Apa arti pattidāna? (a) Secara harfiah dan tata bahasa: dāna yang berupa kebajikan (patti); (b) secara umum: pelimpahan kebajikan
Apa beda antara dāna dan pattidāna?
Dāna diberikan langsung kepada orang kedua, misalnya bhikkhu, sehingga merupakan kebajikan (patti) dan pattidāna adalah dāna berupa kebajikan tersebut yang dilimpahkan atau diberikan kepada pihak ketiga, terutama petā.
3. Perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dijadikan pattidāna?
Setiap perbuatan baik atau kebajikan dapat dijadikan pattidāna: segala jenis dāna (barang, uang, senyum, pertolongan dll yang diberikan kepada orang lain, apalagi kepada orang suci atau luhur), hasil praktik sīla dan bhāvana.
4. Apa tujuannya? Untuk secara mental membantu meringankan penderitaan penerima pattidāna, terutama mendiang kita, orang yang sedang sakit dll) agar penerimanya ber-muditacittā (senang melihat atau mendengar) tentang pattidāna yang diberikan.
5. Apa saja manfaatnya?
5.1 Bagi para mendiang:
Memberi mereka kesempatan untuk membuat kebajikan dengan merasakan manfaat dan mengucapkan terima kasih untuk pattidāna yang diberikan (kataññu katavedī) (Stanza 4 Tirokuḍḍapetāvatthu, Petāvatthu 5);
mereka bahkan mampu mengucapkan “Semoga panjang umur dan semoga bahagia” kepada para pemberinya (Stanza 5 Tirokuḍḍapetāvatthu, Petāvatthu 5);
Bermanfaat seketika maupun secara jangka panjang karena mereka hidup hanya dengan apa yang diberikan dari alam manusia (Stanza 6 Tirokuḍḍapetāvatthu)Membangkitkan kembali indra-indra mereka yang tenggelam karena segala macam penderitaan: stres, aneka kesulitan, kelaparan, kelelahan dan kehausan selama menjadi petā (Tirokuḍḍapetāvatthuvaṇṇā, Petāvatthu-aṭṭhakathā 5);
Membantu mereka mengakhiri berakhirnya masa hidup mereka sebagai petā jika memang masa itu menjelang habis (Tirokuḍḍapetāvatthuvaṇṇā, Petāvatthu-aṭṭhakathā 5);
Dll
5.2 Bagi orang sakit atau yang menjelang meninggal:
Mendorong timbulnya muditacittā pada orang yang sakit atau menjelang meninggal (sepanjang mereka memiliki keyakinan yang cukup teguh pada ajaran Buddha (pasannacittā), sadar penuh dan mampu mendengar pelimpahan kebajikan yang dilakukan) sehingga mereka menjadi tenang. Bagi yang sakit, hal itu akan membantu meringankan sakit mereka dan mendorong kesembuhan mereka.
5.3 Bagi yang menjelang meninggal, hal itu membantu menimbulkan cuti cittā (pikiran pada saat terakhir menghadapi kematian) yang tenang sehingga dapat diperkirakan lahir kembali di alam bahagia, apalagi jika percaya pada Sang Buddha dan/atau ajaran-Nya.
Catatan:
Cuti cittā dipercaya menentukan alam kelahiran kembali seseorang, hewan dan makhluk lainnya. Orang yang sangat bajik pun bisa lahir kembali di alam menderita (apāya) jika ia ingat hanya perbuatan buruknya yang melanggar salah satu Pañcasīla Buddhis, misalnya perbuatan asusila.
Contoh: Ratu Mallikā, isteri kesayangan Raja Pasenadi, lahir kembali di Neraka Avici selama satu minggu, kemudian lahir kembali lagi di Surga Tusita, karena mengingat satu perbuatan asusilanya dengan anjingnya yang bernama Vallabha, walaupun ia adalah salah satu murid langsung Sang Buddha yang terkenal setia dan yakin pada Sang Buddha, tekun berdāna kepada Sang Buddha dan banyak sekali bhikkhu dll (6. Mallikādevīvatthu, 11. Jarāvaggo, Dhammapada-aṭṭhakathā).
5.4 Bagi para pemberi:
Berbuat salah satu kebajikan (puñña) yang sebaiknya dilakukan oleh setiap orang dengan melaksanakan kewajiban kelima seorang anak sebagaimana ajaran oleh Sang Buddha di Sigālovāda Sutta: saya akan memberikan persembahan kepada orangtua saya setelah mereka meninggal dunia;
Menunjukkan sifat kataññu katavedī sebagaimana yang diajarkan oleh Sang Buddha di Dulabbha Sutta, Ańgutarra Nikāya 12(2)(2);
o Melaksanakan kewajiban kepada sanak-keluarga (ñātidhamma) (Stanza 12 Tirokuḍḍapetāvatthu);
Juga ber-muditacittā (satu di antara 4 sifat luhur: mettā, karunā, muditā dan upekkhā) karena telah membantu meringankan, bahkan menghilangkan penderitaan berat leluhur dan membahagiakan mereka;
Disukai oleh banyak orang dan makhluk lainnya;
dll.
6. Apakah pelimpahan pattidāna merupakan ikut campur kita dalam hukum karma?
Bukan, karena (i) pemberi pattidāna hanya berupaya mendorong penerimanya ber-muditacittā; (ii) jika penerimanya, yaitu ñātipetā (petā yang merupakan sanak-keluarga pemberi), mengakhiri masa hidup mereka di alam mereka, itu karena buah dari muditacittā mereka sendiri dan matangnya buah karma mereka untuk keluar dari alam mereka (Tirokuḍḍapetāvatthuvaṇṇā, Petāvatthu-aṭṭhakathā 5)
7. Apakah setiap petā dapat menerima pattidāna? Tidak. Menurut Ashin Janakābhivaṁsa (Abhidhamma in Daily Life, 1975: Bab 7), (i) petā yang hidup di hutan, gunung dan tempat lain yang sangat jauh atau terpencil tidak dapat menerimanya; (ii) bila bhikkhu yang menerima dāna tidak bermoral.
Menurut Tirokuḍḍapetāvatthuvaṇṇā, Petāvatthu-aṭṭhakathā 5, yang juga tidak bisa adalah petā yang masa hidup mereka di alam petā belum cukup atau buah karma baik mereka di masa-masa lampau sebelum menjadi petā belum matang untuk memungkinkan mereka menerima pattidāna dan mendapatkan manfaatnya.
8. Sejak kapan umat Buddha melakukan upacara pattidāna? Tidak tahu, tetapi Sang Buddha Gotama memberikan contoh betapa pentingnya pattidāna bagi ñātipetā melalui Tirokuḍḍapetāvatthuvaṇṇā, Petāvatthu-aṭṭhakathā 5:
Begitu Raja Bimbisāra mempersembahkan dāna makanan dan minuman yang besar (mahādāna) kepada Sang Buddha dan para bhikkhu, sambil berkata,” Semoga (semua) ini melimpah kepada sanak-keluarga saya,” makanan dan minuman surgawi pun muncul untuk para petā yang sedang menunggu pattidāna. Mereka merupakan sanak-keluarga Raja Bimbisāra, raja Magadha pada waktu itu. Ketika sang raja memberikan pakaian dan berkata yang sama, pakaian surgawi pun muncul untuk para petā itu dst.
9. Apa sajakah syarat-syarat untuk pemberian dāna yang akan dijadikan pattidāna?
Jawabannya adalah sejumlah saran di bawah ini:
Serius dan tekun selama persiapan sd selesai;
Uang untuk pembeliannya berasal dari mata pencarian yang benar (samma ajiva);
Persiapkan pembelian barang-barang yang akan dijadikan dāna itu dengan bahagia karena punya kesempatan melakukannya;
Jika berupa makanan dan minuman, sebaiknya beli bahannya yang sesegar dan sebaik mungkin, lalu masak sendiri (bahkan lebih baik bersama-sama dengan anggota keluarga yang lain) pada waktunya dengan perasaan bahagia; semua bahan dan bumbu dll sebaiknya minimal bermutu yang setara dengan yang biasa dikonsumsi sendiri, bahkan jika mungkin, yang lebih bermutu dan lebih mahal, tetapi dengan bijaksana;
Jika berupa vitamin dll, beli dengan persyaratan yang sama seperti yang di atas;
Undang leluhur yang bersangkutan seminggu sebelumnya (melalui pikiran dengan membayangkan wajah-wajah mereka dan memanggil mereka dengan nama lengkap mereka, atau panggilan sehari-hari mereka, ketika masih hidup) untuk datang ke tempat acara pada jam dan, hari dan tanggal yang telah ditentukan, dan secara lisan sebutkan alamat lengkap tempat itu);
Pemberiannya dilakukan dengan bahagia, tulus dan tanpa pamrih; dan
Praktikkan Pañcasīla secara aktif dan bermeditasi mettā, minimal selama seminggu sebelum hari H, lalu limpahkan buah-buahnya kepada para para leluhur;
Pada saat pemberiannya kepada Bhikkhu Saṅgha, ucapkan dengan tulus di dalam pikiran, “Semoga buah dari dāna ini melimpah kepada para leluhur saya. Semoga mereka bahagia;” dan
Rasakan terus kebahagiaan ber-pattidāna sebelum, selama dan sesudah pemberiannya kepada bhikkhu.
10. Saran lainnya: Pattidāna sebaiknya diberikan sesering mungkin dan secara bijaksana, artinya tidak memberatkan keuangan diri sendiri
1) Tathāgata yang merupakan Arahat dan Sammasaṁbuddha;
2) Orang yang mampu membabarkan Dhamma & Vinaya sebagaimana yang diajarkan oleh Sang Buddha; dan
3) Orang yang tahu terima kasih dan mengingat perbuatan orang lain bagi dirinya (kataññu katavedī, atau kataññu katavedin).
1.2 Di Sigālovāda (atau Sigālaka) Sutta, Digha Nikāya 31, setelah orangtuanya meninggal (menjadi petā), seorang anak wajib melimpahkan dakkhiṇā* kepada mereka (… pana petānaṁ kalańkatanaṁ dakkhiṇam anuppadassāmi).
Catatan:
dakkhiṇā: adalah persembahan kepada orang suci atas nama makhluk-makhluk menderita di alam peta, yang ditujukan untuk membantu meringankan penderitaan makhluk-makhluk itu (Davids & Stede, 1921-1925:146, Part IV). dakkhiṇā juga berarti (1) uang jasa atau bayaran, misalnya guru-dakkhiṇā ‘uang jasa kepada guru;’ (2) selatan (Davids & Stede, idem).
Istilah dakkhiṇā juga dipakai sebagai bagian dari judul sebuah sutta, yaitu Dakkhiṇāvibańga Sutta, Majjhima Nikāya, yang membahas 14 makhluk hidup yang layak diberi persembahan.
1.2.1 Ajaran Sang Buddha tentang lima kewajiban anak kepada orang tua selengkapnya adalah sebagai berikut:
a. bhato ne (nesaṁ bāhusu) bharissāmi (saya akan membalas sokongan mereka sebelumnya)
b.kiccaṁ nesaṁ karissāmi (saya akan melaksanakan tugas-tugas atas nama mereka)
c. kulavaṁsaṁ ṭhapessāmi (saya akan menjaga garis keturunan)
d. dayajjaṁ patipajjāmi (saya akan menjadikan diri saya layak menerima warisan); atha vā (atau)
e. pana petānaṁ kalańkatanaṁ dakkhiṇam anuppadassāmi (setelah mereka meninggal (menjadi petā), saya akan melimpahkan dakkhiṇā).
1.2.2 dakkhiṇā sebagai balas-budi kepada petā yang merupakan sanak-keluarga
Silakan baca stanza 9 dan 11 Tirokuḍḍa Vatthu di bawah ini:
Di alam petā (makhluk yang telah meninggal; mendiang), tidak ada kegiatan bercocok-tanam, perdagangan, peternakan dan jual-beli dengan emas (uang). Para petā hidup hanya hidup dengan apa yang diberikan dari sini (alam manusia). Silakan baca stanza-stanza 6 dan 7 di bawah ini,
yang diambil dari Tirokuḍḍa Vatthu, Petavatthu 5:
Ejaan, arti dan definisi Pattidāna
Ejaan
Davids & Stede (1921-1925:29, Bagian V): pattidāna
Nyanatiloka (1988:265): patti-dāna
arti
patti: a. Davids & Stede (idem): (i) pencapaian, pemerolehan; (ii) apa yang diperoleh atau dicapai; (iii) keuntungan, laba, keunggulan; (iv) kebajikan, jasa, dengan makna khusus “pemberian yang dilakukan untuk keuntungan orang lain (= dakkhinā*);” (v) apa yang mendapatkan atau memperoleh
1.3.2.2 dāna: pemberian, apa yang diberikan, persembahan, apa yang dipersembahkan.
