkan salah satu kebahagiaan. Apa sajakah panca indra itu?

  1. Mata atau organ untuk melihat (cakkhu),
  2. Kuping atau organ untuk mendengar (sota),
  3. Hidup atau organ untuk membaui (ghāna),
  4. Lidah atau organ untuk bercita-rasa (jivhā), dan
  5. Tubuh atau organ untuk merasakan sentuhan (kāya).

Jika panca indra itu tidak dikendalikan, banyak masalah akan muncul bagi orang yang bersangkutan dan juga orang lain.

medhāvī berarti ‘orang bijak,’ yaitu orang yang tahu teori sebab-musabab tentang fenomena duniawi. Ia tahu bahwa segala hal tunduk pada anicca (perubahan atau ketidak-kekalan). Ia mengerti bahwa seluruh dunia berdiri di atas fondasi yang berupa penderitaan dan kita adalah korban-korban yang tidak bersalah. Kita tidak dapat menjalani kehidupan kita lama sekali; jadi, fenomena duniawi ada di luar kendali kita.

Dengan ‘vipassanā-ñāna’ (pengetahuan yang berupa kemampuan batin untuk melihat kedalam), seseorang dapat melihat segala hal sebagaimana adanya (yathābhūtañanadassana). 

dīpa kayirātha medhāvī  – orang bijak dapat membangun sebuah pulau untuk dirinya . Di baris stanza Pali di atas, kita menemukan sebuah kata yang khusus, yaitu dīpa. ‘Dīpa’ berarti “pulau” atau status Arahat atau Pencerahan atau ‘Nibbāna.’ Ia aman dari banjir air, banjir kebodohan batin dan keinginan rendah yang tidak produktif. Perkataan ‘ya ōghō nābhikīrati’ berarti banjir bandang tidak mampu membanjiri pulau itu, yaitu pulau yang berupa status Arahat. Status itu bebas dari kotoran batin dan semua persoalan mental.

Catatan: Latar belakang dan penjelasan ditulis dalam bahasa Inggris oleh Prof. Bhikkhu Seevali, Ph.D, dan stanza Pali-nya diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, www.tjansietek.com

Meditasi

Dhammapada Stanza 23

Te jhāyino sātatikā – niccaṃ daḷha parakkamā
Phusanti dheerā Nibbānaṃ – yōgakkhemaṃ anuttaraṃ’

Arti Bahasa Indonesia:
Karena bermeditasi dengan gigih dan selalu berupaya dengan kuat, orang-orang bijak menyentuh Nibbana, tempat berlindung yang tertinggi dari kemelekatan.

Di stanza Pali ini, sebutan “jhāyino” adalah sebutan untuk orang-orang bijak yang praktik meditasi, terutama meditasi yang dalam. Mereka adalah orang dengan pikiran yang berhati-hati. Dengan kata lain, mereka adalah orang yang tekun. Mereka memiliki daya yang kuat. Dalam hal ini, daya yang kuat bukan daya fisik melainkan keunggulan batin.

Jhāna adalah ekstasi (rasa bahagia yang besar) atau berbagai tingkat meditasi yang tinggi. Ketika kelima doktrin digabungkan, kelimanya disebut sebagai “jhāna” dalam bahasa Pali atau ‘dyāna’ dalam bahasa Sansekerta. Pada umumnya,  jhāna ‘dyāna’ adalah konsentrasi pikiran yang penuh tekat. Jhāna disebut demikian karena jhāna memikirkan suatu objek secara ketat atau karena ia membakar hal-hal yang negatif atau hambatan-hambatan terhadap pikiran kita.

Apakah kelima doktrin itu? Walaupun agak sulit memahaminya, kita sebaiknya mendengar istilah-istilah itu dan setidak-tidaknya mencoba memahaminya semampu kita.

  1. Vitakka – konsentrasi awal, perenungan, ciri-ciri keterpusatan atau kemantapan; vitakka adalah pengarahan saṁkhāra terhadap objek yang bersangkutan. Ia terkait dengan kesadaran jhāna pertama.
  2. Vicāra – konsentrasi yang terus-menerus, pergerakan dan kemunculan, penyelidikan. Vicāra is konsentrasi pikiran secara terus-menerus pada objeknya; salah satu sifat jhā Ia terkait dengan kesadaran moral jhāna pertama.
  3. Pīti – kegiuran, kebahagiaan, semangat, kegembiraan besar. Ia menggiurkan tubuh.
  4. Sukha – kebahagiaan; dan
  5. Ēkaggata – kesatuan pikiran.

