Home Blog Page 6

Kisah 32 Murid Utama Buddha Gotama: 11. YA Mogharāja Thera

0
11. YA Mogharāja Thera

Lahir sebagai putra dari penasehat Raja Maha Kosala, Mogharāja adalah pemuda yang sangat cerdas ketika muda, Mogharāja menjadi bhikkhu bersama-sama dengan enam belas temannya, YA Mogharāja memiliki kebiasaan mengenakan jubah yang kwalitasnya rendah dalam hal jahitan dan kainnya.

Pada suatu kesempatan, Sang Buddha menganugerahi kepada YA Mogharāja sebagai bhikkhu mengenakan jubah kasar yang terbaik.

11. The Venerable Mogharāja Thera

Born as the son of an adviser to King Maha Kosala, young Mogharāja was a very smart boy. He studied under Bāvarī as an ascetic. He became a monk together with fifteen of his friends as they were sent by Bāvarī to the Buddha. When Mogharāja had asked his question of the Buddha and received the answer, he attained arahantship.

He then attained the distinction by wearing rough cloth which had been thrown away by caravaners, tailors and dyers.

The venerable Mogharāja is given as an example of one who attained arahantship by the development of investigation.

On one occasion the Buddha conferred on him the title of the monk who excelled in wearing rough robes.

Ditulis oleh Rama Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, Sāsanadhaja Dharma Adhgapaka, Rohaniwan Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia

Kisah 32 Murid Utama Buddha Gotama: 10. YA Kaṅkhā Revata Thera

0

(Sumber gambar: https://pixabay.com/photos/sangha-in-line-pindacara-pindapata-1735231/)

10. YA Kaṅkhā Revata Thera

Revata kecil terlahir di dalam keluarga yang sangat kaya di Sāvatthī. Beliau pertama kali mendengarkan Dhamma ketika sedang mengunjungi Kapilavatthu. Setelah menjadi bhikkhu, beliau berkonsentrasi pikiran dan mencapai jhāna-jhāna, atau konsentrasi pikiran yang mendalam pada suatu objek. Dengan menggunakan jhāna-jhāna,  beliau melanjutkan dengan meditasi vipassanā dan menjadi Arahat.

Sebelum menjadi Arahat, YA Revata sering meragukan segala hal, bahkan hal-hal yang diizinkan, sehubungan dengan Vinaya. Karena itu, beliau disebut sebagai Kaṅkhā Revata, ‘Revata si peragu.’

Mahāgosinga Sutta (MN 32.5) mencatat jawaban beliau untuk pertanyaan YA Sāriputta mengenai bhkkhu yang dapat menerangi Hutan Pohon Sala Gosinga: ”dalam hal ini, teman Sāriputta, seorang bhikkhu yang senang dalam meditasi secara menyendiri dan menikmati kesenangan dalam meditasi itu, memiliki pandangan terang dan berdiam di gubuk yang kosong. Bhikkhu seperti itu dapat  menerangi Hutan Pohon Sala Gosinga ini.”

Sang Buddha menganugerahi YA Kaṅkhā Revata gelar yang terbaik dalam memasuki jhāna dengan cepat dalam di antara anggota Ariya Saṅgha.

10. The Venerable Kaṅkhā Revata Thera

Born to a very wealthy family in Sāvatthī. He first heard the Dhamma when he was visiting Kapilavatthu. After ordination as a monk, he concentrated his mind and reached the mundane jhānas, or absorptions. Using these absorptions, he then proceeded with the insight or vipassanā meditation, and attained arahantship.

Until Arahatship, the Venerable Revata oftentimes doubted everything, even the allowable ones, with regard to the Monastic Discipline. Therefore, he was nicknamed Kaṅkhā Revata, or the Doubter.

The Mahāgosinga Sutta (MN 32.5) records his answer to the Venerable Sāriputta’s question as which kind of bhikkhu could illuminate the Gosinga sala-tree Wood: ”Here friend Sāriputta, a bhikkhu delights in solitary meditation and takes delight in solitary meditation; he is devoted to inetrnal serenity of mind, does not neglect meditation, possesses insight and dwells in empty huts. That kind of bhikkhu could illuminate this Gosinga Sala-tree Wood.”

In the Uttaramātu-peta Vatthu, Uttara’s mother having been born as a peta, and having wandered about for fifty years without water, came upon the Venerable Revata enjoying the siesta on the banks of the ganges and begged him for succor. Having learned her story, Revata gave various gifts to the Saṅgha in her name and so brought her happiness.

The Buddha granted him the title of the monk who excelled in quick transition to jhāna in the Noble Order.

Ditulis oleh Rama Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, Sāsanadhaja Dharma Adhgapaka, Rohaniwan Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia

Kisah 32 Murid Utama Buddha Gotama: 9. YA Rāhula Thera

0

(Sumber gambar: https://pixabay.com/photos/buddhist-monk-reading-scripture-6752688/)

9. YA Rāhula Thera

Beliau adalah anak Pangeran Siddhatta, yang kemudian menjadi Sang Buddha,  dan Puteri Yasodharā. Begitu dilahirkan, Pangeran Siddhatta meninggalkan istana untuk menjadi petapa.

Menjadi Sāmanera

Halaman 102-104 Vinaya Piṭaka mencatat bahwa setelah mencapai Penerangan Sempurna, Sang Buddha pergi ke Kapilavatthu untuk mengunjungi keluarga-Nya. Pangeran Rāhula ditahbiskan menjadi sāmanera oleh YA Sāriputta.

Sāmanera Rāhula setiap bangun pagi memungut segenggam pasir dan berkata “Semoga saya mendapat teguran dari Bhagavā atau dari guru saya sebanyak butir pasir yang ada di dalam genggaman ini.”

Ambalatthikārāhulovāda Sutta (MN 61) dan Mahārāhulovāda utta (MN 62) mencatat pelajaran-pelajaran Sang Buddha kepada YA Rāhula. Cūlarāhulovāda Sutta (MN 147) mencatat bahwa beliau menjadi Arahat ketika mendengarkan ajaran Sang Buddha tentang pandangan terang mengenai anicca dan dukkha.

YA Rāhula dianugerahi gelar sebagai bhikkhu yang terbaik dalam menyukai nasihat sehubungan dengan Tiga Latihan, yaitu Vinaya, meditasi ketenangan (samatha) dan meditasi pandangan terang (vipassanā).

Beliau mencapai Parinibbāna di Surga Tāvatiṁsa di antara para dewa/-i di sana.

9. The Venerable Rāhula Thera

He was the son of Prince Siddhatta, the future Buddha, and Princess Yasodharā. Just after his birth, Prince Siddhatta left the palace to become an ascetic.

