(Diterjemahkan dari Petāvatthu-aṭṭhakathā 5: Tirokuḍḍhapetāvatthuvaṇṇā bahasa Pali, oleh Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah1978 Tersumpah1997, ke bahasa Indonesia dan Inggris)
“Mereka berdiri di luar dinding-dinding.” Sang Guru Agung yang sedang berdiam di Rājagaha menjelaskan cerita tentang sejumlah besar petā ini. Inilah rinciannya:
Sembilan puluh dua kappa lalu, ada sebuah kota yang bernama Kāsipurī tempat berkuasanya seorang raja yang bernama Jayasena. Permaisurinya bernama Sīrimā dan di dalam rahimnya telah lahir Bodhisatta Phussa yang pada waktu yang semestinya mencapai Penerangan Sempurna (menjadi Buddha). Raja Jayasena menjadi posesif (tidak mau berbagi miliknya untuk dipakai bersama-sama) karena berpikir,”Putraku adalah orang yang telah melakukan Penglepasan Agung dan telah menjadi Buddha. Milikku sajalah Buddha itu, millikkulah Dhamma, milikkulah Saṅgha.” Akibatnya, sepanjang waktu dia sendirilah yang melayani Sang Bhagavā sehingga tidak memberi kesempatan kepada siapa pun.
Ketiga orang adik Sang Bhagavā dari ibu yang lain berpikir, “Para Buddha sesungguhnya lahir demi kesejahteraan dunia keseluruhan, tidak hanya demi keuntungan satu orang; tetapi, ayah kami tidak memberi kesempatan kepada orang lain. Jadi, bagaimana caranya agar kami mendapatkan kesempatan untuk melayani Sang Bhagavā dan Bhikkhu Saṅgha?” Lalu, muncul gagasan ini di pikiran mereka,” Mari kita lakukan suatu upaya!” Karena itu, mereka menjadikan seakan-akan ada gangguan di perbatasan kerajaan. Ketika sang raja mendengar tentang gangguan itu, dia mengirim ketiga orang putra itu untuk mendamaikan daerah perbatasan tersebut. Ketiga orang putra itu pergi dan melakukannya. Ketika mereka kembali ke istana, sang raja senang dan memberikan hadiah kepada mereka dengan berkata,”Ambil apa pun yang kalian inginkan.”Kami ingin melayani Sang Bhagavā,’ kata mereka. “Kalian boleh mengambil apa pun kecuali beliau,” jawab sang raja.”Kami tidak peduli dengan hal lain apa pun,” kata mereka. “Baiklah, tentukan satu batas waktu, lalu ambil beliau.” Mereka mohon untuk tujuh tahun. Sang raja tidak memberikan-Nya. Sehingga mereka mohon secara berturut-turut dan menurun: enam, lima, empat, tiga, dua tahun, lalu turun lagi menjadi selama tujuh, enam, lima, empat dan akhirnya tiga bulan ketika sang raja berkata,” Ambil beliau!”
Mereka mendekati Sang Bhagavā dan berkata,”Bhante, kami ingin melayani Sang Bhagavā selama tiga bulan. Bhante, Sang Bhagavā, mohon terima kami selama masa tinggal tiga bulan di musim hujan (vassāvāsa).” Sang Bhagavā menyetujuinya (dengan berdiam diri). Lalu, ketiga orang itu mengirim surat kepada perwakilan mereka di daerah tempat Sang Bhagavā akan berdiam, yang berbunyi,” Sang Bhagavā akan dilayani oleh kami selama masa tinggal tiga bulan di musim hujan. Pertama-tama, bangun sebuah vihara, lalu adakan segala-galanya yang akan diperlukan untuk melayani Sang Bhagavā.” Perwakilan itu melapor ketika ia telah mengadakan segalanya.
Mereka berpakaian kuning dan bersama-sama dengan 2.500 orang pembantu pria mereka, membimbing Sang Buddha Phussa dan Bhikkhu Saṅgha ke daerah itu, lalu melayani mereka dengan penuh hormat, menyerahkan vihara itu kepada Sang Buddha Phussa dan Bhikkhu Saṅgha dan membantu mereka menghabiskan satu musim hujan di sana.
Bendahara mereka, yang merupakan putra seorang perumah-tangga dan telah menikah, memiliki keyakinan dan kesetiaan.Dengan ketekunan yang semestinya, bendahara itu memberikan barang-barang untuk keperluan persembahan dāna kepada Buddha Phussa dan Bhikkhu Saṅgha yang beliau pimpin. Perwakilan kerajaan di daerah itu menerima barang-barang itu dan bersama-sama dengan 11.000 orang dari daerah itu menyelenggarakan acara persembahan dāna dengan ketekunan yang semestinya kepada Buddha Phussa dan Bhikkhu Saṅgha.