(i) Vitakka – konsentrasi awal and (ii) Vicāra – konsentrasi terus-menerus disingkirkan pada jhāna kedua. Sedikit demi sedikit pengalaman-pengalaman meditator yang bersangkutan berkurang atau diringankan. Jadi, apakah yang dimaksudkan dengan ‘sātatikā’? Istilah itu berarti upaya yang kuat atau upaya terus-menerus yang diterapkan sejak saat menjadi penglepasan hidup keduniawian (menjadi bhikkhu) sampai status Arahat, atau keadaan ketercerahan penuh.

Status itu berunsur dua:

  1. Kāyika viriya – upaya fisik; dan
  2. Cētasika viriya – upaya mental atau pikiran.

Sekarang, mari kita bahas perkataan ‘selalu berupaya dengan kuat.Perkataan itu bermakna upaya yang tanpa akhir, energi pribadi, daya keinginan dan tekat serta upaya-upaya keras untuk mencapai pembebasan. Orang yang demikian tidak berpikiran sama sekali untuk mundur dari perjalanan batinnya. Ia tidak siap untuk menghentikan upayanya. Keadaan itu merupakan salah satu rekreasi atau hiburan bagi dirinya untuk aktif dalam perjalanan yang sulit itu. Hal itu sulit, tetapi ia berpikir “Ini adalah keharusan bagi saya.” Saya seharusnya melakukan tugas saya; ini adalah jalan saya; ini adalah jalan Sang Buddha.”

Phusanti dheerā Nibbānaṃ  – Orang bijak yang demikian menyentuh keadaan Nibbāna, yaitu kebahagiaan yang tertinggi. ‘Dheerā’ berarti orang yang cerdas. Mereka dapat memandang segala hal sebagaimana adanya; mereka melihat kelima gugus (pañcakkhandā) dalam sifat sejati kelima gugus itu. ‘Yōgakkhema’ berarti “keselamatan dari keempat kemelekatan, tanpa rasa takut dari kemelekatan-kemelekatan:

  1. Kāma-yōga – kemelekatan yang berupa nafsu rendah atau kesenangan indrawi;
  2. Bhava-yōga – kemelekatan yang berupa keinginan untuk hidup abadi;
  3. Diṭṭhi-yōga – kemelekatan yang berupa pandangan keliru, dan
  4. Avijjā-yōga – kemelekatan yang berupa kebodohan batin.

Catatan: Latar belakang dan penjelasan ditulis dalam bahasa Inggris oleh Prof. Bhikkhu Seevali, Ph.D, dan stanza Pali-nya diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, www.tjansietek.com

Kehati-hatian

Dhammapada Stanza No. 21   ‘Appamādō* amatapada – pamādo maccuno pada
                                            Appamattā na miyanti – ye pamattā yathā matā’

Kehati-hatian* adalah jalan menuju Nibbāna, kelengahan adalah jalan menuju kematian; orang yang hati-hati tidak mati, tetapi orang yang lengah bagaikan telah mati.
*appamādo*: kesadaran dan perhatian sepanjang waktu, atau sati sepanjang waktu

Latar belakang: Māgandiyā adalah salah seorang putri Brahmana Māgandiya. Ketika Sang Buddha menolak tawaran sang brahmana untuk menikahi Māgandiya, kedua orangtua Māgandiyā masuk ke Sańgha Bhikkhu dan Sańgha Bhikkhuni sehingga menjadikan Māgandiyā mengurus pamannya. Sang paman membawanya ke hadapan Udena, raja Kosambi, yang mengangkatnya sebagai isteri utamanya. Sang raja memberinya 500 orang dayang. Māgandiyā marah kepada Sang Buddha karena menyebutnya sebagai “bejana kotoran” dan, ketika Sang Buddha datang ke Kosambi, Māgandiyā merencanakan pembalasan dendamnya. Pada suatu kali Māgandiyā menyewa seorang seorang budak untuk merncerca Sang Buddha di jalan-jalan. Māgandiyā juga berkomplot dengan pamannya terhadap Sāmawati, isteri lain sang raja. Mereka menyuruh semua tiang di rumah Sāmawati,dibungkan dalam kain, direndam ke minyak dan, ketika Sāmawati dan para pengiring wanitanya, rumahnya dibakar. Setelah mengetahui kejahatan Māgandiyā, sang raja menyiksa dan membunuh Māgandiyā dan jug sanak-keluarganya.