1.1.2.3 pattidāna adalah sebuah kata majemuk deskriptif (kammadhāraya samāsa), yang berarti kata pertamanya (patti; kebajikan, jasa) menggambarkan kata keduanya (dāna).
Contoh-contoh lain kammadhāraya samāsa:
avijjapaccaya (paccaya yang berupa avijja),
kammapaccaya (paccaya yang berupa kamma)
ragaggi (api yang berupa nafsu rendah),
dosaggi (api yang berupa kebencian),
mohaggi (api yang berupa kebodohan batin)
Jadi, pattidāna secara tata bahasa berarti dāna yang berupa kebajikan atau jasa.
Secara umum, pattidāna berarti pelimpahan kebajikan atau jasa.
1.4 Pemakaian istilah pattidāna di aṭṭhakathā (kitab penjelasan)
Istilah ini dapat ditemukan di (a) Vimanavatthu-aṭṭhakathā (Kitab Penjelasan tentang Vimānavatthu: Cerita tentang Istana-Istana di Surga), misalnya di: 6. Vihāravimānavaṇṇanā: …, taṃ anumodatha, pattidānaṃ vo dammī’’ti. ‘‘Aho sādhu aho sādhū’’ti pasannacittā sabbāpi anumodiṃsu. Tattha aññatarā upāsikā visesato taṃ pattidānaṃ manasākāsi (“Mari kita ucapkan terima kasih untuk pattidāna itu dengan penuh hormat.” Dengan sukacita mereka semua mengucapkan terima kasih ‘Benar-benar bagus, benar-benar bagus!’ Di antara mereka, seorang upāsīka dengan pikiran khusus menerima pattidāna itu.),dan (b) di Petāvatthu-aṭṭhakathā, misalnya di: 1. Khettūpamapetavatthuvaṇṇanā: … pattidānavasena [dengan pattidāna (itu/ini)] ….; 2. Sāriputtattheramātupetivatthuvaṇṇanā: 158. ‘‘…, mayhaṃ pattidānaṃ dehi (Berilah saya pattidāna); 10. Khallāṭiyapetivatthuvaṇṇanā: mayhaṃ ādisa pattidānaṃ dehi (Berilah saya pattidāna yang seperti itu).
1.5 Definisi
1.5.1 Davids & Stede (idem):
pattidāna adalah (i) pemberian atau dāna yang dialihkan; (ii) pemberian kebajikan (sebagai perolehan yang bersifat permanen), pelimpahan kebajikan atau jasa (= dakkhinā).
1.5.2 Myanatiloka (idem):
pattidāna (secara harfiah) adalah pemberian apa yang diperoleh atau didapatkan, yaitu pelimpahan kebajikan atau jasa
1.5.3 Nyanatiloka (idem): pattidāna adalah salah satu di antara sepuluh dasar perbuatan yang menghasilkan kebajikan atau kebaikan (dasa puññakiriyavatthu):
Tiga di antaranya disebutkan di sutta-sutta: (i) sifat suka memberi, dermawan (dana-maya-puññakiriyavatthu); (ii) moralitas (sīla-maya-p.); dan (iii) meditasi (bhāvana-maya-p.).
Kitab-kitab penjelasan menyebutkan daftar sepuluh (dasa p.) yang sangat populer di negeri-negeri Buddhis:
(1)-(3) sudah disebutkan di atas;
(4) penghormatan (apaciti);
(5) pelayanan (veyyāvacca);
(6)pelimpahan kebajikan atau jasa (pattānuppadāna);
(7) bersuka-cita (ber-muditā-citta) ketika mengetahui atau mendengar kebajikan orang lain (abbhānumodāna);
(8) membabarkan Dhamma (dhammadesanā);
(9) mendengarkan Dhamma (dhammasavana); dan
(10) pelurusan pandangan benar seseorang (pembetulan pandangan; diṭṭhijukamma).’
Manfaatnya
Manfaat dan pentingnya pelimpahan dakkhiṇā (= pattidāna) dirinci oleh Sang Buddha di Tirokuḍḍapetāvatthu (Cerita tentang Petā di Luar Tembok), Petāvatthu (Cerita-Cerita tentang Petā) 5.
Vatthu itu berbentuk gāthā (stanza, yaitu baris yang mirip puisi atau syair):
Versi 1: Di luar dinding mereka berdiri, di pertigaan dan perempatan jalan, juga dekat tiang-tiang pintu, demikianlah setelah mereka datang ke rumah mereka sendiri.
Outside the walls they stand and at two and four-road junctions; at door posts, too, they stand, after they come to their old home.
Versi 2: Setelah datang ke rumah mereka sendiri, mereka berdiri di luar dinding, di pertigaan dan perempatan; mereka juga berdiri dekat tiang-tiang pintu.
Having come to their old home, outside the walls they stand and at road-forks and crossroads; At door posts, too, they stand.
Makanan dan minuman melimpah – makanan yang keras maupun lainnya telah siap, tetapi tidak seorang pun (yang hadir) ingat mereka sebagai akibat perbuatan para makhluk itu sendiri.
Plentiful food & drink–solid and other food- standby, But no one remembers them because of the results of the beings’ own kamma
Berlimpah makanan dan minuman—makanan yang keras maupun lembut telah siap, tetapi tidak seorang pun (yang hadir) ingat mereka sebagai akibat perbuatan para makhluk itu sendiri.
Karena itu, mempersembahkan kepada sanak-keluarga itulah orang-orang yang welas-asih: makanan dan minuman yang bersih, istimewa, yang sesuai dan pada waktu yang tepat, sambil berpikir:”
Thus those who feel sympathy for their dead relatives give timely, proper food & drinks, exquisite, clean — [thinking:]
4. Idaṁ vo ñātīnaṁ hotu, sukhitā hontu ñātayo;
Te ca tattha samāgantvā, ñātipetā samāgatā, Pahūte annapānamhi, sakkaccaṁ anumodare;
Semoga buah persembahan ini melimpah kepada sanak-keluarga kami. Semoga sanak-keluarga kami bahagia!”
Lalu, para petā, yang merupakan sanak-keluarga itu dan saling bertemu setelah berkumpul di sana, dengan penuh hormat berterima-kasih untuk makanan dan minuman yang berlimpah itu, dengan berkata:”
“May this accrue to our relatives. May our relatives be happy!”
And those who have gathered there and met each other respectfully give appreciation for the plentiful food & drink, saying:
5. Ciraṁ jivantu no ñātī yesaṁ hetu* labhāmase Amhākañ ca katā pūjā dāyakā ca anipphalā *moral condition
Semoga sanak-keluarga kami berumur panjang, karena merekalah kami mendapatkan keberuntungan ini; penghormatan telah diberikan kepada kami, dan para pemberi mendapatkan pahala!”
“May our relatives live long, because of whom we have gained this fortune; We have been honored, and the donors gain rewards!”
6. Na hi tattha kasī atthi gorakkh’ etta na vijjati vanijjā tādisī natthi hiraññena kayakayaṁ Ito dinnena yāpenti petā kālagatā tahiṁ.
Tidak pernah ada pertanian di sana (di alam petā), peternakan juga tidak ada di sana; tidak ada juga perdagangan dan jual-beli dengan uang emas. Para mendiang hidup di sana dengan apa yang diberikan dari sini.
There (in the realm of the dead), there’s never any farming, herding of cattle, commerce, trading with money. The dead live on what is given from here.
Tidak pernah di sana ada pertanian, peternakan juga tidak ada di sana tidak ada perdagangan dan jual-beli dengan uang emas. Dengan apa yang diberikan dari sinilah para mendiang hidup di sana.
Bagaikan sungai-sungai yang penuh air mengisi penuh lautan, demikian juga apa yang diberikan dari sini bermanfaat bagi para mendiang.
As rivers full of water fill the ocean full, even so does what is given from here benefit the dead.
9. Adāsi me akāsi me, ñāti mittā sakhā ca me; Petānaṁ dakkhiṇaṁ* dajjā, pubbe katam-anussaraṁ.
dakkhiṇaṁ (pl.; sg. dakkhiṇā): a donation given to a “holy” person with reference to (or on behalf of) unhappy beings in the peta realm, intended to induce the alleviation of their sufferings; an intercessional, expiatory offering; guru-dakkhiṇā ‘a teacher’s fee’ (Davids & Stede, 1921-1925:146, Part IV)
Dia memberi kepada saya, dia berbuat untuk saya, dia adalah sanak, sahabat dan teman saya; dakkhiṇā* sebaiknya diberikan atas nama para petā mengingat perbuatan yang mereka lakukan di masa lampau.
*dakkhiṇā: (i) pemberian kepada orang suci atas nama makhluk-makhluk menderita di alam peta, yang ditujukan untuk membantu meringankan penderitaan mereka; (ii) guru-dakkhiṇā ‘uang jasa kepada guru’ (Davids & Stede, 1921-1925:146, Bagian IV)
“He gave to me, she acted on my behalf, they were my relatives, companions, friends;” Offerings should be given on behalf of the dead, remembering things done in the past.
10. Na hi ruṇṇaṁ vā soko vā, yā c’aññā paridevanā; Na taṁ petānamatthāya, evaṁ tiṭṭhanti ñātayo.
Tidak pernah tangisan atau kesedihan dan ratapan lain bermanfaat bagi para mendiang; sanak-keluarga itu (yaitu para mendiang) hidup terus secara demikian.
No weeping, no sorrowing no other lamentation ever benefits the dead; the relatives live on thus.
Tetapi, sesungguhnya dakkhiṇa yang telah diberikan itu dan ditegakkan dengan kokoh dalam Sańgha bermanfaat secara seketika dan juga untuk jangka panjang.
But, this offering which has been given, well-placed in the Sangha, Is beneficial immediately and for the long-term.
12. So ñātidhammo ca ayaṁ nidassito, Petāna pūjā ca katā uḷārā; balañca bhikkhūnamanuppadinnaṁ, Tumhehi puññaṁ pasutaṁ anappaka” nti.
Tugas kepada sanak-keluarga itu dan yang berikut ini telah ditunjukkan: para petā telah diberi penghormatan besar dan para bhikkhu telah diberi kekuatan; oleh anda sekalian, kebajikan yang telah dihasilkan adalah besar.
The duty to the relatives and the following has been shown: great honor has been paid to the dead, and monks have been given strength; by you all, the merit produced is significant.
Catatan: Diterjemahkan dari bahasa Pali ke bahasa Indonesia dan Inggris, oleh Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah1978 Tersumpah1997, Rohaniwan Buddha, Sasanadhaja Dharma Adhgapaka, anggota Magabudhi, dosen English for Buddhism STAB Nalanda (2014-2021)
Kebajikan-kebajikan lain yang dapat dijadikan pattidāna
Yang dijelaskan di atas adalah pattidāna yang berasal dari āmisa dāna (pemberian yang berupa materi). Hasil-hasil praktik abhaya dāna, Dhamma dāna, sīla dan bhāvana oleh kita juga dapat dijadikan pattidāna, bahkan dengan buah yang lebih lebat karena di antara tiga dasar perbuatan baik, āmisa dāna berperingkat di bawah abhaya dāna dan Dhamma dāna. Buah dari praktik sīla dan bhāvana bernilai lebih tinggi daripada buah praktik dāna.
Contoh: Kita sebaiknya melimpahkan buah dari praktik uposatha sīla (yang disebut sebagai aṭṭhasīla atau delapan sīla) kepada para leluhur, teman dan tetangga dekat yang mendiang dan makhluk lain yang memerlukannya.
