Home Blog

Pattidāna

0
  1. Latar belakang

         1.1  Menurut Dullabha Sutta, Tikanipātapāḷi (12)(2)(2), Ańgutarra Nikāya,

ada tiga manusia yang sulit muncul di dunia ini:

1) Tathāgata yang merupakan Arahat dan Sammasaṁbuddha;

2) Orang yang mampu membabarkan Dhamma & Vinaya sebagaimana yang diajarkan oleh Sang Buddha; dan

3) Orang yang tahu terima kasih dan mengingat perbuatan orang lain bagi dirinya (kataññu katavedī, atau kataññu katavedin).

1.2 Di Sigālovāda (atau Sigālaka) Sutta, Digha Nikāya 31, setelah orangtuanya meninggal (menjadi petā), seorang anak wajib melimpahkan dakkhiṇā* kepada mereka (… pana petānaṁ kalańkatanaṁ dakkhiṇam anuppadassāmi).

Catatan:

  • dakkhiā: adalah persembahan kepada orang suci atas nama makhluk-makhluk menderita di alam peta, yang ditujukan untuk membantu meringankan penderitaan makhluk-makhluk itu (Davids & Steed, 1921-1925:146, Part IV). dakkhiā juga berarti (1) uang jasa atau bayaran, misalnya guru-dakkhiā ‘uang jasa kepada guru;’ (2) selatan (Davids & Steve, 1921-1925:146, Part IV).
  • Istilah dakkhiā juga dipakai sebagai bagian dari judul sebuah sutta, yaitu Dakkhiāvibańga Sutta, Majjhima Nikāya, yang membahas 14 makhluk hidup yang layak diberi persembahan.

1.2.1 Ajaran Sang Buddha tentang lima kewajiban anak kepada orang tua selengkapnya adalah sebagai berikut:

a. bhato ne (nesaṁ bāhusu) bharissāmi (saya akan membalas sokongan mereka sebelumnya)

b.kiccaṁ nesaṁ karissāmi (saya akan melaksanakan tugas-tugas atas nama mereka)

c. kulavaṁsaṁ ṭhapessāmi (saya akan menjaga garis keturunan)

d.  dayajjaṁ patipajjāmi (saya akan menjadikan diri saya layak menerima warisan); atha vā (atau)

e. pana petānaṁ kalańkatanaṁ dakkhiṇam anuppadassāmi (setelah mereka meninggal (menjadi petā), saya akan melimpahkan dakkhiṇā).

1.2.2 dakkhiṇā sebagai balas-budi kepada petā yang merupakan sanak-keluarga

Silakan baca stanza 9 dan 11 Tirokuḍḍa Vatthu di bawah ini:

9. Adāsi me akāsi me,
ñāti mittā sakhā ca me;
Petānaṁ dakkhiṇaṁ* dajjā,
pubbe katam-anussaraṁ.
 
Dia memberi saya, dia berbuat untuk saya, dia adalah sanak, sahabat dan teman saya; dakkhiṇā sebaiknya diberikan atas nama para petā/mendiang
mengingat perbuatan yang mereka lakukan di masa lampau.
“He gave to me, she acted for me, they were my relatives, companions, friends”:   Offerings should be given on behalf of the dead, remembering the things done in the past.  
11. Ayañca kho dakkhiṇā dinnā,
saṁghamhi suppatiṭṭhitā;
Dīgharattaṁ hitāy’ assa,
ṭhānaso upakappati.


  Tetapi, sesungguhnya dakkhiṇā yang telah diberikan itu dan ditegakkan dengan kokoh dalam Sańgha bermanfaat secara seketika dan juga untuk jangka panjang.      But, this offering which has been given and well-placed in the Sangha, produces immediate and long-term benefits.
  1.  Di alam petā (makhluk yang telah meninggal; mendiang), tidak ada kegiatan bercocok-tanam, perdagangan, peternakan dan jual-beli dengan emas (uang). Para petā hidup hanya hidup dengan apa yang diberikan dari sini (alam manusia). Silakan baca stanza-stanza 6 dan 7 di bawah ini, yang diambil dari Tirokuḍḍha Sutta, Petavatthu 5:
6. Na hi tattha kasī atthi
gorakkh’ etta na vijjati vanijjā tādisī natthi
hiraññena kayakayaṁ, Ito dinnena yāpenti
petā kālagatā tahiṁ.
  Tidak pernah ada cocok-tanam di sana, peternakan juga tidak ada di sana; tidak ada juga perdagangan dan jual-beli  dengan uang emas. Para petā hidup di sana dengan apa yang diberikan dari sini.  There’s never farming there, herding of cattle is not known, commerce and trading with money do not exist.   The dead live on what is given from here.
7. Unname udakaṁ vuṭṭhaṁ,
yathā ninnaṁ pavattati;
Evamevaṁ ito dinnaṁ,
petānaṁ upakappati.
  Bagaikan air hujan di dataran tinggi mengalir ke dataran rendah, demikian juga apa yang diberikan dari sini bermanfaat bagi para petā.  As rain water on a highland flows to a lowland, even so what is given here benefits the dead.  
  1. Ejaan, arti dan definisi Pattidāna
    1. Ejaan
  2. Davids & Stede (1921-1925:29): pattidāna
  3. Nyanatiloka (1988:265): patti-dāna
    1. arti
      1. patti: a. Davids & Stede (idem): (i) pencapaian, pemerolehan; (ii) apa yang diperoleh atau dicapai; (iii) keuntungan, laba, keunggulan; (iv) kebajikan, jasa, dengan makna khusus “pemberian yang dilakukan untuk keuntungan orang lain (=  dakkhinā*);” (v) apa yang mendapatkan atau memperoleh

1.3.2.2 dāna: pemberian, apa yang diberikan, persembahan, apa yang dipersembahkan.

1.1.2.3 pattidāna adalah sebuah kata majemuk deskriptif (kammadhāraya samāsa), yang berarti kata pertamanya (patti; kebajikan, jasa) menggambarkan kata keduanya (dāna).

Contoh-contoh lain kammadhāraya samāsa:

avijjapaccaya (paccaya yang berupa avijja),

kammapaccaya (paccaya yang berupa kamma)

ragaggi (api yang berupa nafsu rendah),

dosaggi (api yang berupa kebencian),

mohaggi (api yang berupa kebodohan batin)

Jadi, pattidāna secara tata bahasa berarti dāna yang berupa kebajikan atau jasa.

Secara umum, pattidāna berarti pelimpahan kebajikan atau jasa.