Pada saat itu, ada sejumlah orang berpikiran jahat dan menghalangi, bahkan memakan sendiri dana makanan serta membakar ruang makan yang telah disiapkan.
Pada waktu yang semestinya, ketiga orang adik tiri Buddha Phussa, bendahara dan perwakilan kerajaan itu bersama-sama dengan para pembantu itu lahir kembali di surga demi surga sedangkan orang-orang yang berpikrian jahat itu lahir kembali di neraka demi neraka selama 92 kappa. Kemudian, pada bhaddakappa (kappa yang beruntung) ini, yaitu masa bumi saat ini, di jaman Buddha Kassapa (Buddha sebelum Buddha Gotama), orang-orang yang berpikiran jahat itu lahir kembali sebagai petā. Pada jaman itu, ketika orang-orang mempersembahkan dāna atas nama sanak-keluarga mereka yang merupakan petā, mereka melimpahkan buahnya (yaitu kebajikan yang timbul dari persembahan itu) dengan berkata,”Semoga buah persembahan ini melimpah kepada sanak-keluarga kami!,” dan dengan seketika para petā itu mendapatkan kebahagiaan. Pada saat itu para petā yang mantan orang-orang jahat itu mendekati Sang Buddha Kassapa dan bertanya,”Bagaimanakah caranya agar kami dapat memperoleh kebahagiaan yang serupa itu?” Beliau berkata,” Anda sekalian tidak akan memperolehnya sekarang. Namun, di masa depan, akan ada seorang Sammasaṁbuddha yang bernama Gotama. Di jaman Sang Buddha Gotama itu akan ada seorang raja bernama Bimbisāra, yang merupakan sanak kalian 92 kappa yang lalu. Raja itu akan mempersembahkan dāna kepada Sang Buddha Gotama dan melimpahkan pattidāna (dāna yang berupa kebajikan, yaitu buah persembahan itu) kepada anda sekalian. Lalu, anda sekalian akan mendapatkan kebahagiaan yang demikian.” Konon ketika Sang Buddha Kassapa mengucapkan perkataan itu, bagi para petā tersebut, ucapan itu terdengar beliau berkata bahwa mereka akan mendapatkan kebahagiaan yang demikian hari esoknya.
Lalu, ketika satu jeda seorang Buddha telah berlalu dan Sang Buddha Gotama telah muncul di dunia ini, ketiga orang saudara tiri Sang Buddha Phussa berikut seribu orang lain, meninggal dari surga dan lahir kembali di sebuah marga brahmana di kerajaan Magadha. Pada waktu yang semestinya, mereka menjalani hidup tanpa rumah sebagai petāpa dan menjadi dikenal sebagai tiga orang petāpa berambut kusut dari Gayāsīsa. Perwakilan keluarga mereka di daerah tersebut menjadi Raja Bimbisāra dan bendahara mereka menjadi pedagang kaya-raya Visākha yang isterinya, bernama Dhammadinnā, adalah putri seorang pedagang kaya-raya lainnya sedangkan orang-orang lain dari kelompok mereka muncul muncul sebagai pengiring raja.
Setelah Sang Buddha Gotama muncul di dunia ini dan menghabiskan masa tujuh minggu sesudah Pencerahan Agung-Nya), beliau pergi ke Benares tempat beliau memutar Roda Dhamma untuk kali pertama, mengajar Lima Petāpa (Pañcavaggiya) (sehingga terbentuklah Bhikkhu Saṅgha yang kita kenal sampai saat ini), lalu tiga orang petāma berambut kusut (jatila; yang juga dikenal sebagai Kassapa Bersaudara) berikut 1.000 orang pengikut mereka. Sesudah itu, beliau pergi ke Magadha (untuk memenuhi janji beliau kepada Raja b1 bahwa beliau akan datang ke sana sesudah mendapatkan obat untuk mengatasi usia tua, penyakit dan kematian, yaitu menjadi seorang Buddha). Di sana, pada hari yang sama, Raja Bimbisāra menemui beliau dan beliau menegakkan Raja Bimbisāra pada sotāpatti-phala [yang menjadikan Raja Bimbisāra seorang Sotapanna (Pemasuk Arus, atau Pemasuk Jalan Mulia Berunsur Delapan]. Kemudian, Raja Bimbisāra mengundang Sang Bhagavā dan para bhikkhu ke tempat tinggalnya di Rājagaha pada hari esoknya untuk menerima dāna makanan dan Sang Bhagavā menyetujui undangan itu.