(Diterjemahkan dari Petāvatthu-aṭṭhakathā 5: Tirokuḍḍhapetāvatthuvaṇṇā bahasa Pali, oleh Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah1978 Tersumpah1997, ke bahasa Indonesia dan Inggris)
“Mereka berdiri di luar dinding-dinding.” Sang Guru Agung yang sedang berdiam di Rājagaha menjelaskan cerita tentang sejumlah besar petā ini. Inilah rinciannya:
Sembilan puluh dua kappa lalu, ada sebuah kota yang bernama Kāsipurī tempat berkuasanya seorang raja yang bernama Jayasena. Permaisurinya bernama Sīrimā dan di dalam rahimnya telah lahir Bodhisatta Phussa yang pada waktu yang semestinya mencapai Penerangan Sempurna (menjadi Buddha). Raja Jayasena menjadi posesif (tidak mau berbagi miliknya untuk dipakai bersama-sama) karena berpikir,”Putraku adalah orang yang telah melakukan Penglepasan Agung dan telah menjadi Buddha. Milikku sajalah Buddha itu, millikkulah Dhamma, milikkulah Saṅgha.” Akibatnya, sepanjang waktu dia sendirilah yang melayani Sang Bhagavā sehingga tidak memberi kesempatan kepada siapa pun.
Ketiga orang adik Sang Bhagavā dari ibu yang lain berpikir, “Para Buddha sesungguhnya lahir demi kesejahteraan dunia keseluruhan, tidak hanya demi keuntungan satu orang; tetapi, ayah kami tidak memberi kesempatan kepada orang lain. Jadi, bagaimana caranya agar kami mendapatkan kesempatan untuk melayani Sang Bhagavā dan Bhikkhu Saṅgha?” Lalu, muncul gagasan ini di pikiran mereka,” Mari kita lakukan suatu upaya!” Karena itu, mereka menjadikan seakan-akan ada gangguan di perbatasan kerajaan. Ketika sang raja mendengar tentang gangguan itu, dia mengirim ketiga orang putra itu untuk mendamaikan daerah perbatasan tersebut. Ketiga orang putra itu pergi dan melakukannya. Ketika mereka kembali ke istana, sang raja senang dan memberikan hadiah kepada mereka dengan berkata,”Ambil apa pun yang kalian inginkan.”Kami ingin melayani Sang Bhagavā,’ kata mereka. “Kalian boleh mengambil apa pun kecuali beliau,” jawab sang raja.”Kami tidak peduli dengan hal lain apa pun,” kata mereka. “Baiklah, tentukan satu batas waktu, lalu ambil beliau.” Mereka mohon untuk tujuh tahun. Sang raja tidak memberikan-Nya. Sehingga mereka mohon secara berturut-turut dan menurun: enam, lima, empat, tiga, dua tahun, lalu turun lagi menjadi selama tujuh, enam, lima, empat dan akhirnya tiga bulan ketika sang raja berkata,” Ambil beliau!”
Mereka mendekati Sang Bhagavā dan berkata,”Bhante, kami ingin melayani Sang Bhagavā selama tiga bulan. Bhante, Sang Bhagavā, mohon terima kami selama masa tinggal tiga bulan di musim hujan (vassāvāsa).” Sang Bhagavā menyetujuinya (dengan berdiam diri). Lalu, ketiga orang itu mengirim surat kepada perwakilan mereka di daerah tempat Sang Bhagavā akan berdiam, yang berbunyi,” Sang Bhagavā akan dilayani oleh kami selama masa tinggal tiga bulan di musim hujan. Pertama-tama, bangun sebuah vihara, lalu adakan segala-galanya yang akan diperlukan untuk melayani Sang Bhagavā.” Perwakilan itu melapor ketika ia telah mengadakan segalanya.
Mereka berpakaian kuning dan bersama-sama dengan 2.500 orang pembantu pria mereka, membimbing Sang Buddha Phussa dan Bhikkhu Saṅgha ke daerah itu, lalu melayani mereka dengan penuh hormat, menyerahkan vihara itu kepada Sang Buddha Phussa dan Bhikkhu Saṅgha dan membantu mereka menghabiskan satu musim hujan di sana.
Bendahara mereka, yang merupakan putra seorang perumah-tangga dan telah menikah, memiliki keyakinan dan kesetiaan. Dengan ketekunan yang semestinya, bendahara itu memberikan barang-barang untuk keperluan persembahan dāna kepada Buddha Phussa dan Bhikkhu Saṅgha yang beliau pimpin. Perwakilan kerajaan di daerah itu menerima barang-barang itu dan bersama-sama dengan 11.000 orang dari daerah itu menyelenggarakan acara persembahan dāna dengan ketekunan yang semestinya kepada Buddha Phussa dan Bhikkhu Saṅgha.
Pada saat itu, ada sejumlah orang berpikiran jahat dan menghalangi, bahkan memakan sendiri dana makanan serta membakar ruang makan yang telah disiapkan.
Pada waktu yang semestinya, ketiga orang adik tiri Buddha Phussa, bendahara dan perwakilan kerajaan itu bersama-sama dengan para pembantu itu lahir kembali di surga demi surga sedangkan orang-orang yang berpikrian jahat itu lahir kembali di neraka demi neraka selama 92 kappa. Kemudian, pada bhaddakappa (kappa yang beruntung) ini, yaitu masa bumi saat ini, di jaman Buddha Kassapa (Buddha sebelum Buddha Gotama), orang-orang yang berpikiran jahat itu lahir kembali sebagai petā. Pada jaman itu, ketika orang-orang mempersembahkan dāna atas nama sanak-keluarga mereka yang merupakan petā, mereka melimpahkannya dengan berkata,”Semoga persembahan ini melimpah kepada sanak-keluarga kami!,” dan dengan seketika para petā itu mendapatkan kemuliaan. Pada saat itu para petā yang mantan orang-orang jahat itu mendekati Sang Buddha Kassapa dan bertanya,”Bagaimanakah caranya agar kami dapat memperoleh keberuntungan yang serupa itu?” Beliau berkata,” Anda sekalian tidak akan memperolehnya sekarang. Namun, di masa depan, akan ada seorang Sammasaṁbuddha yang bernama Gotama. Di jaman Sang Buddha Gotama itu akan ada seorang raja bernama Bimbisāra, yang merupakan sanak kalian 92 kappa yang lalu. Raja itu akan memberikan dāna kepada Sang Buddha Gotama dan mempersembahkan pattidāna (pemberian yang berupa kebajikan) kepada anda sekalian. Lalu, anda sekalian akan mendapatkan keberuntungan yang demikian.” Konon ketika Sang Buddha Kassapa mengucapkan perkataan itu, bagi para petā tersebut, ucapan itu terdengar seakan-akan beliau berkata bahwa mereka akan mendapatkan kemuliaan yang demikian hari esoknya.
Lalu, ketika satu jeda seorang Buddha telah berlalu dan Sang Buddha Gotama telah muncul di dunia ini, ketiga orang saudara tiri Sang Buddha Phussa berikut seribu orang lain, meninggal dari surga dan lahir kembali di sebuah marga brahmana di kerajaan Magadha. Pada waktu yang semestinya, mereka menjalani hidup tanpa rumah sebagai petāpa dan menjadi dikenal sebagai tiga orang petāpa berambut kusut dari Gayāsīsa. Perwakilan keluarga mereka di daearh tersebut menjadi Raja Bimbisāra dan bendahara mereka menjadi pedagang kaya-raya Visākha yang isterinya, bernama Dhammadinnā, adalah putri seorang pedagang kaya-raya lainnya sedangkan orang-orang lain dari kelompok mereka muncul muncul sebagai pengiring raja.
Setelah Sang Buddha Gotama muncul di dunia ini dan menghabiskan masa tujuh minggu sesudah Pencerahan Agung-Nya), beliau pergi ke Benares tempat beliau memutar Roda Dhamma untuk kali pertama, mengajar Lima Petāpa (Pañcavaggiya) (sehingga terbentuklah Bhikkhu Saṅgha yang kita kenal sampai saat ini), lalu tiga orang petāma berambut kusut (jatila; yang juga dikenal sebagai Kassapa Bersaudara) berikut 1.000 orang pengikut mereka. Sesudah itu, beliau pergi ke Magadha (untuk memenuhi janji beliau kepada Raja b1 bahwa beliau akan datang ke sana sesudah mendapatkan obat untuk mengatasi usia tua, penyakit dan kematian, yaitu menjadi seorang Buddha). Di sana, pada hari yang sama, Raja Bimbisāra menemui beliau dan beliau menegakkan Raja Bimbisāra pada sotāpatti-phala [yang menjadikan Raja Bimbisāra seorang Sotapanna (Pemasuk Arus, atau Pemasuk Jalan Mulia Berunsur Delapan]. Kemudian, Raja Bimbisāra mengundang Sang Bhagavā dan para bhikkhu ke tempat tinggalnya di Rājagaha pada hari esoknya untuk menerima dāna makanan dan Sang Bhagavā menyetujui undangan itu.
Hari esoknya Sang Bhagavā memasuki Rājagaha bersama Sakka, Raja Dewa, yang menyamar sebagai pemuda dari kalangan brahmana dan berjalan di depan Sang Bhagavā sambil memuji beliau dengan stanza-stanza yang mulai dengan:
“Yang pikirannya terkendali berkumpul dengan sesamanya, yang terbebaskan berkumpul dengan sesamanya; Sang Bhagavā, yang cerah bagaikan permata emas, telah memasuki Rājagaha bersama-sama.”
Di rumah Raja Bimbisāra , Sang Bhagavā menerima mahādāna (dāna yang besar). Pada saat itu, para petā mengelilingi rumah itu karena berpikir “Sekarang sang raja akan melimpahkan dāna itu kepada kami.” Tetapi, ketika sang raja memberikan dāna itu, sang raja hanya berpikir tentang sebuah lokasi untuk dijadikan vihara Sang Bhagavā sehingga bertanya-tanya dalam pikirannya sendiri “Di manakah Sang Bhagavā sebaiknya tinggal?” Jadi, sang raja tidak melimpahkan buah dāna itu kepada siapa pun. Karena itu, para petā putus asa* dan pada malam harinya meraung-raung dengan amat sedih dan suara yang sangat menakutkan di sekitar rumah sang raja. Akibatnya sang raja menjadi gelisah dan pikirannya dipenuhi rasa takut dan tubuhnya gemetaran.
Begitu matahari terbit, sang raja menemui Sang Bhagavā dan menceritakan kejadian di atas, lalu bertanya “Apakah yang akan terjadi pada diri saya, Bhante?” Sang Bhagavā menjawab “Jangan takut, Maharaja, tidak satu pun bencana akan menimpa anda – anda akan aman-aman saja. Yang sebenarnya adalah para sanak-keluarga anda yang telah menjadi petā telah hidup berkeliling selama satu masa jeda penuh kemunculan seorang Buddha dengan harapan bahwa anda akan memberikan dāna kepada seorang Buddha dan melimpahkan buahnya (yaitu kebajikan yang berupa pemberian dāna itu) kepada mereka. Tetapi, ketika anda memberikan dāna kemarin, anda tidak melimpahkan buahnya kepada mereka sehingga mereka putus asa dan meraung-raung dengan amat sedih itu.” sang raja bertanya,”Bhante, akankah mereka menerimanya jika dāna diberikan sekarang?” “Ya, Maharaja.”Kalau begitu, mohon Bhante terima undangan saya untuk menerima dāna hari ini juga dan saya akan melimpahkan buahnya kepada mereka.” Sang Bhagavā menyetujuinya melalui sikap diam-Nya.