Novicehood

Pages 102-104 of Vinaya Texts reocrd that after the Great Enlightement, the Buddha went to Kapilavatthu to visit his family. Young Rāhula was then ordained as the first novice in Buddhism by the Venerable Sāriputta.

Every morning after waking up, he would collect a fistful of sand and said:” May I receive as many exhortations by the Buddha or my teacher as the number of sand grains on hand.”

The Ambalatthikārāhulovāda Sutta (MN 61) and Mahārāhulavāda utta (MN 62) record the instructions given by the Buddha to the venerable Rāhula. The Cūlarāhulovāda Sutta (MN 147) records that he became an Arahant while listening to a discourse by the Buddha concerning insight into impermanence and suffering.

He was then conferred with the title of the monk who excelled in the enjoyment of exhortations about the Three Trainings, namely, the Disciplinary Code and serenity and insight meditations.

He reached Final Nibbāna in the Tāvatiṁsa heaven among the devas there.

Ditulis oleh Rama Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, Sāsanadhaja Dharma Adhgapaka, Rohaniwan Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia

Kisah 32 Murid Utama Buddha Gotama: 8. YA Anuruddha Thera

0

(Sumber gambar: https://pixabay.com/photos/meditation-bhikkhu-mahamevnawa-1777522/)

8. YA Anuruddha Thera

Terlahir sebagai Pangeran Anuruddha dalam keluarga seorang pangeran Sakya yang bernama Amitodana, saudara Raja Suddhodana, beliau hidup dalam kemewahan bersama-sama dengan saudaranya, yang kemudian dikenal sebagai YA Mahānāma. Pangeran Anuruddha memiliki tiga buah istana, satu untuk musim dingin, satu lagi untuk musim panas dan yang ketiga untuk musim hujan. Apa pun yang diinginkannya langsung terpenuhi.

Halaman 482 Vinaya Texts mencatat sebagai berikut: Di hutan Anupiya, Pangeran Anuruddha, Raja Bhaddiya, Pangeran-Pangeran Ānanda, Bhagu, Kimbila, dan Devadatta serta tukang cukur yang bernama Upāli menghadap Sang Buddha. Atas permintaan para pemuda Sakya tersebut, Sang Buddha pertama-tama menerima Upāli menjadi bhikkhu, lalu mereka.

Sebelum vassa (retret 3 bulan selama musim hujan) pada saat itu berakhir, YA Bhaddiya menjadi ahli dalam Abhiññā Berunsur Tiga (te-vijja), YA Anuruddhā mendapatkan mata dewa (dibbacakku), YA Ānanda  menjadi Sotāpanna dan Devadatta mencapai jenis iddhi yang dapat diperoleh bahkan oleh orang-orang yang belum memasuki Jalan Suci.

YA Anuruddha menjadi Arahat pada vassa yang berikutnya.

Sang Buddha menganugerahkan kepada YA Anuruddha gelar sebagai bhikkhu yang terkemuka dalam hal dibbacakkhu, yaitu kemampuan melihat di atas mata fisik, yang dalam hal YA  Anuruddha mencapai sistem dunia yang berunsur seribu.

Mahāparinibbāna Sutta (DN 16) mencatat bahwa YA Anuruddha hadir selama momen penting Mahaparinibbāna Sang Buddha dan menjelaskan kepada hadirin tentang proses tersebut.

8. The Venerable Anuruddha Thera

Born as Prince Anuruddha to the family of a Sakyan prince named Amitodana, King Suddhodana’s brother, he lived in luxury with his brother, the future Venerable Mahānāma. Prince Anuruddha had three palaces, one for the cold season, one for the hot season and one for the rainy season and whatever he wanted was immediately fulfilled.

Page 482 of Vinaya Texts records as follows: In the Anupiya Grove, he, King Bhaddiya, Princes Ᾱnanda, Bhagu, Kimbila and Devadatta and the barber Upāli came to the presence of the Buddha. At the request of the young Sakyan men, the Buddha first received Upāli  and, afterwards, the young Sakyan men, into the Order.

Before that rainy season was over, the Venerable Bhaddiya became master of the Te-vijja, the Venerable Anuruddhā acquired the Heavenly Vision, the Venerable Ānanda  realised the effect of having entered the Stream and Devadatta attained to that kind of Iddhi which is attainable even by those who have not entered upon the Excellent Way.

The Venerable Anuruddha reached arahantship in the subsequent rains retreat.

The Buddha conferred on him the title of the monk who excelled in the divine eye, the ability to see beyond the physical eye, extending in the Venerable Anuruddha’s case to a thousandfold world system.

The Mahāparinibbāna Sutta (DN 16) records that the Venerable Anuruddha was present during the momentous moment of the Buddha’s great passing away and expalined to those in attendance about the process.

Ditulis oleh Rama Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, Sāsanadhaja Dharma Adhgapaka, Rohaniwan Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia

Kisah 32 Murid Utama Buddha Gotama: 7. YA Assaji Thera

(Sumber gambar: https://pixabay.com/photos/monk-temple-meditation-buddha-4649046/)

7. YA Assaji Thera

Kelahiran

Lahir di perkampungan Brahmana Donavatthu di dekat Kapilavatthu, Assaji muda merupakan anak dari salah satu delapan orang Brahmana yang diundang oleh Raja Suddhodana ke upacara pemberian nama Pangeran Siddhatta, yang kemudian dikenal sebagai Petapa Gotama sebelum Pencerahan Agung dan lalu menjadi Sang Buddha. Setelah orang tuanya meninggal, YA Assaji mengikuti YA Koṇḍañña menjadi petapa di hutan Uruwela dan melayani Petapa Gotama.

Sotāpanna Pertama di Dunia

Setelah petapa Gotama menjadi Sang Buddha, YA Assaji menjadi satu dari Lima Orang Petapa pertama yang mendengarkan khotbah pertama Sang Buddha, yaitu Dhammacakkapavattana Sutta, dan langsung menjadi Sotāpanna pertama di dunia. Lalu, beliau diterima menjadi bhikkhu oleh Sang Buddha. Keempat orang sesama petapanya ikut diterima sebagai bhikkhu dan mereka bersama-sama merupakan  Saṅgha, yang semuanya kemudian menjadi Arahat. Keempat Arahat yang lain adalah Bhaddiya, Vappa, Mahānāma and Koṇḍañña.

Guru Pertama YA Sāriputta dalam Dhamma

YA Sāriputta pertama kali mendengar Dhamma melalui sebuah bait yang diucapkan oleh YA Assaji,  langsung memperoleh Mata Dhamma dan menjadi Sotāpanna (orang suci tingkat pertama).