1.4 Pemakaian istilah pattidāna di aṭṭhakathā (kitab penjelasan)

Istilah ini dapat ditemukan di (a) Vimanavatthu-aṭṭhakathā (Kitab Penjelasan tentang Vimānavatthu: Cerita tentang Istana-Istana di Surga), misalnya di: 6. Vihāravimānavaṇṇanā: …, taṃ anumodatha, pattidānaṃ vo dammī’’ti. ‘‘Aho sādhu aho sādhū’’ti pasannacittā sabbāpi anumodiṃsu. Tattha aññatarā upāsikā visesato taṃ pattidānaṃ manasākāsi (“Mari kita ucapkan terima kasih untuk pattidāna itu dengan penuh hormat.” Dengan sukacita mereka semua mengucapkan terima kasih ‘Benar-benar bagus, benar-benar bagus!’ Di antara mereka, seorang upāsīka dengan pikiran khusus menerima pattidāna itu.), dan (b) di Petāvatthu-aṭṭhakathā, misalnya di: 1. Khettūpamapetavatthuvaṇṇanā: … pattidānavasena [dengan pattidāna (itu/ini)] ….; 2. Sāriputtattheramātupetivatthuvaṇṇanā: 158. ‘‘…, mayhaṃ pattidānaṃ dehi (Berilah saya pattidāna); 10. Khallāṭiyapetivatthuvaṇṇanā: mayhaṃ ādisa pattidānaṃ dehi (Berilah saya pattidāna yang seperti itu).

1.5 Definisi

1.5.1 Davids & Stede (idem):

pattidāna adalah (i) pemberian atau dāna yang dialihkan; (ii) pemberian kebajikan (sebagai perolehan yang bersifat permanen), pelimpahan kebajikan atau jasa (= dakkhinā)

1.5.2 Nyanatiloka (idem):

pattidāna (secara harfiah) adalah pemberian apa yang diperoleh atau didapatkan, yaitu pelimpahan kebajikan atau jasa

1.5.3 Nyanatiloka (idem): pattidāna adalah salah satu di antara sepuluh dasar perbuatan yang menghasilkan kebajikan atau kebaikan (dasa puññakiriyavatthu):

Tiga di antaranya disebutkan di sutta-sutta: (i) sifat suka memberi, dermawan (dana-maya-puññakiriyavatthu); (ii) moralitas (sila-maya-p.); dan (iii) meditasi (bhāvana-maya-p.).

Kitab-kitab penjelasan menyebutkan daftar sepuluh (dasa p.) yang sangat populer di negeri-negeri Buddhis:

(1)-(3) sudah disebutkan di atas;

(4) penghormatan (apaciti);

(5) pelayanan (veyyāvacca);

(6)pelimpahan kebajikan atau jasa (pattānuppadāna);

(7) bersuka-cita (ber-muditā-citta) ketika mengetahui atau mendengar kebajikan orang lain (abbhānumodāna);

(8) membabarkan Dhamma (dhammadesanā);

(9) mendengarkan Dhamma (dhammasavana); dan

(10) pelurusan pandangan benar seseorang (pembetulan pandangan; diṭṭhijukamma).’

  • Manfaatnya

Manfaat dan pentingnya pelimpahan dakkhiṇā (= pattidāna)  dirinci oleh Sang Buddha di Tirokuḍḍapetavatthu (Cerita tentang Petā di Luar Tembok), Petāvatthu (Cerita-Cerita tentang Petā) 5.

Vatthu itu berbentuk gāthā (stanza, yaitu baris yang mirip puisi atau syair):

PaliIndonesiaInggris
1.” Tirokuḍḍesu tiṭṭhanti,
sandhisiṅghāṭakesu ca;
Dvārabāhāsu tiṭṭhanti,
āgantvāna sakaṁ gharaṁ



Versi 1: Di luar dinding mereka berdiri, di pertigaan dan perempatan jalan, juga dekat tiang-tiang pintu, demikianlah setelah mereka datang ke rumah mereka sendiri.Outside the walls they stand and at two and four-road junctions; at door posts, too, they stand, after they come to their old home.
 Versi 2: Setelah datang ke rumah mereka sendiri, mereka berdiri di luar dinding, di pertigaan dan perempatan; mereka juga berdiri dekat tiang-tiang pintu.Having come to their old home, outside the walls they stand and at road-forks and crossroads; At door posts, too, they stand.
2. Pahūte annapānamhi,
khajjabhojje upaṭṭhite;
Na tesaṁ koci sarati,
sattānaṁ kammapaccayā.



Makanan dan minuman melimpah – makanan yang keras maupun lainnya telah siap, tetapi tidak seorang pun (yang hadir) ingat mereka sebagai akibat perbuatan para makhluk itu sendiri.    Plentiful food & drink–solid and other food- standby, But no one remembers them because of the results of the beings’ own kamma    
 Berlimpah makanan dan minuman—makanan yang keras maupun lembut telah siap, Tetapi tidak seorang pun (yang hadir) ingat mereka sebagai akibat perbuatan para makhluk itu sendiri. 
3. Evaṁ dadanti ñātīnaṁ,
ye honti anukampakā:
Suciṁ paṇītaṁ kālena,
kappiyaṁ pānabhojanaṁ


Karena itu, memberikan kepada sanak-keluarga itulah orang-orang yang welas-asih: makanan dan minuman yang bersih, istimewa, yang sesuai dan pada waktu yang tepat, sambil berpikir:”    Thus those who feel sympathy for their dead relatives give timely, proper food & drinks, exquisite, clean — [thinking:]
 
4. Idaṁ vo ñātīnaṁ hotu,
sukhitā hontu ñātayo;
    Te ca tattha samāgantvā,
ñātipetā samāgatā,

Pahūte annapānamhi,
sakkaccaṁ anumodare;


Semoga (makanan dan minuman) itu* melimpah  kepada sanak-keluarga kami. Semoga sanak-keluarga kami bahagia.   *anafora; kata sandang deiktis.   Dan para petā, yang merupakan sanak-keluarga itu dan saling bertemu setelah berkumpul di sana, dengan penuh hormat berterima terima-kasih untuk makanan dan minuman yang berlimpah itu, dengan berkata:“May this accrue to our relatives. May our relatives be happy!”       And those who have gathered there and met each other respecfully gave appreciation for the plentiful food & drink, saying:              
5. Ciraṁ jivantu no ñātī yesaṁ hetu* labhāmase Amhākañ ca katā pūjā
dāyakā ca anipphalā
*moral condition