Sang raja kembali ke istananya dan menyuruh dāna yang besar disiapkan. Lalu, sang raja menyuruh waktu penerimaan dāna itu diumumkan kepada Sang Bhagavā. Sang Bhagavā pergi ke istana sang raja berikut Bhikkhu Saṅgha dan duduk di kursi yang telah ditentukan. Para petā itu berpikir,” Hari ini kami mungkin mendapatkan sesuatu,” lalu pergi ke istana itu dan berdiri di luar dinding-dinding dan sebagainya. Sang Bhagavā menjadikan mereka semua terlihat oleh sang raja. Ketika sang raja mempersembahkan dāna air, sang raja pun melimpahkan buahnya dengan berkata,”Semoga dāna ini melimpah kepada sanak-keluarga saya!” Pada ketika itu juga kolam-kolam yang ditutupi (bunga) teratai dan bakung muncul untuk para petā itu. mereka mandi dan minum di dalamnya. Bersamaan dengan hilangnya penderitaan, kelelahan dan kehausan mereka, tubuh mereka menjadi berwarna emas. Sang raja mempersembahkan bubur beras dan makanan-makanan yang keras maupun lembut serta melimpahkan semua itu, lalu, pada saat itu juga bubur beras dan makanan surgawi yang keras maupun lembut muncul. Ketika mereka memakannya, indra-indra mereka bangkit kembali. Sang raja mempersembahkan pakaian dan tempat tinggal serta melimpahkan buahnya, lalu pakaian dan istana-istana surgawi, dengan aneka perlengkapan berikut dipan-dipan dan penutupnya serta sebagainya, muncul untuk mereka. Semua keberuntungan mereka diperlihatkan dengan nyata kepada sang raja sebagaimana Sang Bhagavā memutuskannya. Ketika melihat semua itu, sang raja pun benar-benar bahagia.
Kemudian, setelah Sang Bhagavā menyelesaikan makanan beliau dan makan sekenyangnya, beliau menceritakan Tirokuḍḍhapetāvatthuvaṇṇā (Cerita tentang Petā di Luar Dinding) ini untuk menunjukkan penghargaan beliau.
Semoga bermanfaat.
Catatan: Diterjemahkan dari bahasa Pali ke bahasa Indonesia dan Inggris, oleh Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah1978 Tersumpah1997, Rohaniwan Buddha, Sasanadhaja Dharma Adhgapaka, anggota Magabudhi, dosen English for Buddhism STAB Nalanda (2014-2021)
(Diterjemahkan dari Petāvatthu-aṭṭhakathā 5: Tirokuḍḍhapetāvatthuvaṇṇā bahasa Pali, oleh Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah1978 Tersumpah1997, ke bahasa Indonesia dan Inggris)
“Mereka berdiri di luar dinding-dinding.” Sang Guru Agung yang sedang berdiam di Rājagaha menjelaskan cerita tentang sejumlah besar petā ini. Inilah rinciannya:
Sembilan puluh dua kappa lalu, ada sebuah kota yang bernama Kāsipurī tempat berkuasanya seorang raja yang bernama Jayasena. Permaisurinya bernama Sīrimā dan di dalam rahimnya telah lahir Bodhisatta Phussa yang pada waktu yang semestinya mencapai Penerangan Sempurna (menjadi Buddha). Raja Jayasena menjadi posesif (tidak mau berbagi miliknya untuk dipakai bersama-sama) karena berpikir,”Putraku adalah orang yang telah melakukan Penglepasan Agung dan telah menjadi Buddha. Milikku sajalah Buddha itu, millikkulah Dhamma, milikkulah Saṅgha.” Akibatnya, sepanjang waktu dia sendirilah yang melayani Sang Bhagavā sehingga tidak memberi kesempatan kepada siapa pun.
Ketiga orang adik Sang Bhagavā dari ibu yang lain berpikir, “Para Buddha sesungguhnya lahir demi kesejahteraan dunia keseluruhan, tidak hanya demi keuntungan satu orang; tetapi, ayah kami tidak memberi kesempatan kepada orang lain. Jadi, bagaimana caranya agar kami mendapatkan kesempatan untuk melayani Sang Bhagavā dan Bhikkhu Saṅgha?” Lalu, muncul gagasan ini di pikiran mereka,” Mari kita lakukan suatu upaya!” Karena itu, mereka menjadikan seakan-akan ada gangguan di perbatasan kerajaan. Ketika sang raja mendengar tentang gangguan itu, dia mengirim ketiga orang putra itu untuk mendamaikan daerah perbatasan tersebut. Ketiga orang putra itu pergi dan melakukannya. Ketika mereka kembali ke istana, sang raja senang dan memberikan hadiah kepada mereka dengan berkata,”Ambil apa pun yang kalian inginkan.”Kami ingin melayani Sang Bhagavā,’ kata mereka. “Kalian boleh mengambil apa pun kecuali beliau,” jawab sang raja.”Kami tidak peduli dengan hal lain apa pun,” kata mereka. “Baiklah, tentukan satu batas waktu, lalu ambil beliau.” Mereka mohon untuk tujuh tahun. Sang raja tidak memberikan-Nya. Sehingga mereka mohon secara berturut-turut dan menurun: enam, lima, empat, tiga, dua tahun, lalu turun lagi menjadi selama tujuh, enam, lima, empat dan akhirnya tiga bulan ketika sang raja berkata,” Ambil beliau!”
Mereka mendekati Sang Bhagavā dan berkata,”Bhante, kami ingin melayani Sang Bhagavā selama tiga bulan. Bhante, Sang Bhagavā, mohon terima kami selama masa tinggal tiga bulan di musim hujan (vassāvāsa).” Sang Bhagavā menyetujuinya (dengan berdiam diri). Lalu, ketiga orang itu mengirim surat kepada perwakilan mereka di daerah tempat Sang Bhagavā akan berdiam, yang berbunyi,” Sang Bhagavā akan dilayani oleh kami selama masa tinggal tiga bulan di musim hujan. Pertama-tama, bangun sebuah vihara, lalu adakan segala-galanya yang akan diperlukan untuk melayani Sang Bhagavā.” Perwakilan itu melapor ketika ia telah mengadakan segalanya.
Mereka berpakaian kuning dan bersama-sama dengan 2.500 orang pembantu pria mereka, membimbing Sang Buddha Phussa dan Bhikkhu Saṅgha ke daerah itu, lalu melayani mereka dengan penuh hormat, menyerahkan vihara itu kepada Sang Buddha Phussa dan Bhikkhu Saṅgha dan membantu mereka menghabiskan satu musim hujan di sana.
Bendahara mereka, yang merupakan putra seorang perumah-tangga dan telah menikah, memiliki keyakinan dan kesetiaan.Dengan ketekunan yang semestinya, bendahara itu memberikan barang-barang untuk keperluan persembahan dāna kepada Buddha Phussa dan Bhikkhu Saṅgha yang beliau pimpin. Perwakilan kerajaan di daerah itu menerima barang-barang itu dan bersama-sama dengan 11.000 orang dari daerah itu menyelenggarakan acara persembahan dāna dengan ketekunan yang semestinya kepada Buddha Phussa dan Bhikkhu Saṅgha.
Pada saat itu, ada sejumlah orang berpikiran jahat dan menghalangi, bahkan memakan sendiri dana makanan serta membakar ruang makan yang telah disiapkan.
Pada waktu yang semestinya, ketiga orang adik tiri Buddha Phussa, bendahara dan perwakilan kerajaan itu bersama-sama dengan para pembantu itu lahir kembali di surga demi surga sedangkan orang-orang yang berpikrian jahat itu lahir kembali di neraka demi neraka selama 92 kappa. Kemudian, pada bhaddakappa (kappa yang beruntung) ini, yaitu masa bumi saat ini, di jaman Buddha Kassapa (Buddha sebelum Buddha Gotama), orang-orang yang berpikiran jahat itu lahir kembali sebagai petā. Pada jaman itu, ketika orang-orang mempersembahkan dāna atas nama sanak-keluarga mereka yang merupakan petā, mereka melimpahkan buahnya (yaitu kebajikan yang timbul dari persembahan itu) dengan berkata,”Semoga buah persembahan ini melimpah kepada sanak-keluarga kami!,” dan dengan seketika para petā itu mendapatkan kebahagiaan. Pada saat itu para petā yang mantan orang-orang jahat itu mendekati Sang Buddha Kassapa dan bertanya,”Bagaimanakah caranya agar kami dapat memperoleh kebahagiaan yang serupa itu?” Beliau berkata,” Anda sekalian tidak akan memperolehnya sekarang. Namun, di masa depan, akan ada seorang Sammasaṁbuddha yang bernama Gotama. Di jaman Sang Buddha Gotama itu akan ada seorang raja bernama Bimbisāra, yang merupakan sanak kalian 92 kappa yang lalu. Raja itu akan mempersembahkan dāna kepada Sang Buddha Gotama dan melimpahkan pattidāna (dāna yang berupa kebajikan, yaitu buah persembahan itu) kepada anda sekalian. Lalu, anda sekalian akan mendapatkan kebahagiaan yang demikian.” Konon ketika Sang Buddha Kassapa mengucapkan perkataan itu, bagi para petā tersebut, ucapan itu terdengar beliau berkata bahwa mereka akan mendapatkan kebahagiaan yang demikian hari esoknya.
Lalu, ketika satu jeda seorang Buddha telah berlalu dan Sang Buddha Gotama telah muncul di dunia ini, ketiga orang saudara tiri Sang Buddha Phussa berikut seribu orang lain, meninggal dari surga dan lahir kembali di sebuah marga brahmana di kerajaan Magadha. Pada waktu yang semestinya, mereka menjalani hidup tanpa rumah sebagai petāpa dan menjadi dikenal sebagai tiga orang petāpa berambut kusut dari Gayāsīsa. Perwakilan keluarga mereka di daerah tersebut menjadi Raja Bimbisāra dan bendahara mereka menjadi pedagang kaya-raya Visākha yang isterinya, bernama Dhammadinnā, adalah putri seorang pedagang kaya-raya lainnya sedangkan orang-orang lain dari kelompok mereka muncul muncul sebagai pengiring raja.
Setelah Sang Buddha Gotama muncul di dunia ini dan menghabiskan masa tujuh minggu sesudah Pencerahan Agung-Nya), beliau pergi ke Benares tempat beliau memutar Roda Dhamma untuk kali pertama, mengajar Lima Petāpa (Pañcavaggiya) (sehingga terbentuklah Bhikkhu Saṅgha yang kita kenal sampai saat ini), lalu tiga orang petāma berambut kusut (jatila; yang juga dikenal sebagai Kassapa Bersaudara) berikut 1.000 orang pengikut mereka. Sesudah itu, beliau pergi ke Magadha (untuk memenuhi janji beliau kepada Raja b1 bahwa beliau akan datang ke sana sesudah mendapatkan obat untuk mengatasi usia tua, penyakit dan kematian, yaitu menjadi seorang Buddha). Di sana, pada hari yang sama, Raja Bimbisāra menemui beliau dan beliau menegakkan Raja Bimbisāra pada sotāpatti-phala [yang menjadikan Raja Bimbisāra seorang Sotapanna (Pemasuk Arus, atau Pemasuk Jalan Mulia Berunsur Delapan]. Kemudian, Raja Bimbisāra mengundang Sang Bhagavā dan para bhikkhu ke tempat tinggalnya di Rājagaha pada hari esoknya untuk menerima dāna makanan dan Sang Bhagavā menyetujui undangan itu.
Hari esoknya Sang Bhagavā memasuki Rājagaha bersama Sakka, Raja Dewa, yang menyamar sebagai pemuda dari kalangan brahmana dan berjalan di depan Sang Bhagavā sambil memuji beliau dengan stanza-stanza yang mulai dengan:
“Yang pikirannya terkendali berkumpul dengan sesamanya, yang terbebaskan berkumpul dengan sesamanya; Sang Bhagavā, yang cerah bagaikan permata emas, telah memasuki Rājagaha bersama-sama.”
Di rumah Raja Bimbisāra , Sang Bhagavā menerima mahādāna (dāna yang besar). Pada saat itu, para petā mengelilingi rumah itu karena berpikir “Sekarang sang raja akan melimpahkan dāna itu kepada kami.” Tetapi, ketika sang raja memberikan dāna itu, sang raja hanya berpikir tentang sebuah lokasi untuk dijadikan vihara Sang Bhagavā sehingga bertanya-tanya dalam pikirannya sendiri “Di manakah Sang Bhagavā sebaiknya tinggal?” Jadi, sang raja tidak melimpahkan pattidāna itu kepada siapa pun. Karena itu, para petā putus asa dan pada malam harinya meraung-raung dengan amat sedih dan suara yang sangat menakutkan di sekitar rumah sang raja. Akibatnya sang raja menjadi gelisah dan pikirannya dipenuhi rasa takut dan tubuhnya gemetaran.