Bait termasyur tersebut berbunyi sebagai berikut:”

Tentang hal-hal yang muncul karena sebab,
Sang Tathagatha (Sang Buddha) telah membabarkan sebab tersebut,
Dan juga bagaimana berhentinya sebab tersebut.
Inilah doktrin Sang Pertapa Agung (Sang Buddha).”

Dalam kata lain, Kebenaran Mulia yang kedua dan ketiga telahdiungkapkan. Bait tersebut selanjutnya disebut sebagai Bait Assaji.

Sangat dihormat oleh YA Sāriputta

Selama hidupnya YA Sāriputta menunjukkan hormat kepada YA Assaji. Penjelasan tentang Syair 392 Dhammapada bercerita bahwa kapan pun YA  Sāriputta berdiam di vihara yang sama dengan YA Assaji, langsung setelah menghormat Sang Buddha, beliau selalu pergi untuk menghormat sesepuh yang agung itu, sambil berpikir, ”Bhante ini adalah guru pertama saya. Karena beliaulah saya mengetahui Ajaran Sang Buddha.” Ketika YA Assaji berdiam di vihara lain, YA Sāriputta biasanya menghadap arah di mana sang sesepuh sedang berdiam dan  bernamaskara  (menghormat dengan kepala, dua tangan dan lutut menyentuh bumi).

7. The Venerable Assaji Thera

Birth

Born in the village of the Brahmin Donavatthu near Kapilavatthu, young Assaji was the son of one of the eight Brahmins invited by King Suddhodana to the naming ceremony of Prince Siddhatta, who was later to be known as the ascetic Gotama until the Great Enlightenment and then became the Buddha. After the death of his parents, the Venerable Assaji joined the Venerable Koṇḍañña to practice the ascetic life in  Uruvelā and used to attend on the ascetic Gotama.

First Sotāpanna in the World

After the ascetic Gotama became the Supreme Buddha, the Venerable Assaji was one of the first five ascetics (the Pañcavaggiyā) who listened to the Buddha’s firsts ermon, the Dhammacakkapavattana Sutta, and become the first sotāpanna in the world. He was then ordained by the Buddha as a monk. His four fellow ascetics followed suit and they together  formed the Saṅgha, all of whom subsequently became Arahants. The other four were Bhaddiya, Vappa, Mahānāma and Koṇḍañña.

The Venerable Sāriputta’s First Teacher in the Dhamma

The Venerable Sāriputta first learned the Dhamma through a stanza recited by the Venerable Assaji in Rājagaha, gained the Dhamma Eye on the spot and became a Sotāpanna (first degree saint).

The famous stanza reads as follows:

” Of those things that arise from cause,
The Tathagata has told the cause,
And also what their cessation is:
This is the doctrine of the Great Recluse.”

In other words, the second and third Noble Truths were revealed. The stanza was subsequently known as the Assaji stanza.

The Venerable Sāriputta respected the Venerable Assaji very much as his first teacher in the Dhamma. Verse 392 of the Dhammapada Commentary tells us an example of this respect: ”Whenever the Venerable Sāriputta lived in the same monastery as the venerable Assaji, immediately after having paid homage to the Buddha, he always went to venerate the Venerable Assjai, thinking:”This venerable one was my first teacher. It was through him that I came to know the Buddha’s Dispensation.” When the venerable Assaji lived in anotehr monastery, the Venerable Sāriputta used to face the direction in which he was living dan pay homage to him by touching the ground at five places (with the head, hands and feet) and saluting him with joined palms.

Ditulis oleh Rama Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, Sāsanadhaja Dharma Adhgapaka, Rohaniwan Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia

Kisah 32 Murid Utama Buddha Gotama: 6. YA Vakkali Thera

(Sumber gambar: https://www.pexels.com/photo/architecture-asia-asian-blur-236148/)

6. YA Vakkali Thera

Lahir di Sāvatthi dalam keluarga brahmana, oleh orang tuanya diberi nama Vakkali. Suatu hari beliau melihat Sang Buddha dan para bhikkhu sedang melakukan piṇḍapāta, terpesona dengan keagungan fisik Sang Buddha sehingga beliau mengikuti Sang Buddha dan para bhikkhu hingga vihāra. Di sana beliau selalu menatap keagungan Sang Buddha ketika membabarkan khotbah sambil beliau duduk di hadapan Sang Buddha. Karena keinginannya yang selalu ingin menatap Sang Buddha, beliau memohon agar ditahbiskan sebagai bhikkhu.

Sang Buddha tahu bahwa YA Vakkali tidak melakukan apa-apa dalam menjalani kebhikkhuan, kecuali hanya menatap Sang Buddha. Ketika saatnya tiba, Sang Buddha berkata kepada beliau, “Vakkali, apa gunanya engkau menatap tubuh busuk ini? Orang yang melihat Dhamma juga melihat Aku; orang yang melihat Aku juga melihat Dhamma.”

Terkemuka dalam Keyakinan

Pada suatu hari di tengah pertemuan dengan para bhikkhu, kepada YA Vakkali Sang Buddha menganugerahkan gelar sebagai siswa yang memiliki keyakinan yang terbaik.

Parinibbāna

Parinibbāna YA Vakkali digambarkan secara mengesankan dalam SN III.87:5: ” Sang Buddha, bersama-sama dengan sejumlah bhikkhu, pergi ke Batu Hitam di Lereng Gunung Isigili. Sang Buddha melihat di kejauhan YA Vakkali sedang berbaring di tempat tidur dengan bahu miring. Pada saat itu segumpal asap, yang berbentuk lingkaran hitam, sedang bergerak ke timur, lalu ke barat, lalu ke utara, lalu ke selatan, ke atas, ke bawah dan ke tengah. Kemudian, Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “ Para bhikkhu apakah kamu melihat gumpalan asap, berbentuk lingkaran hitam, yang sedang bergerak ke timur, lalu ke barat, lalu ke utara, lalu ke selatan, ke atas, ke bawah dan ke tengah?”

“Ya, Bhante.”

“Para bhikkhu, itu adalah Māra Sang Iblis, yang sedang mencari-cari kesadaran Vakkali sambil bertanya-tanya: “Di manakah kesadaran Vakkali terbentuk sekarang?” Namun, para bhikkhu, dengan tidak terbentuknya kesadaran, Vakkali telah mencapai Parinibbāna.”

Demikianlah kisah YA Vakkali Thera. Semoga dapat memberikan wawasan untuk kita semua.

6. The Venerable Vakkali Thera

He was born to a Brahmin family in Sāvatthi and named Vakkali. One day he noticed the Buddha and the retinue of monks going on alms round. He was so fascinated by the Buddha’s physical glory that he followed Him and the monks on their way back to the monastery. Then, the Venerable Vakkali sat in front of the Buddha expounding a discourse and at all times watched the latter’s body. Therefore, the Venerable Vakkali requested that he be ordained as a monk.