Semoga sanak-keluarga kami berumur panjang,  karena moral merekalah kami mendapatkan itu; penghormatan telah diberikan kepada kami dan para pemberi mendapatkan pahala.“May our relatives live long because of whose moral condition we have gained [this gift]. We have been honored, and the donors gain rewards!”
6. Na hi tattha kasī atthi
gorakkh’ etta na vijjati vanijjā tādisī natthi
hiraññena kayakayaṁ       Ito dinnena yāpenti
petā kālagatā tahiṁ.
Tidak pernah ada pertanian di sana (di alam petā), peternakan juga tidak ada di sana; tidak ada juga perdagangan dan jual-beli  dengan uang emas. Para mendiang hidup di sana dengan apa yang diberikan dari sini.There’s never farming there (in the dead’s realm), herding of cattle is not known, commerce and trading with money do not exist.       The dead live on what is given from here.
 Tidak pernah di sana ada pertanian, peternakan juga tidak ada di sana tidak ada perdagangan dan jual-beli  dengan uang emas. Dengan apa yang diberikan dari sinilah para mendiang hidup di sana. 
7. Unname udakaṁ vuṭṭhaṁ,
yathā ninnaṁ pavattati;
Evamevaṁ ito dinnaṁ,
petānaṁ upakappati.
Bagaikan air hujan di dataran tinggi mengalir ke dataran rendah, demikian juga apa yang diberikan dari sini bermanfaat bagi para mendiang.As rain water on a hill flows down to a lowland, even so what is given from here benefits the dead.  
8. Yathā vārivahā pūrā,
paripūrenti sāgaraṁ;
Evamevaṁ ito dinnaṁ,
petānaṁ upakappati.



Bagaikan sungai-sungai yang penuh air mengisi penuh lautan, demikian juga apa yang diberikan dari sini bermanfaat bagi para mendiang.As rivers full of water fill the ocean full, even so what is given from here benefit the dead.  
9. Adāsi me akāsi me,
ñāti mittā sakhā ca me;
Petānaṁ dakkhiṇaṁ* dajjā,
pubbe katam-anussaraṁ.
dakkhiṇaṁ (pl.; sg. dakkhiṇā): a donation given to a “holy” person with reference to (or on behalf of) unhappy beings in the peta realm, intended to induce the alleviation of their sufferings; an intercessional, expiatory offering; guru-dakkhiṇā ‘a teacher’s fee’ (Davids & Stede, 1921-1925:146, Part IV)  
Dia memberi kepada saya, dia berbuat untuk saya, dia adalah sanak, sahabat dan teman saya; Seseorang sebaiknya memberikan dakkhiṇā* atas nama para petā
mengingat perbuatan yang mereka lakukan di masa lampau. *dakkhiṇā: pemberian kepada orang suci atas nama makhluk-makhluk menderita di alam peta, yang ditujukan untuk membantu meringankan penderitaan mereka; guru-dakkhiṇā ‘uang jasa kepada guru’ (Davids & Stede)
“He gave to me, she acted on my behalf, they were my relatives, companions, friends;” Offerings should be given on behalf of the dead, remembering things done in the past.  
10. Na hi ruṇṇaṁ vā soko vā,
yā c’aññā paridevanā;
Na taṁ petānamatthāya,
evaṁ tiṭṭhanti ñātayo.
 
Tidak pernah tangisan atau kesedihan dan ratapan lain bermanfaat bagi para mendiang; sanak-keluarga itu hidup terus secara demikian.  No weeping, no sorrowing no other lamentation benefits the dead; the relatives live on thus.  
11. Ayañca kho dakkhiṇā dinnā,
saṁghamhi suppatiṭṭhitā;
Dīgharattaṁ hitāy’ assa,
ṭhānaso upakappati.


Tetapi, sesungguhnya dakkhiṇa yang telah diberikan itu dan ditegakkan dengan kokoh dalam Sańgha bermanfaat secara seketika dan juga untuk jangka panjang.But, this offering which has been given, well-placed in the Sangha, Is beneficial immediately and for the long-term.
12. So ñātidhammo ca ayaṁ nidassito,
Petāna pūjā ca katā uḷārā;
balañca bhikkhūnamanuppadinnaṁ,
Tumhehi puññaṁ pasutaṁ anappaka” nti
.

Tugas kepada sanak-keluarga itu dan yang berikut ini telah ditunjukkan: para petā telah diberi penghormatan besar dan para bhikkhu telah diberi kekuatan; kebajikan yang telah dilakukan oleh anda sekalian adalah besar.The duty to relatives and the following has been shown: great honor has been done to the dead, and monks have been given strength; The merit you’ve made is large.  

Catatan: Diterjemahkan dari bahasa Pali oleh Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah1978 Tersumpah1997, ke bahasa Indonesia dan Inggris.

  • Kebajikan-kebajikan lain yang dapat dijadikan pattidāna

Yang dijelaskan di atas adalah pattidāna yang berasal dari āmisa dāna (pemberian yang berupa materi). Hasil-hasil praktik abhaya dāna, Dhamma dāna, sīla dan bhāvana oleh kita juga dapat dijadikan pattidāna, bahkan dengan buah yang lebih lebat karena di antara tiga dasar perbuatan baik, āmisa dāna berperingkat di bawah abhaya dāna dan Dhamma dāna. Buah dari praktik sīla dan bhāvana bernilai lebih tinggi daripada dāna.

Contoh: Kita sebaiknya melimpahkan buah dari praktik uposatha sīla (yang disebut sebagai aṭṭhasīla atau delapan sīla) kepada para leluhur, teman dan tetangga dekat yang mendiang dan makhluk lain yang memerlukannya.

  • PENJELASAN CERITA TENTANG PETā DI LUAR DINDING

(Tirokuḍḍa-PETāvatthuvaṇṇā)

(Diterjemahkan dari Petāvatthu-aṭṭhakathā 5: Tirokuḍḍhapetāvatthuvaṇṇā bahasa Pali, oleh Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah1978 Tersumpah1997, ke bahasa Indonesia dan Inggris)

“Mereka berdiri di luar dinding-dinding.” Sang Guru Agung yang sedang berdiam di Rājagaha menjelaskan cerita tentang sejumlah besar petā ini. Inilah rinciannya:

Sembilan puluh dua kappa lalu, ada sebuah kota yang bernama Kāsipurī tempat berkuasanya seorang raja yang bernama Jayasena. Permaisurinya bernama Sīrimā dan di dalam rahimnya telah lahir Bodhisatta Phussa yang pada waktu yang semestinya mencapai Penerangan Sempurna (menjadi Buddha). Raja Jayasena menjadi posesif (tidak mau berbagi miliknya untuk dipakai bersama-sama) karena berpikir,”Putraku adalah orang yang telah melakukan Penglepasan Agung dan telah menjadi Buddha. Milikku sajalah Buddha itu, millikkulah Dhamma, milikkulah Saṅgha.” Akibatnya, sepanjang waktu dia sendirilah yang melayani Sang Bhagavā sehingga tidak memberi kesempatan kepada siapa pun.