Begitu matahari terbit, sang raja menemui Sang Bhagavā dan menceritakan kejadiamn di atas, lalu bertanya “Apakah yang akan terjadi pada diri saya, Bhante?” Sang Bhagavā menjawab “Jangan takut, Maharaja, tidak satu pun bencana akan menimpa anda – anda akan aman-aman saja. Yang sebenarnya adalah para sanak-keluarga anda yang telah menjadi petā telah hidup berkeliling selama satu masa jeda penuh kemunculan seorang Buddha dengan harapan bahwa anda akan mempersembahkan dāna kepada seorang Buddha dan melimpahkan buahnya kepada mereka. Tetapi, ketika anda memberikan dāna kemarin, anda tidak melimpahkan buahnya kepada mereka sehingga mereka putus asa dan meraung-raung dengan amat sedih itu.” sang raja bertanya,”Bhante, akankah mereka menerimanya jika dāna diberikan sekarang?” “Ya, Maharaja.”Kalau begitu, mohon Bhante terima undangan saya untuk menerima dāna hari ini juga dan saya akan melimpahkan buahnya kepada mereka.” Sang Bhagavā menyetujuinya melalui sikap diam-Nya.
Sang raja kembali ke istananya dan menyuruh dāna yang besar disiapkan. Lalu, sang raja menyuruh waktu penerimaan dāna itu diumumkan kepada Sang Bhagavā. Sang Bhagavā pergi ke istana sang raja berikut Bhikkhu Saṅgha dan duduk di kursi yang telah ditentukan. Para petā itu berpikir,” Hari ini kami mungkin mendapatkan sesuatu,” lalu pergi ke istana itu dan berdiri di luar dindin-dinding dan sebagainya. Sang Bhagavā menjadikan mereka semua terlihat oleh sang raja. Ketika sang raja mempersembahkan dāna air, sang raja pun melimpahkan buahnya itu dengan berkata,”Semoga buah persembahan ini melimpah kepada sanak-keluarga saya!” Pada ketika itu juga kolam-kolam yang ditutupi (bunga) teratai dan bakung muncul untuk para petā itu. mereka mandi dan minum di dalamnya. Bersamaan dengan hilangnya penderitaan, kelelahan dan kehausan mereka, tubuh mereka menjadi berwarna emas. Sang raja mempersembahkan bubur beras dan makanan-makanan yang keras maupun lembut serta melimpahkan buah semua itu, lalu, pada saat itu juga bubur beras dan makanan surgawi yang keras maupun lembut muncul. Ketika mereka memakannya, indra-indra mereka bangkit kembali. Sang raja mempersembahkan pakaian dan tempat tinggal serta melimpahkannya, lalu pakaian dan istana-istana surgawi, dengan aneka perlengkapan berikut dipan-dipan dan penutupnya dan sebagainya, muncul untuk mereka. Semua keberuntungan mereka diperlihatkan dengan nyata kepada sang raja sebagaimana Sang Bhagavā memutuskannya. Ketika melihat semua itu, sang raja pun benar-benar bahagia.
Kemudian, setelah Sang Bhagavā menyelesaikan makanan beliau dan makan sekenyangnya, beliau menceritakan Tirokuḍḍhapetāvatthuvaṇṇā (Cerita tentang Petā di Luar Dinding) ini untuk menunjukkan penghargaan beliau:
Versi 1: Di luar dinding mereka berdiri, di pertigaan dan perempatan jalan, juga dekat tiang-tiang pintu, demikianlah setelah mereka datang ke rumah mereka sendiri.
Outside the walls they stand and at two and four-road junctions; at door posts, too, they stand, after they come to their old home.
Versi 2: Setelah datang ke rumah mereka sendiri, mereka berdiri di luar dinding, di pertigaan dan perempatan; mereka juga berdiri dekat tiang-tiang pintu.
Having come to their old home, outside the walls they stand and at road-forks and crossroads; At door posts, too, they stand.
Makanan dan minuman melimpah – makanan yang keras maupun lainnya telah siap, tetapi tidak seorang pun (yang hadir) ingat mereka sebagai akibat perbuatan para makhluk itu sendiri.
Plentiful food & drink–solid and other food- standby, But no one remembers them because of the results of the beings’ own kamma
Berlimpah makanan dan minuman—makanan yang keras maupun lembut telah siap, Tetapi tidak seorang pun (yang hadir) ingat mereka sebagai akibat perbuatan para makhluk itu sendiri.
Karena itu, memberikan kepada sanak-keluarga itulah orang-orang yang welas-asih: makanan dan minuman yang bersih, istimewa, yang sesuai dan pada waktu yang tepat, sambil berpikir:
Thus those who feel sympathy for their dead relatives give timely, proper food & drinks, exquisite, clean — [thinking:]
4. Idaṁ vo ñātīnaṁ hotu, sukhitā hontu ñātayo;
Te ca tattha samāgantvā, ñātipetā samāgatā, Pahūte annapānamhi, sakkaccaṁ anumodare;
“Semoga buah persembahan ini melimpah kepada sanak-keluarga kami. Semoga sanak-keluarga kami bahagia!”
Dan para petā, yang merupakan sanak-keluarga itu dan saling bertemu setelah berkumpul di sana, dengan penuh hormat berterima kasih untuk makanan dan minuman yang berlimpah itu, dengan berkata:
“May the fruit of this giving accrue to our relatives. May our relatives be happy!” And those who have gathered there and met each other respectfully gave appreciation for the plentiful food & drink, saying:
5. Ciraṁ jivantu no ñātī yesaṁ hetu labhāmase Amhākañ ca katā pūjā dāyakā ca anipphalā
“Semoga sanak-keluarga kami berumur panjang, karena merekalah kami mendapatkan keberuntungan ini; penghormatan telah diberikan kepada kami dan para pemberi mendapatkan pahala!”
“May our relatives live long because of whom we have gained this fortune; we have been honored, and the donors gain rewards!”
6. Na hi tattha kasī atthi gorakkh’ etta na vijjati vanijjā tādisī natthi hiraññena kayakayaṁ
Ito dinnena yāpenti petā kālagatā tahiṁ.
Tidak pernah ada pertanian di sana (di alam petā), peternakan juga tidak ada di sana; tidak ada juga perdagangan dan jual-beli dengan uang emas.
Para mendiang hidup di sana dengan apa yang diberikan dari sini.
There (in the realm of the dead), there’s never any farming, herding of cattle, commerce, trading with money. The dead live on what is given from here.
Tidak pernah di sana ada pertanian, peternakan juga tidak ada di sana
tidak ada perdagangan dan jual-beli dengan uang emas.
Dengan apa yang diberikan dari sinilah para mendiang hidup di sana.
Bagaikan sungai-sungai yang penuh air mengisi penuh lautan, demikian juga apa yang diberikan dari sini bermanfaat bagi para mendiang.
As rivers full of water fill the ocean full, even so does what is given from here benefit the dead.
9. Adāsi me akāsi me, ñāti mittā sakhā ca me; Petānaṁ dakkhiṇaṁ* dajjā, pubbe katam-anussaraṁ.
dakkhiṇaṁ (pl.; sg. dakkhiṇā): a donation given to a “holy” person with reference to (or on behalf of) unhappy beings in the peta realm, intended to induce the alleviation of their sufferings; an intercessional, expiatory offering; guru-dakkhiṇā ‘a teacher’s fee’ (Davids & Stede, 1921-1925:146, Part IV)
Dia memberi kepada saya, dia berbuat untuk saya, dia adalah sanak, sahabat dan teman saya;
Seseorang sebaiknya memberikan dakkhiṇā* atas nama para petā mengingat perbuatan yang mereka lakukan di masa lampau.
*dakkhiṇā: (i) pemberian kepada orang suci atas nama makhluk-makhluk menderita di alam peta, yang ditujukan untuk membantu meringankan penderitaan mereka; (ii) guru-dakkhiṇā ‘uang jasa kepada guru’ (Davids & Stede, 1921-1925:146, Bagian IV)
“He gave to me, she acted on my behalf, they were my relatives, companions, friends;” Offerings should be given on behalf of the dead, remembering things done in the past.
10. Na hi ruṇṇaṁ vā soko vā, yā c’aññā paridevanā; Na taṁ petānamatthāya, evaṁ tiṭṭhanti ñātayo.
Tidak pernah tangisan atau kesedihan dan ratapan lain bermanfaat bagi para mendiang; sanak-keluarga itu (yaitu para mendiang itu) hidup terus secara demikian.
No weeping, no sorrowing no other lamentation ever benefits the dead; the relatives live on thus.
Tetapi, sesungguhnya dakkhiṇa yang telah diberikan itu dan ditegakkan dengan kokoh dalam Sańgha bermanfaat secara seketika dan juga untuk jangka panjang.
But, this offering which has been given, well-placed in the Sangha, Is beneficial immediately and for the long-term.
12. So ñātidhammo ca ayaṁ nidassito, Petāna pūjā ca katā uḷārā; balañca bhikkhūnamanuppadinnaṁ, Tumhehi puññaṁ pasutaṁ anappaka” nti.
Tugas kepada sanak-keluarga itu dan yang berikut ini telah ditunjukkan: para petā telah diberi penghormatan besar dan para bhikkhu telah diberi kekuatan; oleh anda sekalian, kebajikan yang telah dihasilkan adalah besar.
The duty to relatives and the following has been shown: great honor has been paid to the dead, and monks have been given strength; by you all, the merit produced is significant.
Tugas kepada sanak-keluarga itu dan yang berikut ini telah ditunjukkan: para petā telah diberi penghormatan besar dan para bhikkhu telah diberi kekuatan; anda sekalian telah menghasilkan kebajikan besar.”
The duty to relatives and the following has been shown: great honor has been paid to the dead, and monks have been given strength; you all have produced a significant deed.
Catatan: Diterjemahkan dari bahasa Pali ke bahasa Indonesia dan Inggris, oleh Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah1978 Tersumpah1997, Rohaniwan Buddha, Sasanādhaja Dharma Adhgapaka, anggota Magabudhi, dosen English for Buddhism STAB Nalanda (2014-2021)
Versi 1: “Dia memaki-maki saya, dia memukul saya, dia mengalahkan saya, dia merampok saya.” Di antara orang-orang yang tidak berpikiran demikian, permusuhan bertambah reda.
Versi 2: “Dia memaki-maki saya, dia memukul saya, dia mengalahkan saya, dia merampok saya.” Orang-orang yang tidak berpikiran demikian, permusuhan di antara mereka bertambah reda.
English: Tjan Sie Tek
Version 1: ” He abused at me, he beat me, he conquered me, he robbed me.” Amongst those who do not harbor such thoughts, enmity grows calm.
Version 2: ” He abused at me, he beat me, he conquered me, he robbed me.” Those who do not harbor such thoughts, enmity amongst them grows calm.
Vocabulary 1
Vocabulary 2
akkocchi: (a) abused; (b) sg. 3rd. pers. aor. of √kus ‘to abuse’ avadhi: (b) (he) struck; (b) sg. 3rd. pers. aor. of √vadh ‘to strike’ ajini: (a) (he) conquered; (b) sg. 3rd. pers. aor. of √ji ‘to conquer’ ahasi: (a) (he) took away, robbed; (b) sg. 3rd. pers. aor. of √har ‘to carry away, to rob;’ (c) third person singular ahāsi (from the root √har ‘to take away’ (Geiger & Norman, 2005:159) ye: (a) those who, those which; (b) pl. masc. nom. of the demonstr. pron. ya ‘he who, that which’
taṁ: (a) it, that; (b) sg. masc. acc. of the demonstr. pron. ta ‘it, that’ veraṁ: (a) enmity, hostility, hatred; (b) nom. sg. of (nt.) vera ‘enmity, hostility, hatred’ veraṁ tesūpasammati : (a) hatred amongst them grows calm; (b) tesūpasammati : a euphonic union, or sandhi, of tesu ‘amongst them’ + upasammati ‘grows calm;’ (c) upasammati is part of the verbs that seem to be passive but are actually transitive in meaning: anutappati ‘repents,’ miyyati ‘dies,’ paccati ‘ripens,’ dissati ‘appears’ (Perniola, 1997:280, No. 222)
Grammar:
1akkochi: (a)(he, she) abused; (b) sg. 3rd. pers. aorist of √krus ‘to abuse,’ or 3rd. pers. sg. pres.act. indic. akkosati ‘to abuse, to scold, to swear at, to revile;’ (c) the TDL (2018:37) writes that the usual past tense, which is called the “aorist” tense, is generally formed directly from the root (more rarely from the present tense stem) by adding special inflections. In the past tense an a- is optionally used before the root. This a goes between the prefix, if any, and the root. It is called the “augment.” The vowel a- is prefixed to the root as an indication of past time, though the difference of inflections avoids ambiguity in most cases;
(d) Duroiselle (idem., p. 94, Nos. 409-410) writes also writes that the radical (or root) aorist is not very common…. Let it be first remarked that the aorist may also take the augment a before it, as the does the imperfect.