Hari esoknya Sang Bhagavā memasuki Rājagaha bersama Sakka, Raja Dewa, yang menyamar sebagai pemuda dari kalangan brahmana dan berjalan di depan Sang Bhagavā sambil memuji beliau dengan stanza-stanza yang mulai dengan:
“Yang pikirannya terkendali berkumpul dengan sesamanya, yang terbebaskan berkumpul dengan sesamanya; Sang Bhagavā, yang cerah bagaikan permata emas, telah memasuki Rājagaha bersama-sama.”
Di rumah Raja Bimbisāra , Sang Bhagavā menerima mahādāna (dāna yang besar). Pada saat itu, para petā mengelilingi rumah itu karena berpikir “Sekarang sang raja akan melimpahkan dāna itu kepada kami.” Tetapi, ketika sang raja memberikan dāna itu, sang raja hanya berpikir tentang sebuah lokasi untuk dijadikan vihara Sang Bhagavā sehingga bertanya-tanya dalam pikirannya sendiri “Di manakah Sang Bhagavā sebaiknya tinggal?” Jadi, sang raja tidak melimpahkan pattidāna itu kepada siapa pun. Karena itu, para petā putus asa dan pada malam harinya meraung-raung dengan amat sedih dan suara yang sangat menakutkan di sekitar rumah sang raja. Akibatnya sang raja menjadi gelisah dan pikirannya dipenuhi rasa takut dan tubuhnya gemetaran.
Begitu matahari terbit, sang raja menemui Sang Bhagavā dan menceritakan kejadiamn di atas, lalu bertanya “Apakah yang akan terjadi pada diri saya, Bhante?” Sang Bhagavā menjawab “Jangan takut, Maharaja, tidak satu pun bencana akan menimpa anda – anda akan aman-aman saja. Yang sebenarnya adalah para sanak-keluarga anda yang telah menjadi petā telah hidup berkeliling selama satu masa jeda penuh kemunculan seorang Buddha dengan harapan bahwa anda akan mempersembahkan dāna kepada seorang Buddha dan melimpahkan buahnya kepada mereka. Tetapi, ketika anda memberikan dāna kemarin, anda tidak melimpahkan buahnya kepada mereka sehingga mereka putus asa dan meraung-raung dengan amat sedih itu.” sang raja bertanya,”Bhante, akankah mereka menerimanya jika dāna diberikan sekarang?” “Ya, Maharaja.”Kalau begitu, mohon Bhante terima undangan saya untuk menerima dāna hari ini juga dan saya akan melimpahkan buahnya kepada mereka.” Sang Bhagavā menyetujuinya melalui sikap diam-Nya.
Sang raja kembali ke istananya dan menyuruh dāna yang besar disiapkan. Lalu, sang raja menyuruh waktu penerimaan dāna itu diumumkan kepada Sang Bhagavā. Sang Bhagavā pergi ke istana sang raja berikut Bhikkhu Saṅgha dan duduk di kursi yang telah ditentukan. Para petā itu berpikir,” Hari ini kami mungkin mendapatkan sesuatu,” lalu pergi ke istana itu dan berdiri di luar dindin-dinding dan sebagainya. Sang Bhagavā menjadikan mereka semua terlihat oleh sang raja. Ketika sang raja mempersembahkan dāna air, sang raja pun melimpahkan buahnya itu dengan berkata,”Semoga buah persembahan ini melimpah kepada sanak-keluarga saya!” Pada ketika itu juga kolam-kolam yang ditutupi (bunga) teratai dan bakung muncul untuk para petā itu. mereka mandi dan minum di dalamnya. Bersamaan dengan hilangnya penderitaan, kelelahan dan kehausan mereka, tubuh mereka menjadi berwarna emas. Sang raja mempersembahkan bubur beras dan makanan-makanan yang keras maupun lembut serta melimpahkan buah semua itu, lalu, pada saat itu juga bubur beras dan makanan surgawi yang keras maupun lembut muncul. Ketika mereka memakannya, indra-indra mereka bangkit kembali. Sang raja mempersembahkan pakaian dan tempat tinggal serta melimpahkannya, lalu pakaian dan istana-istana surgawi, dengan aneka perlengkapan berikut dipan-dipan dan penutupnya dan sebagainya, muncul untuk mereka. Semua keberuntungan mereka diperlihatkan dengan nyata kepada sang raja sebagaimana Sang Bhagavā memutuskannya. Ketika melihat semua itu, sang raja pun benar-benar bahagia.