Ketiga orang adik Sang Bhagavā dari ibu yang lain berpikir, “Para Buddha sesungguhnya lahir demi kesejahteraan dunia keseluruhan, tidak hanya demi keuntungan satu orang; tetapi, ayah kami tidak memberi kesempatan kepada orang lain. Jadi, bagaimana caranya agar kami mendapatkan kesempatan untuk melayani Sang Bhagavā dan Bhikkhu Saṅgha?” Lalu, muncul gagasan ini di pikiran mereka,” Mari kita lakukan suatu upaya!” Karena itu, mereka menjadikan seakan-akan ada gangguan di perbatasan kerajaan. Ketika sang raja mendengar tentang gangguan itu, dia mengirim ketiga orang putra itu untuk mendamaikan daerah perbatasan tersebut. Ketiga orang putra itu pergi dan melakukannya. Ketika mereka kembali ke istana, sang raja senang dan memberikan hadiah kepada mereka dengan berkata,”Ambil apa pun yang kalian inginkan.”Kami ingin melayani Sang Bhagavā,’ kata mereka. “Kalian boleh mengambil apa pun kecuali beliau,” jawab sang raja.”Kami tidak peduli dengan hal lain apa pun,” kata mereka. “Baiklah, tentukan satu batas waktu, lalu ambil beliau.” Mereka mohon untuk tujuh tahun. Sang raja tidak memberikan-Nya. Sehingga mereka mohon secara berturut-turut dan menurun: enam, lima, empat, tiga, dua tahun, lalu turun lagi menjadi selama tujuh, enam, lima, empat dan akhirnya tiga bulan  ketika sang raja berkata,” Ambil beliau!”

Mereka mendekati Sang Bhagavā dan berkata,”Bhante, kami ingin melayani Sang Bhagavā selama tiga bulan. Bhante, Sang Bhagavā, mohon terima kami selama masa tinggal tiga bulan di musim hujan (vassāvāsa).” Sang Bhagavā menyetujuinya (dengan berdiam diri). Lalu, ketiga orang itu mengirim surat kepada perwakilan mereka di daerah tempat Sang Bhagavā akan berdiam, yang berbunyi,” Sang Bhagavā akan dilayani oleh kami selama masa tinggal tiga bulan di musim hujan. Pertama-tama, bangun sebuah vihara, lalu adakan segala-galanya yang akan diperlukan untuk melayani Sang Bhagavā.” Perwakilan itu melapor ketika ia telah mengadakan segalanya.

Mereka berpakaian kuning dan bersama-sama dengan 2.500 orang pembantu pria mereka, membimbing Sang Buddha Phussa dan Bhikkhu Saṅgha ke daerah itu, lalu melayani mereka dengan penuh hormat, menyerahkan vihara itu kepada Sang Buddha Phussa dan Bhikkhu Saṅgha dan membantu mereka menghabiskan satu musim hujan di sana.

Bendahara mereka, yang merupakan putra seorang perumah-tangga dan telah menikah, memiliki keyakinan dan kesetiaan.Dengan ketekunan yang semestinya, bendahara itu memberikan barang-barang untuk keperluan persembahan dāna kepada Buddha Phussa dan Bhikkhu Saṅgha yang beliau pimpin. Perwakilan kerajaan di daerah itu menerima barang-barang itu dan bersama-sama dengan 11.000 orang dari daerah itu menyelenggarakan acara persembahan dāna dengan ketekunan yang semestinya kepada Buddha Phussa dan Bhikkhu Saṅgha.

Pada saat itu, ada sejumlah orang berpikiran jahat dan menghalangi, bahkan memakan sendiri dana makanan serta membakar ruang makan yang telah disiapkan.

Pada waktu yang semestinya, ketiga orang adik tiri Buddha Phussa, bendahara dan perwakilan kerajaan itu bersama-sama dengan para pembantu itu lahir kembali di surga demi surga sedangkan orang-orang yang berpikrian jahat itu lahir kembali di neraka demi neraka selama 92 kappa. Kemudian, pada bhaddakappa (kappa yang beruntung) ini, yaitu masa bumi saat ini, di jaman Buddha Kassapa (Buddha sebelum Buddha Gotama), orang-orang yang berpikiran jahat itu lahir kembali sebagai petā. Pada jaman itu, ketika orang-orang mempersembahkan dāna atas nama sanak-keluarga mereka yang merupakan petā, mereka melimpahkannya dengan berkata,”Semoga persembahan ini melimpah kepada sanak-keluarga kami!,” dan dengan seketika para petā itu mendapatkan kemuliaan. Pada saat itu para petā yang mantan orang-orang jahat itu mendekati Sang Buddha Kassapa dan bertanya,”Bagaimanakah caranya agar kami dapat memperoleh kemuliaan yang serupa itu?” Beliau berkata,” Anda sekalian tidak akan memperolehnya sekarang. Namun, di masa depan, akan ada seorang Sammasaṁbuddha yang bernama Gotama. Di jaman Sang Buddha Gotama itu akan ada seorang raja bernama Bimbisāra, yang merupakan sanak kalian 92 kappa yang lalu. Raja itu akan memberikan dāna kepada Sang Buddha Gotama dan mempersembahkan pattidāna (pemberian yang berupa kebajikan) kepada anda sekalian. Lalu, anda sekalian akan mendapatkan kemuliaan yang demikian.” Konon ketika Sang Buddha Kassapa mengucapkan perkataan itu, bagi para petā tersebut, hal itu terlihat seakan-akan beliau berkata bahwa mereka akan mendapatkan kemuliaan yang demikian hari esoknya.

Lalu, ketika satu jeda seorang Buddha telah berlalu dan Sang Buddha Gotama telah muncul di dunia ini, ketiga orang saudara tiri Sang Buddha Phussa berikut seribu orang lain, meninggal dari surga dan lahir kembali di sebuah marga brahmana di kerajaan Magadha. Pada waktu yang semestinya, mereka menjalani hidup tanpa rumah sebagai petāpa dan menjadi dikenal sebagai tiga orang petāpa berambut kusut dari Gayāsīsa. Perwakilan keluarga mereka di daearh tersebut menjadi Raja Bimbisāra dan bendahara mereka menjadi pedagang kaya-raya Visākha yang isterinya, bernama Dhammadinnā, adalah putri seorang pedagang kaya-raya lainnya sedangkan orang-orang lain dari kelompok mereka muncul muncul sebagai pengiring raja.