Baris-baris stanza Pali ini menjelaskan sebuah hal sangat penting yang terkait dengan hidup seseorang. Jika kita memperhatikan arti ketiga baris stanza ini, ketiganya beriring bersamaan. Kesungguhan atau kerajinan adalah jalan menuju Nibbāna; kelengahan adalah jalan menuju kematian. Orang yang bersungguh-sungguh tidak tidak mati, tetapi orang yang lengah bagaikan sudah mati.

Ada suatu kebenaran yang perlu kita ketahui, yaitu “kesungguhan adalah jalan menuju Nibbāna. Kelengahan atau kealpaan adalah jalan menuju kematian.” Setelah mengerti kebenaran itu, beberapa orang mempraktikkan doktrin-doktrin tertentu untuk memajukan kesungguhan. Mereka sudah maju dalam kesungguhan dan bahagia dalam kesungguhan. Mereka bahagia mengetahui para Orang Suci atau orang-orang yang luhur. Orang-orang yang bijaksana, mantap dan selalu memiliki daya-daya yang kuat, mencapai Nibbāna. Itulah arti ketiga baris stanza ini.

Arti “kesungguhan atau ketekunan:” ketekunan adalah tidak adanya kesembronoan, suka-ria, atau kelengahan. Ketekunan adalah salah satu sifat pikiran yang sangat maju. Singkatnya, ketekunan adalah salah satu ajaran yang sepenuhnya menentang kelengahan. Sekali lagi, ketekunan adalah kehati-hatian dalam perbuatan dan pikiran yang baik atau menguntungkan, yaitu perbuatan dan pikiran yang kusala serta kebajikan, perbuatan yang bajik atau pemerkuatan energi-energi kebajikan. Dengan perkataan lain, kehati-hatianlah yang memperkuat perbuatan yang bersih. Karena itu, dikatakan bahwa semua kebajikan dinyatakan berakar pada kesungguhan atau appamāda. (= menurut Sang Buddha, “Yē kēci kusalā dhammā sabbe tē appamādamūlakā,’ yang artinya adalah “keadaan-keadaan batin baik yang mana pun, semuanya berakar pada kesungguhan”).

Ada satu lagi ucapan Sang Buddha, yaitu ‘Ēko dhammo bahūpakāro, katamo ekadhammo appamādo kusalesu dhammesu’ Apa arti formula dalam bahasa Pali itu?  perantara pendukung yang utama untuk semua perbuatan dan pikiran yang kusala adalah appamāda or ketekunan.
Dalam hal ini, perbuatan yang kusala (atau perbuatan yang menguntungkan adalah: menjalani sīla, pengekangan organ-organ indrawi, tahu kecukupan dalam makanan, dan penerapan kewaspaan atau keterjagaan. Setiap orang dapat memperkuat atau meningkatkan kebajikan-kebajikan dan perbuatan yang kusala dengan bantuan appamāda.  Semua kebajikan dan perbuatan yang kusala didukung atau dilindungi oleh appamāda. Itulah jalan satu-satunya. Tidak ada satu pun jalan lain.

Catatan: Latar belakang dan penjelasan ditulis dalam bahasa Inggris oleh Prof. Bhikkhu Seevali, Ph.D, dan stanza Pali-nya diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, www.tjansietek.com

Pikiran yang cemas

Dhammapada Stanza 34

Vārijova thale khitto okamokata ubbhato pariphandatidaṁ cittaṁ māradheyyaṁ pahātave.

Arti bahasa Indonesia-nya:
Versi 1: Bagaikan ikan yang dikeluarkan dari air dan dilemparkan ke tanah kering, pikiran ini menggelepar-gelepar untuk keluar dari genggaman Māra (yaitu lingkaran kotoran batin atau nafsu rendah).

Versi 2: Bagaikan ikan yang dikeluarkan dari air dan dilemparkan ke tanah kering, pikiran ini menggelepar-gelepar untuk keluar dari lingkaran kotoran batin.

Latar belakang: Kisah yang sebelumnya tentang Mēghiya, yaitu stanza 33, terkait dengan stanza ini.

Penjelasan tentang sejumlah istilah Pali:
Bagaikan ikan yang dikeluarkan dari air dan dilemparkan ke tanah kering, pikiran kita menggelepar-gelepar, bergoyang-goyang dan bergetar.

Di stanza ini, kata Pali “oka” memiliki dua arti, yang pertama: “tempat yang nyaman, atau ‘tempat bernaung,’ atau “tempat tetirah’ (“atau kemelekatan”), dan  yang kedua: “tempat yang berair.”