Kemudian, setelah Sang Bhagavā menyelesaikan makanan beliau dan makan sekenyangnya, beliau menceritakan Tirokuḍḍhapetāvatthuvaṇṇā (Cerita tentang Petā di Luar Dinding) ini untuk menunjukkan penghargaan beliau:
Cerita tentang Petā di Luar Dinding
Tirokuddapetāvatthu
Pali | Indonesia | Inggris |
1.” Tirokuḍḍesu tiṭṭhanti, sandhisiṅghāṭakesu ca; Dvārabāhāsu tiṭṭhanti, āgantvāna sakaṁ gharaṁ | Versi 1: Di luar dinding mereka berdiri, di pertigaan dan perempatan jalan, juga dekat tiang-tiang pintu, demikianlah setelah mereka datang ke rumah mereka sendiri. | Outside the walls they stand and at two and four-road junctions; at door posts, too, they stand, after they come to their old home. |
Versi 2: Setelah datang ke rumah mereka sendiri, mereka berdiri di luar dinding, di pertigaan dan perempatan; mereka juga berdiri dekat tiang-tiang pintu. | Having come to their old home, outside the walls they stand and at road-forks and crossroads; At door posts, too, they stand. | |
2. Pahūte annapānamhi, khajjabhojje upaṭṭhite; Na tesaṁ koci sarati, sattānaṁ kammapaccayā. | Makanan dan minuman melimpah – makanan yang keras maupun lainnya telah siap, tetapi tidak seorang pun (yang hadir) ingat mereka sebagai akibat perbuatan para makhluk itu sendiri. | Plentiful food & drink–solid and other food- standby, But no one remembers them because of the results of the beings’ own kamma |
Berlimpah makanan dan minuman—makanan yang keras maupun lembut telah siap, Tetapi tidak seorang pun (yang hadir) ingat mereka sebagai akibat perbuatan para makhluk itu sendiri. | ||
3. Evaṁ dadanti ñātīnaṁ, ye honti anukampakā: Suciṁ paṇītaṁ kālena, kappiyaṁ pānabhojanaṁ | Karena itu, memberikan kepada sanak-keluarga itulah orang-orang yang welas-asih: makanan dan minuman yang bersih, istimewa, yang sesuai dan pada waktu yang tepat, sambil berpikir: | Thus those who feel sympathy for their dead relatives give timely, proper food & drinks, exquisite, clean — [thinking:] |
4. Idaṁ vo ñātīnaṁ hotu, sukhitā hontu ñātayo; Te ca tattha samāgantvā, ñātipetā samāgatā, Pahūte annapānamhi, sakkaccaṁ anumodare; | “Semoga buah persembahan ini melimpah kepada sanak-keluarga kami. Semoga sanak-keluarga kami bahagia!” Dan para petā, yang merupakan sanak-keluarga itu dan saling bertemu setelah berkumpul di sana, dengan penuh hormat berterima kasih untuk makanan dan minuman yang berlimpah itu, dengan berkata: | “May the fruit of this giving accrue to our relatives. May our relatives be happy!” And those who have gathered there and met each other respectfully gave appreciation for the plentiful food & drink, saying: |
5. Ciraṁ jivantu no ñātī yesaṁ hetu labhāmase Amhākañ ca katā pūjā dāyakā ca anipphalā | “Semoga sanak-keluarga kami berumur panjang, karena merekalah kami mendapatkan keberuntungan ini; penghormatan telah diberikan kepada kami dan para pemberi mendapatkan pahala!” | “May our relatives live long because of whom we have gained this fortune; we have been honored, and the donors gain rewards!” |
6. Na hi tattha kasī atthi gorakkh’ etta na vijjati vanijjā tādisī natthi hiraññena kayakayaṁ Ito dinnena yāpenti petā kālagatā tahiṁ. | Tidak pernah ada pertanian di sana (di alam petā), peternakan juga tidak ada di sana; tidak ada juga perdagangan dan jual-beli dengan uang emas. Para mendiang hidup di sana dengan apa yang diberikan dari sini. | There (in the realm of the dead), there’s never any farming, herding of cattle, commerce, trading with money. The dead live on what is given from here. |
Tidak pernah di sana ada pertanian, peternakan juga tidak ada di sana tidak ada perdagangan dan jual-beli dengan uang emas. Dengan apa yang diberikan dari sinilah para mendiang hidup di sana. | ||