Setelah Sang Buddha Gotama muncul di dunia ini dan menghabiskan masa tujuh minggu sesudah Pencerahan Agung-Nya), beliau pergi ke Benares tempat beliau memutar Roda Dhamma untuk kali pertama, mengajar Lima Petapa (Pañcavaggiya) (sehingga terbentuklah Bhikkhu Sagha yang kita kenal sampai saat ini), lalu tiga orang petapa berambut kusut (jatila; yang juga dikenal sebagai Kassapa Bersaudara) berikut 1.000 orang pengikut mereka.   Sesudah itu, beliau pergi ke Magadha (untuk memenuhi janji beliau kepada Raja Bimbisāra bahwa beliau akan datang ke sana sesudah mendapatkan obat untuk mengatasi usia tua, penyakit dan kematian, yaitu menjadi seorang Buddha). Di sana, pada hari yang sama, Raja Bimbisāra  menemui beliau dan beliau menegakkan Raja Bimbisāra pada sotāpatti-phala [yang menjadikan Raja Bimbisāra  seorang Sotāpanna (Pemasuk Arus, atau Pemasuk Jalan Mulia Berunsur Delapan]. Kemudian, Raja Bimbisāra  mengundang  Sang Bhagavā dan para bhikkhu ke tempat tinggalnya di Rājagaha pada hari esoknya untuk menerima dāna makanan dan Sang Bhagavā menyetujui undangan itu.

Hari esoknya Sang Bhagavā memasuki Rājagaha bersama Sakka, sang Raja Dewa, yang menyamar sebagai pemuda dari kalangan brahmana dan berjalan di depan Sang Bhagavā sambil memuji beliau dengan stanza-stanza yang mulai dengan:

“Yang pikirannya terkendali berkumpul dengan sesamanya, yang terbebaskan berkumpul dengan sesamanya; Sang Bhagavā, yang cerah bagaikan permata emas, telah memasuki Rājagaha bersama-sama.”

Di rumah Raja Bimbisāra, Sang Bhagavā menerima mahādāna (dāna yang besar). Pada saat itu, para petā mengelilingi rumah itu karena berpikir “Sekarang sang raja akan melimpahkan dāna itu kepada kami.” Tetapi, ketika sang raja memberikan dāna itu, sang raja hanya berpikir tentang sebuah lokasi untuk dijadikan vihara Sang Bhagavā sehingga bertanya-tanya dalam pikirannya sendiri “Di manakah Sang Bhagavā sebaiknya tinggal?” Jadi, sang raja tidak melimpahkan buah dāna itu kepada siapa pun. Karena itu, para petā putus asa* dan pada malam harinya meraung-raung dengan amat sedih dan suara yang sangat menakutkan di sekitar rumah sang raja. Akibatnya sang raja menjadi gelisah dan pikirannya dipenuhi rasa takut dan tubuhnya gemetaran.

Begitu matahari terbit, sang raja menemui Sang Bhagavā dan menceritakan kejadiamn di atas, lalu bertanya “Apakah yang akan terjadi pada diri saya, Bhante?” Sang Bhagavā menjawab “Jangan takut, Maharaja, tidak satu pun bencana akan menimpa anda – anda akan aman-aman saja. Yang sebenarnya adalah para mantan sanak-keluarga anda yang telah menjadi petā telah hidup berkeliling selama satu masa jeda penuh kemunculan seorang Buddha dengan harapan bahwa anda akan memebrikan dāna kepada seorang Buddha dan melimpahkannya kepada mereka. Tetapi, ketika anda memberikan dāna kemarin, anda tidak melimpahkannya kepada mereka sehingga mereka putus asa dan meraung-raung dengan amat sedih itu.” sang raja bertanya,”Bhante, akankah mereka menerimanya jika dāna diberikan sekarang?” “Ya, Maharaja.”Kalau begitu, mohon Bhante terima undangan saya untuk menerima dāna hari ini juga dan saya akan melimpahkannya kepada mereka.” Sang Bhagavā menyetujuinya melalui sikap diam-Nya.

Sang raja kembali ke istananya dan menyuruh dāna yang besar disiapkan. Lalu, sang raja menyuruh waktu penerimaan dāna itu diumumkan kepada Sang Bhagavā. Sang Bhagavā pergi ke istana sang raja berikut Bhikkhu Saṅgha dan duduk di kursi yang telah ditentukan. Para petā itu berpikir,” Hari ini kami mungkin mendapatkan sesuatu,” lalu pergi ke istana itu dan berdiri di luar dindin-dinding dan sebagainya. Sang Bhagavā menjadikan mereka semua terlihat oleh sang raja. Ketika sang raja mempersembahkan dāna air, sang raja pun melimpahkan dāna itu dengan berkata,”Semoga dāna ini melimpah kepada sanak-keluarga saya!” Pada ketika itu juga kolam-kolam yang ditutupi (bunga) teratai dan bakung muncul untuk para petā itu. mereka mandi dan minum di dalamnya. Bersamaan dengan hilangnya penderitaan, kelelahan dan kehausan mereka, tubuh mereka menjadi berwarna emas. sang raja mempersembahkan bubur beras dan makanan-makanan yang keras maupun lembut serta melimpahkan semua itu. pada saat itu juga bubur beras dan makanan surgawi yang keras maupun lembut muncul. Ketika mereka memakannya, indra-indra mereka bangkit kembali. Sang raja mempersembahkan pakaian dan tempat tinggal serta melimpahkannya, lalu pakaian dan istana-istana surgawi dengan aneka perlengkapan berikut dipan-dipan dan penutupnya dan sebagainya muncul untuk mereka. Semua kemuliaan mereka diperlihatkan dengan nyata kepada sang raja sebagaimana  Sang Bhagavā memutuskannya. Ketika melihat semua itu, sang raja pun benar-benar bahagia.

Kemudian, setelah Sang Bhagavā menyelesaikan makanan beliau dan makan sekenyangnya, beliau menceritakan Tirokuḍḍhapetāvatthuvaṇṇā (Cerita tentang Petā di Luar Dinding) itu untuk menunjukkan penghargaan beliau.

Semoga bermanfaat dan silakan bagikan dengan semua teman.

Perbuatan baik berbuah diskon, rekomendasi khusus dll

0

A. Dapet diskon khusus waktu service laptop

Dua minggu lalu, pemilik tempat service laptop bilang kepada saya:” Saya mau berteman dengan anda. Waktu pertama kali saya perhatikan, saya yakin anda orang baik dan saya karena itu saya kasih diskon besar. Kalau ada waktu, tolong jawab pertanyaan saya:

“Mengapa anda bisa tetap sebagai orang baik di Jakarta yang sangar ini?”

Jawab:” Kebaikan pasti berbuah kebaikan. Contoh: Bapak sendiri sudah kasih diskon besar kepada saya.”

B. Dapet rekomendasi yang super-istimewa  

Beberapa bulan lalu, para pejabat tinggi bilang:” Kami kasih rekomendasi yang super istimewa dan satu-satunya di Indonesia ini kepada anda karena kami suka dengan kejujuran dan keramahan anda. Kalau bos-bos anda yang datang, kami akan tolak.”

