Ringkasan Artikel:
- Masuk surga butuh tekad baja dan konsistensi dalam praktik Dhamma.
- Tujuan tertinggi umat Buddha adalah Nibbāna.
Kisah dua orang praktisi Dhamma yang kokoh:
- Mendiang mama saya, yang meninggal pada usia 90 tahun:
1. Mampu mengubah pendapatnya dari tradisional menjadi pengikut Dhamma
1. Sekitar 1990, Mama berpesan agar sesudah beliau meninggal, saya membuatkan altar untuk beliau, seperti para leluhur kami.
2. Tetapi, sejak 1992, yaitu ketika saya kunjungi beliau sekitar 1 minggu sebelum Imlek (Tahun Baru Tionghoa), beliau bertanya tentang beda antara Dhamma dan tradisi Tionghoa. Saya jawab pertanyaan itu dengan jelas dan beliau puas.
3. Pada saat itu juga, beliau nyatakan kepada saya bahwa beliau mencabut pesan beliau tersebut.
4. Beliau juga nyatakan:
4.1 bercita cita utk lahir kembali di surga karena sudah sejak kecil mendengar cerita tentang surga dari banyak orang;
4.2 minta bimbingan saya; dan
4.3 juga minta saya menunjuk seorang adik kami untuk bantu menjaga agar beliau tidak melanggar Dhamma, terutama Pancasila Buddhis, karena saya sering bepergian ke luar kota dll.
5. Saya tekankan kepada beliau tentang manfaat dari praktik Pancasila dan Brahmavihara (metta, karuna, mudita dan upekkha) dan memberi beliau sejumlah contoh dalam kehidupan sehari-hari.
6. Contoh-contoh praktik Pancasila Buddhis:
5.1 Beliau langsung berhenti memesan daging dari langganan beliau;
5.2 Jika ingin makan daging ayam, beliau menyuruh adik kami membeli “bangkai ayam,” yaitu daging ayam yang memenuhi tiga syarat Dhamma: beliau tidak membunuh ayam yang bersangkutan secara langsung, tidak menyuruh orang lain membunuh ayam itu dan tidak mencurigai bahwa ayam itu dibunuh untuk dijual kepada beliau atau adik kami;
5.3 Setiap kali menjelang Imlek, beliau minta agar pemakaian daging dikurangi dan hanya “bangkai” yang dibeli;
5.4 Beliau mengubah perkataan dan pikiran beliau dari negatif menjadi positif sehingga tidak berani mengeluarkan kata-kata yang bersifat memarahi, memaki atau sejenisnya terhadap orang lain, dan mengubahnya dengan banyak kata positif, misalnya, “Senyum donk,” “Kamu pintar dan rajin ya,” dll.
7. Contoh praktik Brahmavihara oleh beliau:
7.1 Beliau menyayangi semua makhluk, yang mencakup binatang, misalnya kucing liar;
7.2 Beliau dengan sengaja membelikan ikan goreng dll untuk diberikan kepada kucing-kucing liar yang sering datang ke rumah beliau, terutama sore hari, lewat celah-celah di bawah pintu gerbang;
7.3 Beliau juga menyediakan air minumnya
8. Sejumlah contoh kebahagiaan beliau karena praktik Dhamma:
8.1 Memberi makan kepada kucing liar
Suatu sore, saya mengunjungi beliau. Ketika melewati pintu gerbang, saya melihat seekor kucing liar sedang makan ikan goreng, yang saya tahu pasti itu pemberian Mama;
Lalu, saya berkata kepada beliau:
8.1.1 Dengan memberi makan kepada kucing itu, Mama sudah menyelamatkan dua jenis hewan: kucing itu dan para tikus yang ada di gudang dekat pintu gerbang. Kucing itu menjadi kenyang dan lalu pergi. Para tikus di gudang itu menjadi merasa aman dari ancaman dimakan oleh kucing itu. Jadi, Mama juga sudah melakukan abhaya dāna, yaitu menyelamatkan para tikus itu dari rasa takut dan bahaya (bhaya).
8.1.2 Ketika mendengarkan penjelasan saya, beliau terlihat bahagia sekali. Beliau berujar,”Oh, betapa indahnya Dhamma!!! Kenapa baru setua ini aku merasa kebahagiaan ini (beliau berusia sekitar 65 tahun pada waktu itu, tahun 1995).” Lalu, beliau memejamkan mata sebentar untuk menikmati kebahagiaan itu.
8.2 Beliau menghapuskan utang orang kepada beliau
8.2.1 Suatu hari Minggu, seorang wanita keponakan jauh beliau datang untuk pinjam uang guna membayar uang sekolah, uang daftar ulang, buku dll. untuk anak-anaknya. Beliau langsung memberikan pinjaman itu.
Setahun kemudian, keponakan itu datang lagi dan minta maaf karena belum bisa bayar kembali pinjamannya dan mau pinjam uang lagi untuk keperluan yang sama. Beliau langsung berikan pinjaman lagi.