7. Unname udakaṁ vuṭṭhaṁ, yathā ninnaṁ pavattati; Evamevaṁ ito dinnaṁ, petānaṁ upakappati. | Bagaikan air hujan di dataran tinggi mengalir ke dataran rendah, demikian juga apa yang diberikan dari sini bermanfaat bagi para mendiang. | As water raining on a hill flows down to the valley, even so does what is given from here benefit the dead. |
8. Yathā vārivahā pūrā, paripūrenti sāgaraṁ; Evamevaṁ ito dinnaṁ, petānaṁ upakappati. | Bagaikan sungai-sungai yang penuh air mengisi penuh lautan, demikian juga apa yang diberikan dari sini bermanfaat bagi para mendiang. | As rivers full of water fill the ocean full, even so does what is given from here benefit the dead. |
9. Adāsi me akāsi me, ñāti mittā sakhā ca me; Petānaṁ dakkhiṇaṁ* dajjā, pubbe katam-anussaraṁ. dakkhiṇaṁ (pl.; sg. dakkhiṇā): a donation given to a “holy” person with reference to (or on behalf of) unhappy beings in the peta realm, intended to induce the alleviation of their sufferings; an intercessional, expiatory offering; guru-dakkhiṇā ‘a teacher’s fee’ (Davids & Stede, 1921-1925:146, Part IV) | Dia memberi kepada saya, dia berbuat untuk saya, dia adalah sanak, sahabat dan teman saya; Seseorang sebaiknya memberikan dakkhiṇā* atas nama para petā mengingat perbuatan yang mereka lakukan di masa lampau. *dakkhiṇā: (i) pemberian kepada orang suci atas nama makhluk-makhluk menderita di alam peta, yang ditujukan untuk membantu meringankan penderitaan mereka; (ii) guru-dakkhiṇā ‘uang jasa kepada guru’ (Davids & Stede, 1921-1925:146, Bagian IV) | “He gave to me, she acted on my behalf, they were my relatives, companions, friends;” Offerings should be given on behalf of the dead, remembering things done in the past. |
10. Na hi ruṇṇaṁ vā soko vā, yā c’aññā paridevanā; Na taṁ petānamatthāya, evaṁ tiṭṭhanti ñātayo. | Tidak pernah tangisan atau kesedihan dan ratapan lain bermanfaat bagi para mendiang; sanak-keluarga itu (yaitu para mendiang itu) hidup terus secara demikian. | No weeping, no sorrowing no other lamentation ever benefits the dead; the relatives live on thus. |
11. Ayañca kho dakkhiṇā dinnā, saṁghamhi suppatiṭṭhitā; Dīgharattaṁ hitāy’ assa, ṭhānaso upakappati. | Tetapi, sesungguhnya dakkhiṇa yang telah diberikan itu dan ditegakkan dengan kokoh dalam Sańgha bermanfaat secara seketika dan juga untuk jangka panjang. | But, this offering which has been given, well-placed in the Sangha, Is beneficial immediately and for the long-term. |
12. So ñātidhammo ca ayaṁ nidassito, Petāna pūjā ca katā uḷārā; balañca bhikkhūnamanuppadinnaṁ, Tumhehi puññaṁ pasutaṁ anappaka” nti. | Tugas kepada sanak-keluarga itu dan yang berikut ini telah ditunjukkan: para petā telah diberi penghormatan besar dan para bhikkhu telah diberi kekuatan; oleh anda sekalian, kebajikan yang telah dihasilkan adalah besar. | The duty to relatives and the following has been shown: great honor has been paid to the dead, and monks have been given strength; by you all, the merit produced is significant. |
Tugas kepada sanak-keluarga itu dan yang berikut ini telah ditunjukkan: para petā telah diberi penghormatan besar dan para bhikkhu telah diberi kekuatan; anda sekalian telah menghasilkan kebajikan besar.” | The duty to relatives and the following has been shown: great honor has been paid to the dead, and monks have been given strength; you all have produced a significant deed. |
Catatan: Diterjemahkan dari bahasa Pali ke bahasa Indonesia dan Inggris, oleh Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah1978 Tersumpah1997, Rohaniwan Buddha, Sasanādhaja Dharma Adhgapaka, anggota Magabudhi, dosen English for Buddhism STAB Nalanda (2014-2021)
Silakan juga baca:https://www.buddha-gotama.com/2023/06/17/sepuluh-tanya-jawab-umum-tentang-pattidana/