Tidak sepeser pun uang berpindah tangan padahal rekomendasi itu sangat istimewa, diproses hampir 5 bulan karena harus disetujui oleh banyak instansi dan rekomendasi itu satu-satunya  di negeri ini selama hampir 25 tahun terakhir ini untuk bisnis yang bersangkutan.

C. Pemarah dan pembenci menjadi ramah dan pemaaf setelah dinasihati plus diberi contoh nyata oleh orang yang tulus  

Seseorang yang terkenal pemarah dan pembenci serta kaya berkata:” Karena melihat kejujuran anda dan mendapat nasihat anda yang kelihatan begitu tulus dan tanpa tujuan apa pun, mulai sekarang saya akan jadi orang yang sabar dan pemaaf. Padahal saya ini pemarah dan gampang benci orang lain selama hampir 25 tahun ini.”

Sekarang ia hidup harmonis dengan keluarga besarnya. 

D. Mantan big boss mau kasih peluang bisnis besar karena percaya 10.000%

Dia bilang:” Karena kamu demikian jujur dan bersih, saya percaya 10.000% padamu dan saya tawarkan peluang bisnis ini kepadamu supaya kita tetap berteman seumur hidup walaupun kamu sudah mundur dari perusahaan kita.”

E. Dipercaya sebagai pemimpin misi 

Dalam banyak rapat, banyak peserta bilang:” Kami ingin dipimpin oleh anda karena anda orang baik dan jujur. Misi kita pasti akan tercapai.”

F. Dapat bayaran 100% di muka dari customer baru tanpa diminta

Minggu lalu seorang customer yang baru pertama kali datang langsung memesan barang. Lalu, dia transfer bayaran 100% di muka tanpa diminta. Ternyata transfernya bahkan lebih Rp 1 jt. Kelebihan itu langsung dikembalikan oleh kami pada hari itu juga. Kemudian, sang customer menelepon:” Anda ini orang yang luar biasa jujur. Jarang ada orang seperti anda. Pantesan saya langsung percaya pada anda.” 

G. Dapat DP luar biasa besar dari customer baru 

Sang direktur berkata:” Komisaris saya tidak mau kasih DP yang sangat besar ini kepada anda tanpa jaminan karena kami semua baru kenal anda. Sayalah yang menjamin bahwa kalau anda kabur, saya yang harus kembalikan DP ini. Saya berani menanggung risiko itu karena saya yakin anda orang jujur dan tidak akan kabur.”

Sekarang kami berteman akrab secara keluarga.

H. Banyak lagi buah dari perbuatan baik.

Semoga bermanfaat.(TST/LN)

Bermimpi pakai handuk sesudah mandi di vihara di surga

0

Mimpi ini terjadi di Jakarta pada Sabtu sekitar 4.30 subuh, 17 Mei 2025

  1. Menjelang bangun tidur sekitar jam 4.30, saya bermimpi sebagai berikut:
    1. Saya memasuki kamar mandi di suatu gedung.
    1. Sesudah selesai, saya lihat tidak ada pakaian saya di tempat gantung.
    1. Hanya ada sehelai handuk berwarna putih terang yang bersih.
    1. Setelah berpikir sejenak, saya pakai handuk itu dan keluar kamar itu.
    1. Begitu di luar, saya melihat hampir 0,5 meter di samping kiri saya, ada tembok yang tinggi, berwarna merah yang cukup tua, mirip warna vihara China. Tembok itu memanjang sekitar 15-20 meter.
    1. Di kanan saya ada ruang terbuka, sekitar 2 meter.
    1. Saya melihat ke belakang, tidak ada jalan keluar.
    1. Lalu, saya berjalan keluar dan melihat di kejauhan, ada sinar matahari yang menandakan adanya jalan keluar.
    1. Begitu sampai di ujung tembok itu, saya sadari bahwa saya ada di sebuah ruangan yang besar, sekitar 500 m2.
    1. Saya masuk ruang itu sebab saya lihat di ujungnya, ada ruang terbuka.
    1. Lalu, ketika berjalan masuk sekitar 7-10 meter, saya mendengar ada suara agak berisik.
    1. Tiba-tiba, di sebelah kanan saya, sudah ada seorang wanita yang tinggi dan besar, berusia sekitar 30-an tahun dan ramah sekali dengan saya.
    1. Saya heran dia tidak bertanya kondisi saya yang hanya memakai handuk.
    1. Sebelum saya bertanya kepadanya, tiba-tiba sejumlah cewek, yang berusia sekitar 20-25 tahun dan berjumlah 7-8 orang, berpakaian aneka-warna (merah muda, hijau muda dll, di tubuh mereka ada bunga-bunga yang juga aneka-warna), tiba.
    1. Saya melihat mereka ada di kiri saya dan berada di dekat pintu masuk, yang terlihat di tempat tinggi sekali.
    1. Tiba-tiba, satu orang di antaranya, yang berbaju merah muda dengan aneka kuntum bunga di tubuhnya, terbang ke arah saya dan, lalu, bertanya kepada saya dengan penuh curiga, “Siapakah anda?”
    1. Sebelum saya jawab, wanita di kanan saya itu berkata,”Jangan khawatir. Dia teman kita.” Kemudian, cewek yang bertanya menjadi ramah.
    1. Saya tidak tahu bagaimana dia mendaratnya karena saya mengucapkan permisi dan saya berjalan menuju arah cahaya itu.
    1. Begitu sampai di ujung, saya melihat di kejauhan sekali agak ke tengah, ada gedung tiga lantai (kalau tidak salah) yang besar sekali: lantainya 5-6 kali tinggi saya dan lebar. Warnanya coklat agak tua. Pertanda lantainya berwarna silver (perak) dan gedung itu indah dipandang.
    1. Juga ada gedung-gedung lain yang berwarna serupa dan lebih kecil. Semua berwarna merah agak tua.
    1. Luas komplek itu sekitar 10-20 kali Vihara Dhamcak, Sunter, Jakarta Utara.
    1. Lalu, saya berjalan 3-4 langkah dan saya melihat bahwa saya ada di depan sebuah vihara yang besar sekali.
    1. Kalau yang pernah lihat Uposatha Graha di Dhamcak, vihara itu ukurannya sekitar 8-10 kali lebih besar dan tingginya sekitar 3-4 kali.
    1. Lalu, saya berjalan terus dan melihat seorang pria berkemeja dan bercelana panjang biru muda dan saya kenali dia (tetapi, saya tidak ingat namanya sekarang) dan memanggilnya.
    1. Dia menengok kepada saya dengan wajah yang cerah.
    1. Saya berkata bahwa saya mau ke kamar mandi untuk tukar pakaian (padahal saya baru keluar kamar mandi!!!).
    1. Lalu, saya terbangun dan ingat persis mimpi itu.
    1. Sore hari, saya ceritakan mimpi itu kepada isteri saya dan ia yakin bahwa saya telah mengunjungi surga karena cewek-cewek yang saya temui terbang dan sangat luasnya komplek vihara itu.