The Buddha noticed that the Venerable Vakkali did not do anything relating to monkhood but watched Him all the time. In the Vakkali Sutta (SN III, 87:5) the Buddha said to him: ”Vakkali, what’s the point looking at this vile body? One who sees the Dhamma also sees me. One who sees me sees the Dhamma.”

Excellence in Faith

One day during a meeting with monks, the Buddha conferred upon him the title of the Disciple foremost in faith.

Final Nibbāna

The Venerable Vakkali’s death is described impressively in SN III, 87:5: “The Blessed One, together with a number of bhikkhus, went to the Black Rock on the Isigili Slope. The Blessed One saw in the distance the Venerable Vakkali lying on the bed with his shoulder turned. Now on that occasion a cloud of smoke, a swirl of darkness, was moving to the east, then to the west, to the north, to the south, upwards, downwards, and to the intermediate quarters. The Blessed One then addressed the bhikkhus thus: “Do you see, bhikkhus, that cloud of smoke, that swirl of darkness, moving to the east, then to the west, to the north, to the south, upwards, downwards, and to the intermediate quarters?”

“Yes, Venerable sir.”

“That, bhikkhus, is Māra the Evil One searching for the consciousness of the clansman Vakkali, wondering: “Where now has the consciousness of the clansman Vakkali been established?” However, bhikkus, with consciousness unestablished, the clansman Vakkali has attained final Nibbāna.”

Ditulis oleh Rama Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, Sāsanadhaja Dharma Adhgapaka, Rohaniwan Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia

Kisah 32 Murid Utama Buddha Gotama: 5. YA Sīvalī Thera

5. YA Sīvalī Thera

Asātarūpa Jātaka (Jātaka 100): Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Kundadhānavana dekat kota Kundiya mengenai Suppavāsā, seorang upasika putra Raja Koliya. Pada saat itu, ia telah mengandung seorang anak selama tujuh tahun dan sudah memasuki hari ketujuh rasa sakit hebat untuk persalinannya. Walaupun semua penderitaan berat itu, ia berpikir sebagai berikut, “Sang Bhagava (Sang Buddha), Yang Tercerahkan Sempurna, membabarkan Dhamma sehingga penderitaan ini dapat berakhir;  orang-orang pilihan Sang Bhagava berjalan demikian bajik sehingga penderitaan ini dapat berakhir; Nibbāna adalah tempat membahagiakan saat penderitaan ini dapat berakhir.” Ketiga pikiran itu merupakan penghiburan baginya dalam penderitaan hebatnya itu. Kemudian, ia menyuruh suaminya menemui Sang Bhagava untuk memberitahukan keadaannya dan menyampaikan salam atas namanya.

Pesannya disampaikan kepada Sang Bhagava, yang berkata, “Semoga Suppavāsā, putri Raja Koliya, tumbuh kuat dan sehat lagi serta melahirkan seorang bayi yang sehat.” Langsung setelah kata-kata Sang Bhagava, Suppavāsā menjadi sehat dan kuat dan melahirkan seorang bayi yang sehat.

Saat kembali dan mendapati istrinya telah melahirkan dengan selamat, suaminya takjub pada kekuatan luhur Sang Buddha. Karena anaknya telah lahir, Suppavāsā sangat ingin mempersembahkan hadiah selama tujuh hari kepada Sangha dengan Sang Buddha sebagai pemimpin mereka dan menyuruh suaminya lagi untuk mengundang mereka.

Kebetulan pada saat itu Sangha yang dipimpin oleh Sang Buddha telah menerima undangan umat awam yang menyokong YM Mahā Moggallāna; tetapi, Sang Guru, yang ingin memenuhi niat berdana Suppavāsā mengutus sang thera untuk menjelaskan hal tersebut dan bersama Sangha menerima perjamuan Suppavāsā selama tujuh hari.

Pada hari ketujuh ia mendandani bayi kecilnya, yang bernama Sīvalī dan menyuruhnya membungkuk di depan Sang Buddha dan Sangha. Saat bayi itu dibawa menghadap YA  Sāriputta pada waktu yang semestinya, YA  Sāriputta dengan penuh keramahan menyapa bayi itu, “Nah, Sīvalī, apakah kamu baik-baik?”Bagaimana bisa begitu, Pak?” kata sang bayi, “Selama tujuh tahun yang panjang saya telah berkubang dalam darah.”

Lalu, dengan gembira Suppavāsā berseru, “Anakku, yang hanya berusia tujuh hari, benar-benar berbincang-bincang mengenai agama dengan YA Sāriputta, sang Panglima Dhamma?”

“Maukah engkau memiliki anak lagi yang seperti ini?” tanya Sang Guru. “Mau, Bhante,” jawab Suppavāsā, “tujuh lagi, jika saya bisa mendapatkan anak yang seperti dia.” Dengan perkataan yang khidmat Sang Guru berterima kasih atas perjamuan Suppavāsā dan pergi.

Pada usia tujuh tahun Sīvalī kecil menerima Dhamma dengan sepenuh hati dan meninggalkan keduniawian untuk masuk Saṅgha; pada usia dua puluh tahun ia diterima menjadi bhikkhu. Beliau bersifat bajik dan mendapatkan mahkota kebajikan berupa pencapaian sebagai Arahat dan bumi pun bersorak keras karena gembira.

Aṅgutarra Nikāya I.24 mencatat bahwa Sang Buddha menganugerahi YA Sīvalī gelar sebagai yang terbaik di antara para penerima persembahan.

5. The Venerable Sῑvalī Thera

Asātarūpa Jātaka (Jātaka 100): This story was told by the Master while at Kuṇḍadhānavana near the city of Kuṇḍiya about Suppavāsā, a lay-sister, who was daughter to King Koliya. For at that time, she, who had carried a child seven years in her womb, was in the seventh day of her throes, and her pains were grievous. In spite of all her agony, she thought as follows: “All-Enlightened is the Blessed One who preaches the Truth to the end that such suffering may cease; righteous are the Elect of the Blessed One who so walk that such suffering may cease; blessed is Nibbāna wherein such suffering cloth cease.” These three thoughts were her consolation in her pangs. And she sent her husband to the Buddha to tell her state and bear a greeting for her.

Her message was given to the Blessed One, who said,  “May Suppavāsā, daughter of the king of the Koliyas, grow strong and well again, and bear a healthy child.” And at the word of the Blessed One, Suppavāsā, daughter of the king of the Koliyas, became well and strong, and bore a healthy child.

Finding on his return that his wife had been safely delivered, the husband marvelled greatly at the exalted powers of the Buddha. Now that her child was born, Suppavāsā was eager to show bounty for seven days to the Brotherhood with the Buddha at its head, and sent her husband back to invite them.