4.10 from √gam, and √ga and √gu (subsidiary forms of √gam) ‘to go,’ we have:
Perniola [1997:92(f)] writes that in poetry (including stanzas), the use of the augment depends on the requirements of the metre;
Perniola (idem., p.71, No.57) further writes that the Pali verb has two voices: the active or parassapada (active) and the middle or attanopada (reflective). The voice of the verb is distinguished by the personal endings which are either parassapada or attanopada. Further the personal endings of the verb may be either primary or secondary. Both primary and secondary endings may be active and middle.
Active Middle
Primary Secondary Primary Secondary
1st person sg. mi aṁ e ṁ, aṁ 2nd person sg. si s se tho 3rd person sg. ti t te tha
1st person pl. ma ma mhe mhase 2nd person pl. tha tha vho vho 3rd person pl. nti u, uṁ nte, re re, raṁ
Notes:
The present indicative (e.g., bhāsati, karoti) and the future (e.g., bhāsissati ‘(she, he, or one) will speak,’ karissati ‘(she, he, or one) will act, do, or make’) take the primary personal endings.
The aorist and the conditional take the secondary personal endings.
The optative takes both the primary and the secondary personal endings.
The imperative takes special endings.
Warder (2001:23-26, summarized) writes that the aorist is used for all kinds of past actions, including besides the “hiĀstorical” or “narrative” past particularly the (present) perfect: desesiṁ ‘I have taught.’ (When more precise demarcations of time relations are needed, participles are used in conjunction with the main verb). The second and first persons plural are not often found in the Pali texts. The third person is extremeley common, both singular and plural.
In Pali there are four types of aorists which go in pairs:
• Root aorist
• A-aorist
• S-aorist
• IS-aorist
The root aorist is rarely found except in verse. It is formed by adding the secondary personal endings directly to the root preceded by the augment a-.
(1) the aorist is the principal past tense in Pāli and is therefore extensively used; it expresses indefinite past time, but also includes the Present day. The Aorist may be translated by the Present Perfect or the Past Indefinite (See 405): mukhe pahari, struck him on the mouth; kena kāraṇena rodi, why did you cry? brāhmaṇo … vicari, the brahmin walked about ….
(2) Other usage of the aorist (in bold letters): The indeclinable mā ‘do not’ is used with the aorist to express prohibitions:
…mā bhāyi ‘… fear not!;’ mā puna evarūpaṁ akāsi ‘do not do so again;’ tāta, mā gami, dear son, do not go.’
(g)Geiger & Norman (2005:153) write that:
(1) the augment is retained by monosyllabic verbals forms: adaṁ ‘I gave;’ agā ‘he went’ … ;
(2) the augment is always retained, also in the later language, by disyllabic verbal forms derived from the imperfect past tense and the simple aorist or s-aorist: agamā ‘he went;’ adāsi ‘he gave’… ;
(3) in the oldest periods of the language, the use of the augment is arbitrary in disyllabic verbal forms derived from the -is- aorist: alabhiṁ ‘I received’ beside labhi ‘he received;’ omission of the aorist is the rule in post-canonical prose: khādi ‘he ate ;’ bhindi ‘he broke;’
(4) the augment is always retained by trisyllabic verbal forms … ; and
(5) for the rest, forms of three or morke syllables began early to drop the augment, at first quite at random, but regularly later in post-canonical prose. Thus in the Gāthā language (including Dhammapada stanzas) we have still apucchiṁsu ‘they asked’ beside pucchiṁsu; but the forms which later predominate and finally take over completely are desesiṁ ‘I taught;’ khāddimha ‘we ate;’ kathayiṁsu ‘they related.’
1.1maṁ: me, accusative case
1.2akkochi maṁ, avadhi maṁ, ajini maṁ, and ahāsi me: (a) he abused me, he beat me, he conquered me, he robbed me; (b) the four verbs are the aorist forms of the roots √krus ‘to abuse, to swear at, to sold,’ √vhad ‘to beat, to strike,’ √ji ‘to conquer,’ and √har ‘to rob,’ respectively; (b) Duroiselle [1915/1997:161, No. 605(iii)] writes that with verbs, the personal pronouns are frequently understood, as the endings of the tenses clearly indicate also the person as: gacchati (he) goes = so gacchati; gaccheyyāmi, (I) should go = ahaṁ gaccheyyāmi, etc.
Singular Plural Nom. taṁ, tad tāni ‘they’ Gen. tassa tesaṁ, tesānaṁ ‘their’ Dat. tassa tesaṁ, tesānaṁ Acc. taṁ, tad tāni Ins. tena tehi, tebhi Abl. tasmā, tamhā tehi, tebhi Loc. tasmiṁ, tamhi tesu
Remarks: (a) In the Gen., Dat., Abl., and Loc. singular for( the Masc and) Neut, a form from pro- nominal stem: a, is also used: assa, asmā, asmiṁ in the Feminine too, for the Gen., Dat. and Loc, singular: assā, assaṁ (Loc.). ln the Neuter, the form tad is used mostly in compound words, as: tad (=taṁ) karo=takkaro, “doing this”, and also before a vowel.
5nupanayhanti: (a) do not tie up, do not bind up; do not bear (a lasting grudge); (b) derived from the euphonic union, or sandhi, of na ’not, no’ + upanayhanti ‘tie up, bind up; bear (a lasting grudge),’ with the elision of the final a in na, as written by Duroiselle (Duroiselle,1915/1997:7, No.17) that a vowel before another vowel is elided, e.g., yassa ‘whose’ + indriyani ‘faculties’ = yassindriyani; ajja + uposatho = ajjuposatho ‘the uposatha today’ …; (c) upanayhanti: (1) pl. 3rd pers.pres.. act. indic. of upanayhati ‘ties up, binds; bears (a lasting grudge), derived from upanah ‘to understand, to realize’ + -ya + -nti (a verbal suffix indicating the active indicative present tense of the pl. 3rd.pl.nom.); (2) upanah is derived from the prefix upa ‘close by, near’ + √nah ‘to bind’ = bind themselves to, to bear, + -ya- + -nti, with the metathesis between the final h and the initial y; (3) Perniola (2004:78-79, No.65) writes that upanyhanti belongs to the fourth class of verbs which form their stems of the active indicative present tense by adding the suffix ya to the root:
nah- to tie nah-ya-ti > nayhati ‘(she, he, or one) ties or binds’
Other examples:
jā- to be born jā-ya-ti > jāyati ‘(she, he, or one is) born’ mad- to be intoxicated mad-ya-ti > majjati ‘(she, he, or one) is intoxicated muh- to be infatutaed muh-ya-ti > muyhati ‘(she, he, or one) is infatuated
(4)About metathesis between h and y: as written by Duroiselle (idem., p. 20, No.78) that when y follows h, a metathesis, the transposition of letters, takes place: (i) √sah+ya=sahya, and by metathesis = sayha ‘to be conquered, to be defeated, to be overcome;’ (sahati ‘to defeat’) (ii) √guh+ya=guhya=guyha ‘to be hidden;’ (guhati ‘to hide, to conceal’).
6veraṁ: (a) (nt. nom.) enmity, hostility, hatred; (b) formed from vera ‘enmity, hostility, hatred’ + –ṁ, a suffix in the form of the niggahīta (ṁ) to form the nominative and accusative forms or cases of neuter nouns, like dukkha, cakka and pada (in stanza 1 where dukkhaṁ, a nominative form, becomes dukkham due to the following vowel in anveti, cakkam, also a nominative form, remains unchanged, and padaṁ, an accusative form), and sukha (stanza 2 where sukhaṁ becomes sukham due to the same reason) 7 & 7.1veraṁ tesūpasammati: (I) enmity amongst them/those grows calm; (II) formed from either (1)veraṁ tesaṁ + upasammati ‘their enmity grows calms (against which Warder (2014 :237) writes that (i) very rarely a final niggahīta may be elided:idaṁ + ahaṁ > idahaṁ; (ii) when niggahīta is followed by eva, y may be inserted: santaṁ + eva > santaṁ yeva; ekaṁ eva > ekaṁ yeva; (iii) final niggahita followed by y may combine with it to form mñ: tesaṁ + eva > tesaṁñeva), or (2) veraṁ tesu + upasammati ‘enmity amongst them/those grows calm,‘ which two translations result from an analogy to: (1) tesaṁ jetthabatha ‘their eldest brother;’ or (2) tesu jetthabatha ‘the oldest amongst their brothers’ (Coulardeau, 2006:8, in “7eme Journees de l’ERLA – BREST, 9-the relation of partitivity, November 2006, quoting T.Y. Elizarenkova’s The Pali Language, 1976);
(III)(1) Ānandajoti (www.ancient-buddhist-texts.net) writes “This is an unexpected formation here; we either have tesaṁ + upasammati giving sandhi tesūpa-,or the locative is being used: tesu + upasammati; if it is the former, then we might have expected tesañ-ca sammati, to match the verb in the preceding Stanza;” (IV) tesūpasammati: (i) Sarao (2009:5) gives tes’ūpasammati, formed from tesaṁ + upasammati, with the elision of the suffix -aṁ, which is a rare case; examples: itthaṁ eke … > itth’ eke … (DN 1 Pali: Brahmajāla Sutta, as noted by Warder, 2014:225, Note 8, or Warder, 2001:205, Note 2); pubbantaṁ ‘the East’ anissita ‘unsupported by the East’ is rewritten as pubbaṁ antaṁ anissita (poetical) Sn 849 (Rhys & Stede, 1921-1924, Part V, p.90) (ii) itthaṁ is formed from ima + thaṁ, where ima chanes to i and the initial t is doubled, as written Kaccāyana, § 234,265, Thitza) ;(ii) formed fromtesu + upasammati, either (1) with the elision of the final u in tesu dan the lengthening of the initial u in upasammati (following Duroiselle, 1915/1997:7, No. 17); Clough (1824:14) calls it the suppression of of the final a and the lengthening of the initial u; and Perniola [1915/1997:8, No.6(a)] calls is contraction), or (2) as written by Duroiselle (idem., p. 8, No.22) that when two vowels of the same organ meet (i.e., the final and initial u’s), the result is generally long, that is: (i) u + u = ū; another is example: a + a = ā; or (3) when two vowels of the same organ meet, the result will generally be a long vowel of the given organ; but two short vowels may give rise to a short vowel before conjunct consonants (e.g., dd, ddh, tt, tth, kk, kkh) (Tilbe, 1899 :10, No.80), e.g., du + ???
(VI) upasammati: (i) derived from the prefix or preposition upa* ‘a little, towards, near to’ (as opposed to apa- ‘away’) + sammati ‘calms down, becomes quiet or tranquil;’ (ii) is part of the verbs that seem to be passive but are actually transitive in meaning: anutappati ‘repents, miyyati ‘dies,’ paccati ‘ripens,’ dissati ‘appears’ (Perniola, 1997 :280, No. 222);
*upa-: (1) a prefix denoting (a) towards, nearness or close touch, usually with the idea of approach from below or rest on top,on,upon,up,by; (2) In compounds, (i) a- + upa is always contracted to ūpa, e.g., devūpaṭṭhāna, lokūpaga, puññûpatthambhita; upakiṇṇa ‘covered over;’ upajīvati ‘lives on, lives by someone, depends on, is supported by;’(c) (diminutive use) nearly,about,somewhat, a little,secondary,by –,miniature,made after the style of, e.g., upaaḍḍha ‘about half;’ upakacchaka ‘like a little hollow;’ upakaṇḍakin (= upapaṇḍukin?) ‘whitish;’ upadeva ‘a minor god;’ upapurohita ‘minor priest;’ uparajja ‘viceroyalty; upavana ‘a little forest,’ etc. (Davids & Stede, 1921-1925:138-139, Part I).