Semoga bermanfaat.

Orang yang kalah perang terhadap dirinya atau lahir dengan karma yang pas-pasan di kalangan manusia:

  1. Waktu sekolah: ia bodoh sekali, sering tidak naik kelas, tidak mau perlihatkan rapotnya kepada orang lain
  2. Kebodohannya mirip dengan binatang: mudah marah, merasa diri paling benar, minta dihormati dan dituruti oleh orang lain
  3. Perbuatannya menunjukkan dirinya seperti hewan atau setan: kejam, sering membunuh hewan.
  4. Keras kepala: tidak mau dengar nasihat orangtua, saudara dll.
  5. Kalau kerja: selalu anggap dirinya paling benar di kantor, kerja hanya sesaat (kurang dari 6 bulan)
  6. Wajahnya: tidak enak dipandang, selalu melihat orang lain dengan curiga
  7. Tidak menikah seumur hidup
  8. Waktu tua: sakit jantung, darah tinggi, liver dll

Pilih kasih (likes and dislikes) menurut Dhamma

0
  1. Di tempat kerja, rasanya hampir setiap orang merasakannya:

Atasan:

  1. kelihatan memperhatikan dan memberi bantuan ekstra kepada seorang pegawai yang kinerjanya “kurang” di mata rekan kerjanya.
  2. Juga memperhatikan orang lain lebih serius daripada orang lain.
  3. Menegur orang yang minim kesalahannya lebih sering daripada orang lain.
  4. Menaikkan gaji dan/atau memberi bonus lebih banyak kepada orang lain.
  5. Dll.

Atau kalau atasannya cowok dan bawahannya cewek, atasan itu diperkirakan oleh banyak orang lain ada hati pada bawahannya.

B. Dhamma Sang Buddha

Semua orang terkait dengan karmanya: semua hal yang terjadi pada diri kita adalah bagian karma kita.

Seperti  abhiņhapaccavekkhaņa pāțha:

Aku adalah pemilik karmaku.

Aku adalah pewaris karmaku

Aku lahir dari karmaku.

Aku berkerabat dengan karmaku

Aku tergantung pada karmaku.

Solusi:

  1. Mengerti semua itu karma.
  2. Lalu, kerja dengan tekun tanpa perlu perhatikan orang lain.
  3. Kurangi kesalahan sampai serendah mungkin.
  4. Tingkatkan prestasi.
  5. Tersenyum saja ketika teman kerja yang bukan Buddhis membicarakan orang lain tanpa perlu memberikan komentar.
  6. Jika teman kerja itu sering melakukan hal yang sama, barulah bercerita tentang hukum karma dan di tempat yang sesuai.

Semoga bermanfaat.

Bodhisatta hanya satu

0

Dalam Theravāda, konsep Bodhisatta merujuk pada seseorang yang telah membuat keputusan untuk mencapai pencerahan sempurna sebagai seorang Sang Buddha di masa depan, tetapi belum mencapainya dan, kemudian, disebut sebagai Bodhisatta yang Telah Diumumkan setelah diumumkan oleh seorang Sammāsambuddha, disingkat sebagai Sang Buddha. Setiap Sang Buddha di masa lalu, yang mencakup Siddhārtha Gautama (yang lebih dikenal sebagai Sang Buddha Gotama), dulunya adalah seorang Bodhisatta sebelum mencapai ke-Buddha-an.

1. Jumlah Bodhisatta

 Biasanya, hanya satu Bodhisatta yang “aktif” pada suatu waktu, yaitu mereka yang akan menjadi Sang Buddha di masa depan. Misalnya:

     – Metteyya: Bodhisatta yang diharapkan menjadi Sang Buddha berikutnya setelah Sang Buddha Gotama.

2. Proses menjadi Bodhisatta

   Untuk menjadi Bodhisatta, seseorang harus membuat keputusan besar (disebut Pāramī) untuk mengejar Buddhahood. Proses ini melibatkan pengumpulan kualitas moral dan spiritual selama jutaan kehidupan. Ada sepuluh pāramī  yang harus disempurnakan, seperti kedermawanan, moralitas, kesabaran, kebijaksanaan, dan lain-lain.

     – Contoh: Sang Buddha Gotama mulai perjalanannya sebagai Sang Bodhisatta bernama Sumedha di masa lalu ketika ia bertemu Sang Buddha Dīpańkara dan bersumpah untuk menjadi  seorang Sang Buddha di masa depan.

3. Peran Bodhisatta dalam praktik sehari-hari

 Konsep Bodhisatta tidak menjadi fokus utama dalam praktik sehari-hari. Tujuan utama para praktisi Theravāda adalah mencapai Nibbāna (Nirwana) sebagai Arahat, bukan menjadi Sang Bodhisatta. Namun, cerita-cerita tentang Sang Bodhisatta sering kali digunakan sebagai inspirasi moral dalam literatur Jataka.

Sang Bodhisatta biasanya dikaitkan dengan cerita-cerita Jataka, yang menceritakan kehidupan-kehidupan sebelumnya Sang Buddha Gotama sebagai Sang Bodhisatta. Beberapa contohnya:

   – Sumedha: Sang Bodhisatta pertama yang bersumpah untuk menjadi Sang Buddha Gotama.

   – Vessantara: Salah satu kelahiran terakhir Sang Bodhisatta sebelum menjadi Sang Buddha Gotama, dikenal karena kedermawanannya yang luar biasa.

   – Metteyya (Maitreya): Sang Bodhisatta yang diharapkan menjadi Sang Buddha masa depan.

Kejujuran: cari modal dari boss, teman dan keluarga.

0

Cari modal bisa dari siapa saja, tapi orang terdekat yang pernah merasakan jasa dan tenaga kita adalah boss, mantan boss, keluarga dan teman.

Saya punya cerita sbb:

  1. Di sebuah kota, seorang pemuda bekerja sekitar 7 tahun, lalu kawin.
  2. Di kampung, ortunya hidup berdua saja.
  3. Di kota itu, ia pun kawin dengan gadis idamannya dan akhirnya punya seorang putra.
  4. Suatu ketika pemuda itu dan keluarganya pulang kampung.
  5. Ortunya bercerita bahwa di kampungnya dia bisa bertani, berkebun atau memiliki peternakan ayam kalau ia punya modal sekitar Rp 500 juta. Dia memilih untuk berkebun jamur merang.
  6. Dia punya modal hanya 100 juta, tetapi dia akan pinjam dari boss dan teman-teman di tempat kerja di kota.

Lalu, dia bercerita kepada bossnya tentang peluang itu.