Now it chanced that at the time the Brotherwood with the Buddha at its head had received an invitation from the layman who supported the Elder Moggallāna the Great; but the Master, wishing to gratify Suppavāsā’s charitable desires, sent to the Elder to explain the matter, and with the Brotherwood accepted for seven days the hospitality of Suppavāsā.

On the seventh day she dressed up her little boy, whose name was Sīvalī, and made him bow before the Buddha and the Brotherwood. And when he was brought in due course to the Venerable Sāriputta, the Elder in all kindness greeted the infant, saying, “Well, Sīvalī, is all well with you?” “How could it be, sir?” said the infant. “Seven long years have I had to wallow in blood.”

Then in joy Suppavāsā exclaimed, “My child, only seven days old, is actually discoursing on religion with the apostle Sāriputta, the Captain of the Faith?”

“Would you like another such a child?” asked the Master. “Yes, sir,” said Suppavāsā, “seven more, if I could have them like him.” In solemn phrase the Master gave thanks for Suppavāsā’s hospitality and departed.

At seven years of age the child Sīvalī gave his heart to the faith and forsook the world to join the Brotherwood; at twenty he was admitted a full Brother. Righteous was he and won the crown of righteousness which is Arahatship, and the earth shouted aloud for joy.

Aṅgutarra Nikāya 1.24 records that the Buddha granted him the title the best among the recipients of gifts.

Ditulis oleh Rama Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, Sāsanadhaja Dharma Adhyapaka, Rohaniwan Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia

http://www.tjansietek.com 

Kisah 32 Murid Utama Buddha Gotama: 4. YA Ānanda Thera

(Sumber Gambar: https://www.pexels.com/photo/monk-meditating-372281/)

4. YA Ānanda Thera

Kelahiran

YA Ānanda terlahir sebagai putera Amitodana Kapilavatthu, hari lahirnya bersamaan dengan Pangeran Siddhatta. YA Ānanda menjadi bhikkhu di hutan mangga Anupiya dalam perjalanan bersama dengan Mahānāma, Bhaddhiya, Bhagu, Kimbila, Devadatta dan Upāli.

Setelah mendengarkan khotbah Dhamma dari YA Puṇṇa Mantānipputta, YA Ānanda mencapai tingkat kesucian Sotāpanna.

Pembantu Tetap Sang Buddha

Bodhi (2003:140) and Dhammika (60-61) menulis bahwa pada usia 55 tahun beliau diangkat oleh Sang Buddha sebagai pembantu tetap-Nya setelah Sang Buddha menyetujui 8 macam kemurahan hati, yang terdiri atas 4 buah larangan (1) Sang Buddha tidak boleh memberinya satu pun makanan yang Sang Buddha terima dan juga (2) jubah-jubah yang diberikan kepada Sang Buddha, (3) bahwa YA Ānanda tidak boleh diberi akomodasi yang khusus, dan (4) YA Ānanda tidak harus menyertai Sang Buddha ketika Sang Buddha menerima undangan ke rumah penduduk; dan 4 permohonan: (1) jika beliau diundang makan, beliau dapat mengalihkannya kepada Sang Buddha, (2) jika orang-orang datang dari daerah luar untuk bertemu Sang Buddha, beliau harus mendapat hak istimewa untuk memperkenalkan mereka kepada Sang Buddha, (3) jika beliau mengalami keraguan apa pun tentang Dhamma, beliau dapat berbicara tentang hal itu kepada Sang Buddha pada setiap saat, dan (4) jika Sang Buddha membabarkan ceramah ketika beliau tidak hadir, Sang Buddha harus mengulanginya di hadapan beliau.

Membantu Pembentukan Saṅgha Bhikkhuni

Halaman 521-524 Vinaya Piṭaka mencatat bahwa YA Ānanda mendukung permohonan Mahapājapatῑ Gotami dan sejumlah wanita suku Sakya 500 orang wanita yang lain serta mohon persetujuan Sang Buddha agar wanita diterima masuk ke dalam Saṅgha sehingga Saṅgha Bhikkhuni terbentuk.

Menjadi Arahat

Sekitar hingga empat bulan setelah Sang Buddha Parinibbāna, YA Ānanda baru mencapai Sotāpanna. Baru sewaktu akan diadakan Saṅgha Samaya (Sidang atau Konsili Saṅgha) yang pertama di Goa Sattapanni, Rājagaha, YA Ānanda menjadi Arahat. (MV:ii)

Halaman 548 Vinaya Piṭaka  mencatat saat yang mengesankan ketika beliau menjadi Arahat: “Dan YA Ānanda, sambil berpikir, ‘besok adalah hari sidang, sekarang tidak sesuai bagi saya untuk memasuki sidang selama saya masih hanya di jalan/berlatih (untuk menjadi Arahat) menghabiskan seluruh malam hari beliau dengan pikiran yang terjaga. Pada saat malam akan berakhir, ketika berniat berbaring, beliau memiringkan tubuh. Tetapi, sebelum kepala beliau mencapai bantal sedangkan kedua kaki beliau masih jauh dari atas lantai, di antara jeda waktu itu beliau menjadi bebas dari kemelekatan pada dunia dan pikiran beliau terbebaskan dari Āsava-Āsava (yaitu nafsu indrawi, keinginan hidup abadi, pandangan salah, dan  kebodohan batin).”

Pengulang Sutta Piṭaka

Lalu, beliau ditugaskan mengulang Sutta Piṭaka dalam sidang tersebut.

Penjaga atau Bendahara Dhamma

YA Ānanda melewatkan tahun-tahun terakhirnya dengan mengajar, berkhotbah dan memberikan semangat kepada para bhikkhu yang lebih muda karena mendengarkan paling banyak ceramah langsung dari Sang Buddha.

Parinibbāna dan Relik

Bodhi (2003:182) menulis bahwa ketika YA Ānanda berusia 120 tahun, beliau merasa bahwa akhir masa hidup beliau sudah dekat. Beliau pergi dari Rājagaha dalam perjalanan menuju Vesāli, persis seperti yang telah dilakukan oleh Guru beliau. Ketika Raja Magadha dan pangeran-pangeran Vesāli mendengar bahwa YA Ānanda segera akan mencapai Parinibbāna, mereka bergegas mengejar beliau dari kedua arah untuk mengucapkan salam perpisahan. Untuk berlaku adil kepada kedua pihak, YA Ānanda memilih cara untuk wafat sesuai dengan sifat halus beliau: beliau meluncur ke udara dengan memakai kekuatan batin beliau dan menjadikan tubuh beliau termakan oleh unsur api. Relik-Relik beliau dibagi menjadi dua dan stupa-stupa didirikan.