(d) Duroiselle (idem., p.8, No. 21) writes about the contraction or diphthongization of:
(i) a + or ā + i or ī = e; and (ii) a or ā + u or ū = o.
EXAMPLES:
a or ā + i or ī
upa + ikkhati = upekkhati
jina + īritanayo = jineritanayo
ava+ecca=avecca
bandhussa+ iva=bandhusseva
Exceptions: (a) iti preceded by ā becomes āti, as:
tassa+iti=tassāti tissa+iti=tissāti
Sometimes ā + i becomes i, as: seyyathā+idaṁ=seyyathidaṁ
(VII) sammati: (a) calms down, becomes tranquil, quiet, or calm;’ (b) is part of the verbs that seem to be passive but are actually transitive in meaning: anutappati ‘repents, miyyati ‘dies,’ paccati ‘ripens,’ dissati ‘appears’ (Perniola, idem.); (c) (1) √sam belongs to the verbs of the seventh class; (2) Perniola (idem., p.80, No.68) writes that to the seventh class belong the verbs which form the stem of the (active indicative) present tense (for the singular 3d person) by inserting –n before the final consonant of the root and by adding the suffix –a. Then, the -n is adapted to the consonant following it. Hence: (i) √sam + -n > sanm > samm* + -a + -ti (a suffix indicating a 3rd. pers. pres. act. indic. tense) > sammati; (ii) lip ‘to smear” + -n > = linp > limp + -a = -ti > limpati ‘smears.’ So, the adaptation (or nasalization, or euphonic union, or sandhi) of –n to the consonants following it is exactly like that of the niggahta (ṁ);
*regressive (internal) assimilation in that the dental n is assimilated to the following m, as written by Duroiselle (idem., pp.16-17, I & II): (a) √lip ‘to smear’ + -ta = lipta = litt ‘smeared’ (b) √dam ‘to subdue’ + -ta = damta = danta ‘subdued,’ (with the shift of the labial m into the group of dental consonants (d, dh, t, th, n, and s) for ease of pronunciation) Progressive assimilation: √lag ‘to cling’ + -na = lagna = lagga ‘clung’√budh ‘to know’ + -ta = budhta = buddha ‘known,’ (with the shift of the aspirate h to before the final a for ease of pronunciation)
General Rules of Assimilation
General Rules of Assimilation 51. Assimilation takes place mostly in the formation of the Passive Voice, the Passive Perfect Participle, the base of verbs of the third conjugation of the Infinitive, Gerund the Potential Passive Participle and in the formation of the Desiderative; also under the influence of certain suffixes in the derivation of words. 55 In Pāli, regressive assimilation is the more common. 56 (a) When a mute meets with an initial mute (non-nasal), there is regressive assimilation gener- ally, that is the first consonant is assimilated to the second: (i) sak + ta = sakta = satta (ii) sak + thi = sakthi = satthi
57. A gutteral assimilates the following dental: (i) lag + na = lagna = lagga (ii) sak + no = sakno = sakko + ti = sakkoti
58. A gutteral assimilates a final dental: (i) ud + kamāpeti = ukkamāpeti (ii) tad + karo = takkaro (iii) ud + gacchati = uggacchati
59. A final palatal* being followed by a dental surd or sonore, assimilates it into a lingual (also called as cerebral): (i) √maj + ta = maṭṭha or maṭṭa (ii) √pucch + ta = puṭṭha (iii) √icch + ta = iṭṭha (iv) √duss + ta = duṭṭha
(a) j however sometimes is assimilated to the following t: (v) √huj + ta = bhutta (b) c also becomes assimilated to t: (vi) √muc + ta = mutta
*To better understand these changes, the student ought to bear in mind that no word can end in a palatal nor in h, because these letters are not primitive letters; the palatals have sprung into existence from the contact of gutteral consonants with certain vowels; and h represents an old gh and is the aspirate of j; the original gutterals, therefore, reappear at the end of words either pure or transformed into a lingual, and then assimilate or are assimilated by the following dental. For instance: √pucch = puṭh + ta = puṭṭha, but √muc = muk + ta = mukta = mutta;
(3)nasal-nasal: a nasal consonant (ń, ñ, ṇ, n, or m), when followed by another nasal consonant, is assimilated to the latter: saṁ-nisīdati > sannisīdati ‘he sinks down’ [Perniola, 2001:23, No.15(a)]. Hence, by analogy: (i) √sam + -n > sanm > samm + -a + -ti (a suffix indicating a 3rd. pers. present act. indic. tense) > sammati. Perniola (idem., p.80, No.68) gives the following examples: ric- to live ri-n-c-a-ti > riñcati ‘(she, he, it, or one) leaves yuj- to join yu-n-j-a-ti > yuñjati ‘(she, he, it, or noe) joins muc to free mu-n-c-a-ti > muñcati ‘(she, he, it, or one) frees, liberates bhuj to eat bhun-j-a-ti > bhuñjati ‘(she, he, it, or one) eats lip to smear li-n-p-a-ti > limpati ‘(she, he, it, or one) smears
Notes:
The letters c and j belong to the class of palatal consonants [c, ch, j, and jh, and ñ (a nasal palatal consonant)]
The letters m and p belong to the class of labial consonants [b, bh, p, and ph, and m (a nasal labial consonant)]
(4) The adaptation above exactly follows that of the niggahīta (ṁ). Tilbe (1899:10-11) writes that when niggahīta (ṁ) meets either a vowel or consonant, the group may remain intact; niggahīta may be elided; a vowel following niggahīta may be elided; or one of the following changes may occur (with the examples in the parentheses given by the present author): (1) niggahīta preceding a vowel generally changes to m; or if the vowel is e, the group changes to ññ; (2) niggahīta followed by a mute [mute sonants: (i) gutturals: g, gh; (ii) palatals: j, jh; (iii) linguals (or retroflex): ḍ, ḍh; (iv) dentals: d, dh, (v) labials: b, bh; (vi) liquids: y, r, ļ, v; (vii) aspirant: h)] is generally changed to the nasal (ń, ñ, ṇ, n, or m) of the class (guttural: ń, palatal: ñ, lingual (or retroflex): ṇ, dental: n; or labial: m) to which the mute belongs; (3) when niggahīta is followed by y, the group may become ññ; or (4) when niggahīta precedes h, it may change to ñ.
English 1: Ānandajoti
English 2: Burlingame
“He abused me, he struck at me, he overcame me, he robbed me,” those who bear not ill-will towards this, their hatred is surely appeased.
“He abused me, he struck me, he defeated me, he robbed me;” If any cherish not this thought, their hatred ceases.
Indonesia 1: BDG
Indonesia 2: CDD
“Ia mencela saya, ia memukul saya ia mengalahkan saya, ia merampok saya.”
Barangsiapa tidak menyimpan pikiran demikian, kebencian niscaya berakhir.
Dia mencelaku, dia memukulku, dia mengalahkanku, dia merampas milikku.
Pada mereka yang tidak menanggung rasa benci terhadap hal tersebut, kebencian mereka akan* menjadi reda.
*In English and Indonesian, this auxiliary verb should not be used, as this stanza refers to what is an eternal, or general, or universal truth [Hands, 2011:208, No. 410; Thomson & martinet, 1986:159, No. 173(A); https://byjus.com/question-answer/give-some-examples-of-universal-truth/]
Semakin banyak pembuat konten di industri film dan televisi China mulai menggunakan ChatGPT dan alat kecerdasan buatan lainnya sehingga dampaknya menjadi semakin besar.
ChatGPT dari OpenAI telah memiliki dampak yang amat besar pada industri ini, kata orang-orang dalam industri ini kepada Yicai Global di Festival Film Internasional Shanghai yang sedang berlangsung,
Lu Chuan, seorang sutradara terkenal di China, telah mencoba menggunakan alat seni AI bernama Midjourney untuk membuat poster film dan juga akan menggunakan ChatGPT untuk membantu dalam desain panggung, pengaturan tokoh-tokoh film dan penulisan skenario, katanya.
Wang Changtian, komisaris utama produsen film TV Beijing Enlight Media, memperhatikan bahwa sebelumnya seniman-seniman perlu waktu sebulan untuk menggambar sejumlah adegan animasi; sekarang ribuan adegan dapat diselesaikan dalam satu malam. Inovasi teknologi akan membantu meningkatkan efisiensi siklus produksi film animasi secara keseluruhan sebesar sekitar 30 persen sehingga memungkinkan pembuatan empat film setiap tahun, alih-alih tiga, sebutnya.
Namun, alat AI juga sedang menghilangkan pekerjaan, menurut Lu, yang mengungkapkan bahwa sebuah perusahaan game yang dia kenal dulunya memiliki 48 orang animator, tetapi setelah perusahaan itu mulai menggunakan teknologi AI, hanya tinggal dua orang animator.
AI akan membantu orang-orang yang imajinatif (kreatif atau mampu mencipta) terhubung secara lebih langsung langsung dengan inti imajinasi sehingga menurunkan ambang batas bagi orang-orang yang benar-benar imajinatif, tetapi meningkatkan ambang batas bagi para pekerja yang membutuhkan banyak tenaga, kata Lu.
Daripada cemas dan menolak teknologi AI, orang sebaiknya menggunakan alat-alat itu untuk meningkatkan daya saing mereka, kata satu orang dalam lainnya di industri film dan TV.
Versi 1: Di luar dinding mereka berdiri, di pertigaan dan perempatan jalan, juga dekat tiang-tiang pintu, demikianlah setelah mereka datang ke rumah mereka sendiri.
Outside the walls they stand and at two and four-road junctions; at door posts, too, they stand, after they come to their old home.
Versi 2: Setelah datang ke rumah mereka sendiri, mereka berdiri di luar dinding, di pertigaan dan perempatan; mereka juga berdiri dekat tiang-tiang pintu.
Having come to their old home, outside the walls they stand and at road-forks and crossroads; At door posts, too, they stand.
Makanan dan minuman melimpah – makanan yang keras maupun lainnya telah siap, tetapi tidak seorang pun (yang hadir) ingat mereka sebagai akibat perbuatan para makhluk itu sendiri.
Plentiful food & drink–solid and other food- standby, But no one remembers them because of the results of the beings’ own kamma
Berlimpah makanan dan minuman—makanan yang keras maupun lembut telah siap, Tetapi tidak seorang pun (yang hadir) ingat mereka sebagai akibat perbuatan para makhluk itu sendiri.
Karena itu, memberikan kepada sanak-keluarga itulah orang-orang yang welas-asih: makanan dan minuman yang bersih, istimewa, yang sesuai dan pada waktu yang tepat, sambil berpikir:”
Thus those who feel sympathy for their dead relatives give timely, proper food & drinks, exquisite, clean — [thinking:]
4. Idaṁ vo ñātīnaṁ hotu, sukhitā hontu ñātayo;
Te ca tattha samāgantvā, ñātipetā samāgatā, Pahūte annapānamhi, sakkaccaṁ anumodare;
Semoga (makanan dan minuman) itu* melimpah kepada sanak-keluarga kami. Semoga sanak-keluarga kami bahagia.
*anafora; kata sandang deiktis.
Dan para petā, yang merupakan sanak-keluarga itu dan saling bertemu setelah berkumpul di sana, dengan penuh hormat berterima terima-kasih untuk makanan dan minuman yang berlimpah itu, dengan berkata:
“May this accrue to our relatives. May our relatives be happy!” And those who have gathered there and met each other respecfully gave appreciation for the plentiful food & drink, saying:
5. Ciraṁ jivantu no ñātī yesaṁ hetu* labhāmase Amhākañ ca katā pūjā dāyakā ca anipphalā
*moral condition
Semoga sanak-keluarga kami berumur panjang, karena moral merekalah kami mendapatkan itu; penghormatan telah diberikan kepada kami dan para pemberi mendapatkan pahala.
“May our relatives live long because of whose moral condition we have gained [this gift]. We have been honored, and the donors gain rewards!”