  1. Bossnya langsung bilang,”Kamu sudah bekerja delapan tahun dan rajin, tidak cerewet dll.”
  2. Bossnya langsung buka laci dan serahkan uang sebanyak 100 jt dan berkata,” Ini sebagai penghargaan dari perusahaan. Kalau tidak keberatan, saya ikut modal 100 juta. Kalau untung, kamu bagi saya dan kalau rugi, anggap saja saya juga rugi.” Syaratnya: keterbukaan informasi, terutama keuangan.
  3. Dia girang sekali dan berjanji setiap tiga bulan dia akan kirim informasi keuangan. Dia juga minta ijin untuk bilang ke teman-temannya dan bossnya kasih ijin.
  4. Dia lalu bercerita kepada teman-temannya. Tidak disangka teman-temannya langsung janji tranfer uang dan terkumpul uang seluruhnya 700 juta.
  5. Teman-temannya juga sama dengan bossnya: kalau untung, bagi mereka, kalau rugi, mereka juga ikut rugi asal dia tetap jujur.

Dia pun pulang kampung dan mulai bertani dengan bantuan ortunya yang senang dia pulang kampung dan bisa bermain-main dengan cucunya.

  1. Dia berkebun jamur merang.
  2. Dia mulai dengan sedikit dan membagi modalnya menjadi tiga: modal kesatu 100 juta, modal kedua 200, dan modal ketiga 300. Sisanya dipakai untuk persiapan dll.
  3. Singkat cerita, modal kesatu habis karena berbagai hal: salah metode, gagal panen, tengkulak yang curang dll.
  4. Barulah pada modal kedua dia merasa yakin dan menjual langsung ke kota dll.
  5. Dia pun membuat laporan-laporan plus foto kebun, foto pelanggan besar dll kepada mantan boss dan teman-temannya.
  6. Sesudah sekitar setahun, dia mulai untung sedikit dan melaporkan kepada mereka.
  7. Barulah pada modal ketiga dia benar-benar menjadi pengusaha jamur merang: untung dan usaha jadi lebih besar.
  8. Sekarang dia punya kendaraan angkutan dan juga mobil sedan bekas yang masih jreng dibeli dengan harga miring sekali untuk dipakai sendiri, bertemu dengan customer dan dengan mantan boss serta mantan teman-teman kerjanya.
  9. Sesudah tiga tahun, mantan bossnya bilang,”Perusahaanku tambah besar dan anggap saja uang itu sebagai hadiah. Kalau perlu modal lagi, kita buka PT dan kamu dirutnya.”
  10. Dia pun sekarang dirut PT-nya sendiri dan angkat boss sebagai komisaris dan satu mantan teman kerja sebagai direktur yang setia dengannya.

Intinya:

  1. Bekerja yang rajin dan dipercaya boss dan teman kerja.
  2. Mereka adalah sumber modal yang besar.
  3. Dia tidak pikirkan modal karena tersedia dan tetap jujur.

Kaisar Asoka dan Bhikkhu Nigrodha

0

Di salah satu cerita di kitab Mahāvaṁsa: Nigrodha, seorang umat Buddha yang berkenderungan suka bertapa dan beroman yang damai, kebetulan berlalu di dekat jendela sang kaisar. Lalu, sang kaisar undang dia masuk dan minta dia duduk. Bhikkhu itu mendudukkan dirinya di singgasana kerajaan.

Sang kaisar terkesan oleh sikap luhurnya dan bertanya ajaran apa yang gurunya, Sang Buddha, turunkan. Nigrodha menjawabnya dengan mengkhotbahkan Appāmadavagga, bagian dari Samyutta Nikāya. Setelah mendengarkan khotbah itu, sang kaisar terpikat hatinya oleh ajaran Sang Buddha dan menjadi siswa-Nya.

SN I.1.3(3): Masa hidup pendek

Waktu itu Sang Buddha sedang berdiam di Sāvathi. Sambil berdiri di satu sisi, dewata itu mengucpakan stanza yang berikut ini:

3. “Kehidupan ikut tersapu, pendek masa kehidupan.

Tidak satu tempat berteduh pun ada untuk orang yang mencapai usia tua.

Karena melihat dengan jelas bahaya itu dalam kematian,

Seseorang sebaiknya berbuat kebajikan yang membawa kebahagiaan.”

4. Sang Buddha:

“Kehidupan ikut tersapu, pendek masa kehidupan.

Tidak satu tempat berteduh pun ada untuk orang yang mencapai usia tua.

Karena melihat dengan jelas bahaya itu dalam kematian,

Seorang pencari kedamaian sebaiknya melepaskan pancingan dunia ini.”

Samyutta Nikaya XX.7 Ani Sutta

0

Saat berdiam di Savatthi. Bhikkhu-bhikkhu, pernah ada masa ketika suku Dasaraha memiliki genderang besar yang disebut ‘Pemanggil.’ Setiap kali Pemanggil retak, suku Dasaraha memasukkan sebuah pasak (penutup) lagi ke dalamnya hingga datanglah saatnya ketika tubuh kayu asli Pemanggil hilang dan hanya tinggal kumpulan pasak-pasak.
“Demikian pula, di masa depan akan ada bhikkhu-bhikkhu yang tidak akan mendengarkan ketika khotbah yang merupakan kata-kata Tathagata — yang sangat dalam maknanya, menembus dunia ini, yang terkait dengan kekosongan — sedang diulang. Mereka tidak akan mendengarkan, tidak akan mengarahkan batin mereka untuk mengetahui mereka, tidak akan menganggap ajaran itu layak untuk dipahami atau dikuasai. Tetapi, mereka akan mendengarkan ketika khotbah yang merupakan karya sastra — karya para penyair, indah dalam bunyi, indah dalam retorika, karya orang luar, kata-kata para murid — sedang diulang. Mereka akan mendengarkan dan mengarahkan batin mereka untuk mengetahuinya. Mereka akan menganggap ajaran itu layak untuk dipahami dan dikuasai.
“Dengan cara itu, lenyaplah khotbah-khotbah yang merupakan kata-kata Tathagata — yang sangat dalam maknanya, menembus dunia ini, yang terkait dengan kekosongan.
“Karena itu, anda harus melatih diri anda: ‘Kami akan mendengarkan ketika khotbah yang merupakan kata-kata Tathagata — yang sangat dalam maknanya, menembus dunia ini, yang terkait dengan kekosongan — sedang diulang. Kami akan mendengarkan, mengarahkan batin kami untuk mengetahui mereka, kami akan menganggap ajaran itu layak untuk dipahami dan dikuasai.’ Demikianlah seharusnya anda melatih diri anda.”


Catatan

  1. Kitab penjelasan (commentary) mencatat bahwa genderang itu awalnya bisa didengar hingga kira-kira 90 km, tetapi dalam kondisi akhirnya, ia tidak bisa didengar bahkan dari balik tirai.