Bhikkhu yang terkemuka dalam lima kategori

Pada suatu ketika di Vihāra Jetavana, Sang Buddha memuji YA Ānanda sebagai Penjaga/Bendahara  Dhamma dan dalam banyak hal yang lain serta dinyatakan sebagai bhikkhu yang terbaik dalam:

  1. Banyak belajar atau pandai (bāhusacca)
  2. Perhatian dan memiliki ingatan yang kuat (sati)
  3. Memahami Dhamma (gati)
  4. Ketekunan dalam melestarikan Dhamma (dhiti)
  5. Memberikan pelayanan (upatthana).

4. The Venerable Ānanda Thera

Birth

Born on the same date as that of Prince Siddhatta to the family of Amitodana in Kapilavatthu, he became a monk at age 37 in the Anupiya Mango Grove during the course of a journey together with the future Venerable Mahānāma, Bhaddhiya, Bhagu, Kimbila, Devadatta and Upāli.

After listening to a Dhamma talk by the Venerable Puṇṇa Mantānipputta, he became a Sotāpanna, or Stream-enterer, the first degree saint.

The Buddha’s Regular Attendant

Bodhi (2003:140)  and Dhammika (60-61) writes that at the age of fifty-five he was appointed by the Buddha as his regular attendant after the latter agreed to the 8 favours, comprised of four restrictions: (1) the Buddha should never give him any of the food that He received nor (2) any of the robes given to the Buddha, (3) he should not be given any special accommodation, and (4) he would not have to accompany the Buddha when the latter accepted invitations to people’s homes; and four requests (1) if he was invited to a meal, he could transfer the invitation to the Buddha, (2) if people came from outlying areas to see the Buddha, he would have the privilege of introducing them to the Buddha, (3) if he had any doubts about the Dhamma, he should be able to talk to the Buddha about them at any time; and (4) if the Buddha gave any discourse in his absence, He would later repeat it in his presence.

Help in the Establishment of the Order of Nuns

Pages 521-524 of Vinaya Texts the Venerable Ānanda supported the request of Mahapājapatῑ Gotami and a number of women of the Sakyan clan and sought the leave of the Buddha that women be admitted into the Sangha, or the Noble Order, such that the Buddhist Nuns’ Order was established.

Arahantship

Up until about four months after the Buddha’s death, he remained a Sotāpanna. He became an Arahant only by the time the First Buddhist Council would begin in the Sattapanni cave, Rājagaha. (MV:ii)

The page 548 of Vinaya Texts records the memorable moment he became an Arahant: ”And the Venerable Ānanda —thinking, ’To-morrow is the assembly, now it beseems me not to go into the assembly while I am still only on the way (towards Arahatship)’ spent the whole night with mind alert. At the close of the night, intending to lie down, he inclined his body, but before his head reached the pillow and while his feet were still far from the ground, in the interval he became free from attachment to the world and his heart wasemancipated from the Āsavas (that is to say, from sensuality, individuality, delusion and ignorance).”

Reciter of the Sutta Piṭaka

He was then assigned to recite the Sutta Piṭaka in the assembly.

Guardian or Treasurer of the Dhamma

He spent his subsequent period teaching, preaching to and encouraging junior monks as it was he who listened to most of the discourses personally expounded by the Buddha.

Final Nibbāna and Relics

Bodhi (2003:182) writes that when Ᾱnanda was one hundred and twenty years old, he felt that his end was near. He went from Rājagaha on a journey to Vesālῑ, just as his Master had done. When the king of Magadha and the princes of Vesāli heard that Ᾱnanda would soon attain final Nibbāna, they hurried to him from both directions to bid him farewell. In order to do justice to both sides, Ᾱnanda chose a way to die in keeping with his gentle nature: he raised himself into the air through his supernormal powers and let his body be consumed by the fire element. The relics were divided and stūpas erected.

Excellence in Five Categories

On one occasion at the Jetavanna Monastery, the Buddha praised the Venerable Ᾱnanda as the Guardian/Treasurser of the Dhamma and in many other matters and as the monk who excelled in five categories:

  1. Much learning;
  2. Attention and mindfulness;
  3. Understanding of the Dhamma;
  4. Diligence in preserving the Dhamma; and
  5. Provision of services.

Ditulis oleh Rama Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, Sāsanadhaja Dharma Adhgapaka, Rohaniwan Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia

Kisah 32 Murid Utama Buddha Gotama: 3. YA Koṇḍañña Thera

0

3. YA Koṇḍañña Thera

Lahir di keluarga brahmana kaya di perkampungan Brāhmaṇa Doṇavatthu di dekat Kapilavatthu, brāhmaṇa cilik itu diberi nama Koṇḍañña, belajar Triveda dan menguasai ilmu mengenali tanda-tanda manusia luar biasa. Pada hari pemberian nama Pangeran Siddhatta yang dihadiri 108 orang brāhmaṇa, terdapat delapan brāhmaṇa yang duduk di barisan depan. Di antara delapan orang brāhmaṇa itu, tujuh mengacungkan dua jari mereka masing-masing dan meramalkan kelak Pangeran Siddhatta jika menjadi orang awam akan menjadi seorang raja dunia dan, jika menjalani hidup petapa, akan menjadi Buddha di tiga alam kehidupan. Seorang brāhmaṇa muda yang bernama Koṇḍañña, setelah mempelajari tanda-tanda bayi itu dengan seksama dan kemudian mengacungkan satu jari, sambil dengan tegas berkata, “Sama sekali tidak mungkin untuk pangeran ini menjalani kehidupan rumah tangga. Ia akan pasti menjadi Buddha.”

Setelah Pangeran Siddhatta meninggalkan Istana untuk menjadi petapa, yang dikenal sebagai Petapa Gotama, Koṇḍañña mengunjungi rumah tujuh orang brāhmaṇa lain, yang semuanya telah meninggal dunia, dan mengajak para putera mereka untuk diajak menjadi petapa. Tidak semuanya memiliki cita-cita yang sama dan, karena itu, hanya empat orang, yaitu Bhaddiya, Wappa, Mahānāma dan Assaji, yang mengenakan jubah petapa di bawah kepemimpinan Koṇḍañña, yang tertua di antara mereka semua.

Mereka bertapa di hutan Uruwelā bersama-sama dengan petapa Gotama. Setelah menganggap petapa Gotama menodai kehidupan petapa karena menerima makanan berupa nasi dengan susu dari Sujātā, mereka meninggalkan petapa Gotama dan pergi ke Taman Rusa di Isipatana, Benares.