Karena itu, “okamokata ubbhato” berarti “dikeluarkan dari tempat yang berair.” Kata “thala” memiliki arti umum sebagai “tanah kering.” Istilah itu terutama menjelaskan keadaan “tanpa rumah” dan juga “Nibbāna.”

Status Arahat dan Nibbāna tidak dapat ditekan-tekan, atau dihancurkan oleh banjir besar yang berupa kilesa (atau kotoran batin) atau dari racun batin (āsavā). Nibbāna dianggap sebagai “thala” karena Nibbāna jauh dari tiga nafsu, yaitu nafsu indrawi, nafsu yang berupa kebencian dan nafsu yang berupa kebodohan batin.

Istilah Pali “maradheyyam’ terkait dengan arti kebenaran atau kenyataan tentang semua makhluk. Istilah itu berarti “lingkaran kotoran pikiran atau nafsu rendah:”

  1. Moha atau kebodohan batin yang menyebabkan kelahiran berulang-ulang di saṃsāra yang tidak dapat ukur, tidak dapat dihitung dan tidak dapat dipahami.
  2. Gagasan tentang “aku, diriku dan milikku,” yang merupakan fondasi sesungguhnya untuk timbulnya segala penderitaan dalam kehidupan; dan
  3. Penggenggaman, pemegangan yang terus-menerus, pencengkeraman atau kemelekatan.

Dalam hal ini, ada empat jenis kemelekatan atau upādānāni yang tercantum di Tipitaka:

  1. Kāmūpādāna – kemelekatan yang timbul dari keinginan indrawi;
  2. Diṭṭhiupādāna – kemelakatan yang timbul dari spekulasi atau pandangan atau ajaran yang salah
  3. Sīlabbatūpādāna – kemelekatan dari keyakinan pada ritual atau upcara keagaman atau keyakinan; dan
  4. Attavādūpādāna – kemelekatan yang timbul dari kepercayaan pada teori tentang roh

Sifat labil pikiran kita tidak dapat dikendalikan sebelum kita memusnahkan kotoran-kotoran batin kita yang kaku. Jadi, kita perlu mengerti kemelakatan pada nafsu, spekulasi, ritual sekedarnya yang tidak ilmiah, dan pada teori tentang roh.

Untuk semua hal itu, agama Buddha menyarankan pentingnya meditasi. Juga, istilah Pali “māradheyyam” memiliki arti sebagai “lingkaran yang terdiri atas tiga dasar atau tebhumika vatta:”

  1. Lingkaran perbuatan atau kamma vaṭṭa: lingkaran ini adalah saṃkhāra dan kamma bhava saṃkhāra berarti daya unsur pembentukan, yaitu gabungan kondisi-kondisi atau sifat-sifat yang merupakan kehidupan atau menimbulkan kehidupan atau keberadaan, atau kondisi-kondisi inti, kegiatan yang terkoordinir, unsur-unsur batin, atau sifat-sifat yang muncul bersamaan dengan pikiran. Lingkaran perbuatan atau kamma berarti prasyarat untuk tindakan, ucapan dan pikiran. Kamma bhava beradaan keberadaan sesuai dengan perbuatan atau kamma.
  2. Lingkaran kilesa atau kilesa vaṭṭa: Avijjā (kebodohan batin), taņhā (nafsu rendah and upādāna (kemelakatan).
  3. Lingkaran hasil atau buah (vipāka vaṭṭa): Viññāna (kesadaran), nāma-rūpa       (batin dan materi), saļāyatana (keenam buah organ indrawi), phassa (persentuhan), vēdanā (perasaan).

Ketiga lingkaran itu disebut sebagai “māradheyyaṃ” karena ketiganya adalah kondisi-kondisi atau unsur-unsur perilaku Māra atau Iblis. Orang bodoh yang buta terhadap kenyataan dan Dhamma tidak pernah mengerti kondisi-kondisi itu dan pasukan Māra sehingga mereka memasuki jalan jahat dan menimbun energi-energi buruk yang akan menimbulkan akibat atau hukuman yang berat di kehidupan mereka di saṁsara masa depan.

Catatan: Latar belakang dan penjelasan ditulis dalam bahasa Inggris oleh Prof. Bhikkhu Seevali, Ph.D, dan stanza Pali-nya diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, www.tjansietek.com

×

 

Hello!

Click one of our contacts below to chat on WhatsApp

× Apakah ada yang bisa kami bantu?