6. Na hi tattha kasī atthi gorakkh’ etta na vijjati vanijjā tādisī natthi hiraññena kayakayaṁ
Ito dinnena yāpenti petā kālagatā tahiṁ.
Tidak pernah ada pertanian di sana (di alam petā), peternakan juga tidak ada di sana; tidak ada juga perdagangan dan jual-beli dengan uang emas.
Para mendiang hidup di sana dengan apa yang diberikan dari sini.
There (in the realm of the dead), there’s never any farming, herding of cattle, commerce, trading with money. The dead live on what is given from here.
Tidak pernah di sana ada pertanian, peternakan juga tidak ada di sana
tidak ada perdagangan dan jual-beli dengan uang emas.
Dengan apa yang diberikan dari sinilah para mendiang hidup di sana.
Bagaikan sungai-sungai yang penuh air mengisi penuh lautan, demikian juga apa yang diberikan dari sini bermanfaat bagi para mendiang.
As rivers full of water fill the ocean full, even so does what is given from here benefit the dead.
9. Adāsi me akāsi me, ñāti mittā sakhā ca me; Petānaṁ dakkhiṇaṁ* dajjā, pubbe katam-anussaraṁ.
dakkhiṇaṁ (pl.; sg. dakkhiṇā): a donation given to a “holy” person with reference to (or on behalf of) unhappy beings in the peta realm, intended to induce the alleviation of their sufferings; an intercessional, expiatory offering; guru-dakkhiṇā ‘a teacher’s fee’ (Davids & Stede, 1921-1925:146, Part IV)
Dia memberi kepada saya, dia berbuat untuk saya, dia adalah sanak, sahabat dan teman saya;
Seseorang sebaiknya memberikan dakkhiṇā* atas nama para petā mengingat perbuatan yang mereka lakukan di masa lampau.
*dakkhiṇā: pemberian kepada orang suci atas nama makhluk-makhluk menderita di alam peta, yang ditujukan untuk membantu meringankan penderitaan mereka; guru-dakkhiṇā ‘uang jasa kepada guru’ (Davids & Stede)
“He gave to me, she acted on my behalf, they were my relatives, companions, friends;” Offerings should be given on behalf of the dead, remembering things done in the past.
10.Na hi ruṇṇaṁ vā soko vā, yā c’aññā paridevanā; Na taṁ petānamatthāya, evaṁ tiṭṭhanti ñātayo.
Tidak pernah tangisan atau kesedihan dan ratapan lain bermanfaat bagi para mendiang; sanak-keluarga itu hidup terus secara demikian.
No weeping, no sorrowing no other lamentation ever benefits the dead; the relatives live on thus.
Tetapi, sesungguhnya dakkhiṇa yang telah diberikan itu dan ditegakkan dengan kokoh dalam Sańgha bermanfaat secara seketika dan juga untuk jangka panjang.
But, this offering which has been given, well-placed in the Sangha, Is beneficial immediately and for the long-term.
12. So ñātidhammo ca ayaṁ nidassito, Petāna pūjā ca katā uḷārā; balañca bhikkhūnamanuppadinnaṁ, Tumhehi puññaṁ pasutaṁ anappaka” nti.
Tugas kepada sanak-keluarga itu dan yang berikut ini telah ditunjukkan: para petā telah diberi penghormatan besar dan para bhikkhu telah diberi kekuatan; kebajikan yang telah dilakukan oleh anda sekalian adalah besar.
The duty to relatives and the following has been shown: great honor has been done to the dead, and monks have been given strength; by you all, the merit made is large.
Tugas kepada sanak-keluarga itu dan yang berikut ini telah ditunjukkan: para petā telah diberi penghormatan besar dan para bhikkhu telah diberi kekuatan; oleh anda sekalian, kebajikan yang telah dilakukan adalah besar.”
The duty to relatives and the following has been shown: great honor has been done to the dead, and monks have been given strength; by you all, the merit done is large.
Catatan: Diterjemahkan dari bahasa Pali ke bahasa Indonesia dan Inggris, oleh Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah1978 Tersumpah1997, Rohaniwan Buddha Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Kementerian Agama Buddha, Sasanadhaja Dharma Adhgapaka, anggota Magabudhi, dosen English for Buddhism STAB Nalanda (2014-2021)
ChatGPT dan teknologi AI secara umum dapat memiliki dampak yang penting pada bidang pendidikan. Yang berikut ini adalah beberapa dampak yang mungkin terjadi:
Sumber belajar yang lebih luas: ChatGPT dapat digunakan sebagai salah satu sumber belajar yang luas dan dapat diakses oleh siapa saja baik secara gratis maupun berbayar, misalnya murid, guru, dosen, orangtua. Dengan menyediakan akses ke informasi dan pengetahuan, ChatGPT dapat membantu murid (dan juga orang yang suka belajar secara mandiri) dalam mempelajari berbagai topik yang dipelajarinya dengan syarat informasi itu terus mutakhir dengan benar.
Bantuan dalam pemahaman konsep: murid dapat menggunakan ChatGPT untuk mendapatkan penjelasan tentang konsep yang sulit dipahami olehnya. Mereka dapat mengajukan pertanyaan kepada dan mendapatkan jawaban yang jelas dan terperinci dari ChatGPT, membantu mereka memperoleh pemahaman yang lebih luas.
Bimbingan dan pengajaran personal: ChatGPT dapat digunakan untuk memberikan bimbingan dan pengajaran personal kepada murid. Dengan memasukkan informasi dan pertanyaan mereka, murid dapat menerima penjelasan alternatif dan mendapatkan panduan yang lebih luas.
Pengembangan keterampilan berpikir kritis: Interaksi dengan ChatGPT dapat mendorong murid untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis pada tingkat dasar dan menengah. Mereka sebaiknya mengajukan pertanyaan yang relevan, menilai jawaban yang diberikan, dan menggali lebih dalam untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam.
Kolaborasi dan interaksi sosial: ChatGPT juga dapat digunakan untuk kolaborasi dan interaksi sosial antara murid. Mereka dapat berdiskusi dan berbagi pengetahuan dengan menggunakan ChatGPT sebagai mediator sampai tingkat kemampuan ChatGPT.
Namun, penting untuk diingat bahwa meskipun ChatGPT dapat menjadi alat yang berguna dalam pendidikan, ChatGPT tidak boleh digantikan oleh interaksi langsung dengan pendidik dan proses pembelajaran yang terstruktur. Pembelajaran melalui interaksi manusia masih merupakan salah satu komponen penting dalam pendidikan yang efektif dan holistik. Penggunaan ChatGPT dan teknologi AI lainnya dalam bidang pendidikan perlu diarahkan dengan bijaksana dan terintegrasi dengan pendekatan pendidikan yang demikian.
ChatGPT dapat menimbulkan dampak yang berbeda-beda pada karir seorang guru, yang sebagian bergantung pada bagaimana teknologi ini digunakan dan, menurut saya, dilaksanakan dalam konteks guru yang pengetahuannya setingkat dengan ChatGPT atau lebih rendah, tidak untuk guru yang pengetahuannya lebih tinggi. Sejumlah dampak yang mungkin terjadi antara lain adalah:
Meningkatkan efisiensi persiapan mengajar dan pelajaran: Guru dapat menggunakan ChatGPT sebagai, antara lain, pengingat kembali pelajaran-pelajaran yang pernah didapatkannya selama kuliah (sd semester 4 S1 atau sedikit di atasnya, yang bergantung pada kualitas perguruan tingginya); pemutakhir pengetahuan dasar yang dipelajarinya 10, 20 tahun lalu atau lebih dengan syarat informasi dan data dari ChatGPT terus mutakhir dan benar, alat bantu untuk menghemat waktu dalam menyiapkan materi pelajaran, menyusun tugas, atau menjawab pertanyaan umum dari siswa. Dengan adanya teknologi ini yang masih terus-menerus diperkuat, guru bisa mendapatkan sumber daya tambahan dan referensi yang dapat membantu meningkatkan efisiensi dalam pekerjaan mereka, dengan syarat seperti yang tersebut di atas.
Diversifikasi metode pengajaran: ChatGPT dapat membantu guru untuk memperkenalkan variasi metode pengajaran yang menarik, seperti interaksi dengan asisten virtual yang dapat memperkaya pembelajaran, sekali lagi dengan syarat yang sama seperti di atas. Guru juga dapat memanfaatkan ChatGPT untuk memberikan umpan balik secara perseorangan kepada murid dalam mengembangkan keterampilan tertentu, dengan membuat penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan, sesuai dengan keadaan murid.
Pengurangan beban kerja jika sang guru kurang belajar atau tidak belajar terus-menerus (menerapkan prinsip life-long learning) atau tidak punya metode yang lebih unggul: Dengan adanya ChatGPT, guru dapat mendapatkan dukungan dalam mengelola tugas-tugas sehari-hari yang memakan waktu, seperti menyusun jadwal pelajaran, menyusun rencana pelajaran, atau menilai tugas murid. Hal ini dapat membantu mengurangi beban kerja guru dan memungkinkan mereka untuk fokus pada aspek-aspek pengajaran yang lebih mendalam, misalnya menyiapkan bahan ajaran yang sesuai, mendorong para murid agar semakin rajin belajar, menilai hasil pengajaran sebelumnya, memeriksa dan memastikan kesiapan para murid untuk menerima pelajaran berikutnya, membantu para murid yang kesulitan mengatasi mengikuti kurikulum.
Tantangan dalam penilaian: ChatGPT tidak disarankan untuk dipakai dalam penilaian karena hal itu dapat menimbulkan tantangan tersendiri, apalagi jika guru mengandalkan ChatGPT secara tunggal untuk menilai pekerjaan murid. Hal itu dapat mengabaikan aspek kreativitas, konteks, dan pemahaman setiap murid yang tidak dapat sepenuhnya dinilai oleh teknologi. Sebagai pembanding, test IQ pun tidak mampu mengetahui kreativitas dan keterampilan murid, misalnya keterampilan memimpin, emosi, kecerdasan emosional, bakat seni dll. Karena itu, penting bagi guru untuk tidak menggunakan teknologi ini sebagai alat bantu yang super, apalagi sebagai pengganti penilaian guru yang mendalam.
Ketergantungan pada teknologi: Terlalu mengandalkan ChatGPT atau teknologi yang serupa dapat menyebabkan ketergantungan yang berlebihan, terutama bagi guru yang kurang pengetahuan maupun keterampilan. Guru yang ideal perlu tetap mempertahankan dan bahkan meningkatkan kualitas peran mereka sebagai pendidik yang berpengalaman dan paham bahwa teknologi hanya alat bantu yang harus digunakan secara bijak dan tepat dalam konteks pembelajaran.
Penting untuk diperhatikan bahwa meskipun ChatGPT memiliki potensi untuk mendukung pengajaran dan pembelajaran, peran guru yang ideal sebagai fasilitator pembelajaran, mentor, orangtua, penasihat, dan teman para murid tetap sangat penting. Guru yang hebat memiliki keahlian unik dalam memberikan bimbingan dan membangun hubungan dengan siswa secara emosional, sosial maupun intelektual serta memberikan konteks pembelajaran yang relevan dan tidak dapat digantikan oleh teknologi.
Sedikit Pengalaman memakai ChatGPT
Sampai tanggal artikel ini diterbitkan, ChatGPT mirip dengan ensiklopedia, yang pengetahuannya hanya sd semester 4 program S1 ilmu-ilmu sosial, misalnya manajemen, pendidikan.
Kesimpulan: Penulis memiliki pengalaman sekitar 30 tahun dalam memakai kecerdasan buatan (artificial intelligence), yang dimulai dengan komputer catur, program pengenal suara (voice recognition program) dll. ChatGPT merupakan terobosan teknologi yang spektakuler, berpotensi besar sebagai ensiklopedi modern yang dinamis dan dapat diakses dari mana pun kita berada sepanjang tersedia alat yang sesuai, sambungan Internet lewat kabel yang memadai, atau nirkabel yang sinyalnya juga memadai. Nantinya ChatGPT mungkin mampu menjadi asisten guru di kelas secara virtual dan, di luar kelas, juga membantu siswa me-review maupun memperdalam pengetahuan dan keterampilan yang sedang dipelajarinya.