Setelah beberapa waktu petapa Gotama  menjadi Sang Buddha dan pergi ke taman tersebut. Di sana beliau membabarkan Ceramah Pemutaran Roda Dhamma, Dhammacakkappavattana Sutta (SN 56:11), kepada lima orang petapa tersebut. Pada tahap-tahap akhir ceramah yang agung itu, YA Koṇḍañña mengerti bahwa jika dukkha disebabkan oleh nafsu,  seharusnya juga ada keadaan yang tanpa dukkha ketika nafsu dilenyapkan. Karena itu, walaupun tidak terhitung jumlah Brahma dan dewa yang mencapai Pembebasan pada malam bulan purnama Āṣāḍha yang mengesankan itu, beliau adalah manusia pertama yang mengerti Dhamma dan anggota Sangha pertama yang menjadi Sotāpanna, orang suci tingkat pertama.  Sang Buddha menyebut beliau sebagai “Aññāsi Koṇḍañña” (Koṇḍañña yang Mengerti”) dan pada hari yang kelima menjadi Arahat. Keempat orang bhikkhu lainnya juga menjadi Arahat pada waktu yang semestinya setelah pleajaran-pelajaran harian yang berpuncak pada ceramah selanjutnya yang dibabarkan kepada mereka, yang berjudul Anattalakkhaṇa Sutta (SN 22:59).

YA Koṇḍañña mencapai Parinibbāna di dekat danau Chaddanta. Para bhikkhu mengumpulkan relik-relik beliau yang seputih kuntum melati dan menyerahkannya kepada Sang Buddha di Vihāra Veluvana.

Sambil memegang relik YA Koṇḍañña, Sang Buddha membabarkan khotbah Dhamma dan merentangkan tangan-Nya. Sebuah cetiya yang berbentuk gelembung perak muncul dari dalam tanah dan relik YA Koṇḍañña diletakkan di dalam cetiya itu. Cetiya itu masih ada hingga kini.

YA Koṇḍañña adalah siswa pertama yang menjadi Arahat. Beliau dianugerahkan gelar Rattaññu yang berarti “yang paling senior dalam status kebhikkhuan.”

3. The Venerable Koṇḍañña Thera

Born to a wealthy Brahmin family in the village of the Brahmin Doṇavatthu near Kapilavatthu, he was forenamed Koṇḍañña, studied the Triveda and mastered the knowledge of identifying the signs of a great man. On the naming day of Prince Siddhatta, eight of the 108 Brahmins present were seated in the front row. Of the eight, seven raised two fingers and predicted that the prince would in future become  the king of the world if he lived as a lay man and a Buddha of three spheres of existence if an ascetic. A young Brahmin, Koṇḍañña by name, carefully examined the baby’s bodily marks and then raised one finger, saying firmly,” It is absolutely impossible for the prince to live a household life. He will certainly become a Buddha.”

After the prince left the palace to become an ascetic, known as the ascetic Gotama, Koṇḍañña visited the homes of the other seven Brahmins, all of whom were deceased by then, and asked their seven sons to become ascetics. Not all the sons had the same aspiration and, therefore,  only four, Bhaddiya, Vappa, Mahānāma and Assaji, wore ascetic robes under Koṇḍañña, who was the eldest of them.

They practiced asceticism in  Uruvelā together with the ascetic Gotama. After the ascetic Gotama received a meal of milk rice  from Sujātā, they left him on the ground that he degraded the ascetic life and they went to the Deer Park at Isipatana, Benares.

Some time later the ascetic Gotama became Supreme Buddha, briefly known as the Buddha, and went to the park. There He expounded the Wheel-turning Discourse, or Dhammacakkappavattana Sutta (SN 56:11), to the five ascetics. At the closing stages of the great sermon, Koṇḍañña understood that if sorrow is caused by desire (dukkha samudaya) there should also be a sorrowless state (dukka nirodha) when desire is eradicated. Therefore, while myriads of Brahma and devas gained Deliverance on that memorable night Āsāḷhā Full Moon, the Venerable Koṇḍañña was both the first human being  to understand the Dhamma and the first member of the Order of Monks, Sangha, to become a Sotapanna, first-degree saint. The Buddha designated him as “Aññāsi Koṇḍañña (Penetrating Koṇḍañña), who would then become an Arahant on the fifth day afterwards. The other four bhikkhus also became Arahants in due course after daily instructions culminating at the next sermon expounded to them called the Anattalakkhaṇa Sutta (SN 22: 59).

The Venerable Koṇḍañña attained final Nibbāna, or Parinibbāna, near the Chaddanta Lake in the Himalayas.  His fellow monks collected his relics which were as white as jasmine flowers and handed them to the Buddha in the Veluvana Monastery.

With His hand holding the relics, the Buddha expounded a Dhamma discourse and stretched his hands. A cetiya, a relic shrine, in the form of silver bubbles arose from under the ground and the relics were put there. This cetiya is still existent to-day.

As the Venerable Koṇḍañña was the first disciple to become an Arahant, he was granted the title of Rattaññu which means the most senior in monkhood.

Ditulis oleh Rama Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, Sāsanadhaja Dharma Adhyapaka Dasa Marsa, Rohaniwan Buddha

Kisah 32 Murid Utama Buddha Gotama: 2. YA (Mahā-)Moggallāna Thera

0

2. YA (Mahā-)Moggallāna Thera

Kelahiran

Lahir di desa Koliya di Rājagaha, dekat dengan desa Nālaka tempat YA Sāriputta lahir. Sejak kecil keduanya merupakan sahabat karib dan petapa terkenal Sañjaya adalah guru mereka. YA Moggallāna bernama asli Kolita. Ayahnya kepala desa dan ibunya seorang brahmana bernama Moggallī.

Menjadi Arahat

Halaman 75 Vinaya Piṭaka mencatat bahwa YA Moggallāna mendengar Dhamma pertama kali dari Upatissa, yang kemudian dikenal sebagai YA Sāriputta. Lalu, mereka berdua sepakat menjalani kehidupan tanpa rumah (meninggalkan kehidupan duniawi). Keduanya menjadi siswa Sang Buddha dan memasuki Saṅgha.

Tujuh hari setelah menjadi Bhikkhu, YA Moggallāna menjadi Arahat.

Kekuatan batinnya

Beliau mengalahkan Nandopananda, raja naga yang juga terkenal karena kekuatan batinnya, dalam sebuah pertarungan di Himalaya. Setelah itu, sang raja naga diajukan kepada Sang Buddha dan menjadi pengikut-Nya.

Pertarungan yang yang hebat sekali itu secara ringkas dikenang pada syair ke-7 Buddhajayamaṅgala Gāthā yang diucapkan di hampir setiap acara Buddhis:”

Nāga Nandopananda yang sangat bijak dan sangat sakti,
sehingga menyebabkan dirinya dijinakkan oleh putra-Nya, yaitu Sang Sesepuh yang seperti nāga, melalui cara kekuatan batin dan nasihat, Raja Para Bijak menang.
Melalui kekuatan itu semoga perlindungan yang jaya datang kepada anda.”

Kitab Vimānavatthu mencatat kunjungan-kunjungan beliau ke berbagai macam surga tempat beliau mewawancarai dewa/-i yang hidup di sana mengenai sebab-sebab kelahiran kembali mereka di sana. Kunjungan-kunjungan itu ditujukan untuk membuktikan bahwa dana dan sila dapat menimbulkan kelahiran kembali di surga.

Sutta ke-37 Majjhima Nikāya mencatat bahwa pada suatu kunjungan ke Surga Tāvatiṁsa, beliau menggoyangkan, mengguncangkan dan menggetarkan Istana Vejayanta, tempat tinggal Sakka, Raja dewa, dengan jari kaki beliau, untuk mengingatkan Dewa Sakka tentang keterlenaannya dalam kesenangan indrawi.

Parinibbāna

Sarabhaṅga Jātaka (Jātaka 522) mencatat sebagai berikut: … Orang-orang menerima ajaran beliau dan menolak ajaran kaum pemecah belah. Penghormatan besar diberikan kepada para murid Sang Buddha sedangkan penghormatan kepada kaum pemecah belah rontok. Mereka menyimpan dendam terhadap YA Moggallāna…. Mereka menyewa seorang perampok dengan banyak sekali pengikut untuk membunuh beliau di Batu Hitam.

YA Moggallāna melayang ke angkasa dan menghilang  dengan kekuatan batin beliau untuk menghindari pembunuhan. Gagal membunuh, perampok pergi dan, kemudian, kembali selama enam hari berturut-turut.

Namun, pada hari ketujuh, perbuatan jahat beliau pada kehidupan lampau berbuah. Beliau tidak dapat menggunakan kekuatan batinnya untuk menghindar dari perampok itu. Sang perampok menghancurkan semua tulang beliau, dengan menyiksa tubuh beliau seperti ‘bubur.’ Setelah berpikir beliau meninggal, sang perampok pergi dengan para pengikutnya.

Saat sadar kembali, YA Moggallāna menyelimuti diri beliau dengan Meditasi seolah-olah dengan pakaian. Lalu, beliau terbang lewat angkasa untuk menjumpai Sang Buddha, bersujud dan berkata, ”Sang Bhagava, daya hidup saya habis: saya akan meninggal.” Setelah mendapatkan ijin dari Sang Guru, beliau langsung meninggal pada saat itu juga.

Pada saat itu juga para penghuni keenam alam dewa gempar. Mereka berseru, ”Guru kita meninggal.” Para dewa datang dengan membawa dupa, parfum dan karangan bunga yang wangi  surgawi serta segala  macam kayu. Onggokan kayu apinya terbuat dari cendana dan 99 buah benda mulia.

Sang Buddha, sambil berdiri di dekat Sang sesepuh,  memerintahkan agar relik beliau disimpan. … Sebuah festival suci berlangsung selama tujuh hari. Sang Buddha memerintahkan relik-relik itu dikumpulkan dan sebuah tempat suci dibangun di dalam sebuah kamar yang dindingnya segitiga di Veluvana, Rājagaha.

Kini relik-relik itu dapat kita lihat di sebuah stupa di Sanchi, India.

2. The Venerable (Mahā-)Moggāllana Thera

Birth

Born in the village of Koliya, Rājagaha, in close proximity to the village of Nālaka where the Venerable Sāriputta was born. They were close friends since childhood times and the well-known ascetic Sañjaya was their teacher. The Venerable Moggāllana was known as Kolita at birth. His father was the village head and his mother a Brahmin woman named Moggallῑ.

Arahatship

Page 75 of Vinaya Texts records that the Venerable Moggallāna first heard the Dhamma from Upatissa, the future Venerable Sāriputta. Then, they both agreed to go forth into homelessness and became the Buddha’s disciples and entered Saṅgha.

Seven days later the Venerable Moggallāna reached arahantship.

His supernormal feats

He defeated Nandopadanda, the naga king who was also noted for psychic feats, in a battle on the Himalayas. Thereupon, the naga king was conducted to the Buddha, whose follower he became.

This epic feat was briefly commemorated in the 7th verse of the Buddhajayamaṅgala Gāthā (Verses of Auspicous Victory) which is recited at almost every Buddhist function:”

The nāga Nandopananda very wise and of great psychic power,

Causing to be tamed by His son the elder who is like a nāga,

Through the method of psychic power and advice,

the Lord of Sages won.
Through that power may there be victorious auspices to you.”

The Vimānavatthu records his visits to various heavens where he interviewed the devas living there as to the causes of their rebirth there. The visits were intended to prove that giving (dana) and morality (sila) may lead to heavenly rebirth.

The Majjhima Nikāya records that on one visit to the Tāvatiṁsa heaven, he shook the Vejayanta Palace, the abode of Sakka, King of Devas, by touching the ground there with his toe, in order to remind the king of his indulgence in sensual enjoyment.

Final Nibbāna

The Sarabhaṅga Jātaka (Jātaka 522) records as follows: … People gladly accepted his teaching and rejected that of the schismatics. Great honour was paid to the disciples of the Buddha while that to the schismasmatics fell away. They conceived a grudge aginst the Elder … They hired a brigand with a great following to kill him at the Black Rock.

He flew into the air to avoid murder by flying into the air and disappeared employing his supernatural powers. Then, the brigand went away and returned day after day for six successive days.

However, on the seventh day the Venerable Moggallāna’s past bad deed produced a result whereby he failed to employ his supernatural powers to escape the brigand. The brigand crushed all his bones, subjeting him to a ‘straw and meal’ torture and, thinking he was dead, went off with his followers.

The Elder, on recovering consciousness, clothed himself with Meditation as with a garment, and flying up into the presence of the Master, saluted him and said, ”Holy Sir, my sum of life is exhausted: I would die,” and having gained the Master’s consent, he died then and there.

At that instant the six god realms were in a general state of commotion.”Our Master,” they cried,” is dead.” And they came, bringing incense and perfume and wreaths breathing divine odours and all kinds of wood. The pyre was made of sandalwood and ninety-nine precious things.

The Master, standing near the Elder, ordered his remains to be deposited … A sacred festival was held for seven days. The master had the relics of the Elder gathered together and erected a shrine in a  gabled chamber in the Bamboo Grove, Rājagaha.

Now we can find the relics in a stūpa in Sanchi, India.

Ditulis oleh Rama Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, Sāsanadhaja Dharma Adhyapaka Dasa Marsa, Rohaniwan Buddha