Dua tahun kemudian, keponakan itu datang lagi.
Pada saat itu, saya kebetulan juga baru masuk ke rumah Mama. Saya menyapa keponakan itu, lalu pergi ke kamar Mama.
Saya lihat beliau sedang merenung dan saya tanya mengapa tidak menjumpai keponakannya di ruang tamu.
Jawab beliau,”Aqu lagi bingung nih. Dia sudah dua kali utang dan belum kembalikan sama sekali. Tadi aqu lihat wajahnya sendu dan aqu yakin dia mau utang lagi nih.”
Saya tersenyum dan berkata dengan lembut,” Mama, ini adalah kesempatan yang tepat untuk praktik karunā, yaitu menolong dia lagi dengan uang, dan juga praktik abhaya dāna, yang menghilangkan kecemasan dari dirinya, anak-anaknya dan juga suaminya karena sedang kejepit kebutuhan uang yang penting sekali dan sekaligus harus menanggung rasa malu bertemu dengan Mama karena belum bayar dua bon utangnya.”
Saya tambahkan,”Mama juga perlu jelaskan kepada dia bahwa (i) Mama menghapus dua bon utangnya dan menganggapnya sebagai ang pau kepada anak-anaknya; (ii) Dia boleh minta uang lagi kepada saya jika benar-benar perlu; dan (iii) kasih tahu suami dan anak-anaknya bahwa kita adalah saudara sejati sehingga enggak perlu malu minta uang yang memang benar-benar penting.”
Mama langsung gembira sekali dan membuka laci uang beliau. Tetapi, beliau tidak jadi ambil uang, lalu, berkata kepada saya,” Aqu belum tahu nih dia mau utang berapa lagi. Jadi, aqu akan tanya dia dulu.”
Singkat cerita, saya kemudian melihat keponakan itu memeluk Mama sambil berurai air mata, mengucapkan banyak terima kasih dll, lalu keluar.
Mama tersenyum bahagia sekali, lalu duduk, memejamkan mata untuk menikmati kebahagiaan hasil praktik Dhamma dan berujar,”Oh, indahnya Dhamma Sang Buddha!!! Uang yang tidak berapa banyak itu ternyata sangat berguna untuk keponakan saya dan keluarganya. Semoga anak-anaknya rajin dan cerdas.”
9. Sekitar 2014, Mama terkena dua kali stroke ringan sehingga beliau tidak bisa bangun dari ranjang dengan mudah. Saya menasihati beliau untuk selalu ingat kebaikan-kebaikan beliau dan juga keindahan Dhamma Sang Buddha sehingga pikiran beliau bahagia, tenang dan damai.
10. Fenomena sekitar 3-4 jam sebelum meninggalnya Mama pada 14 Juli 2018
10.1 Pada Sabtu sore 14 Juli 2018, saya ditelepon oleh adik laki-laki kami untuk segera datang ke rumah Mama karena Mama mulai muntah-muntah dan kelihatannya sedang kritis.
10.2 Saya sampai di rumah Mama sekitar jam 4.00 sore. Saya melihat sejumlah tetangga, pemilik toko dan warung di sekitarnya sedang berkumpul di dekat pintu gerbang rumah beliau. Mereka terheran-heran oleh sejumlah fenomena alam yang sedang berlangsung ketika itu. Mereka bertanya kepada saya, “Mengapa suasana sahdu sekali? Ini kali pertama terjadi di lingkungan kita,”
Saya jawab,” Mama sedang sakit dan kelihatannya akan pergi karena sudah muntah-muntah.”
10.3 Ketika saya masuk ke halaman rumah Mama, adik laki-laki kami itu sedang berdiri di halaman rumah Mama dengan sejumlah keponakan dan kakak ipar tertua kami. Saya tanya adik kami itu mengapa dia tidak menjaga Mama yang sedang kritis. Dia jawab,”Saya dan mereka sedang mengamati sejumlah fenomena alam sejak sekitar 1 jam lalu.”
10.3.1 Fenomena itu:
a. Timbul satu buah bulan kecil yg cerah persis di atas rumah Mama,
b. Hujan rintik-rintik sekali;
c. Suasana sahdu sekali;
d. Angin di sekitar kami bertiup lembut padahal biasanya bertiup agak kencang dan berisik karena lewatnya banyak mobil di jalan raya di depan rumah Mama;
e. Daun pohon-pohon besar di sana yang biasanya berisik karena diterpa oleh angin dari jalan raya itu ternyata sunyi dan hanya bergerak ke berbagai arah perlahan-lahan;
f. Dll
10.4 Kakak ipar tertua kami itu, wanita yang sejak kecil diketahui punya kemampuan “melihat,” berkata dengan jelas kepada kami,” Lihat, di dekat bulan itu! Ada kereta kencana (emas) terlihat seperti sedang menunggu seseorang!!!”
10.5 Lalu, saya masuk ke kamar Mama dan melihat beliau sudah lemah, tetapi masih bisa mendengar percakapan jika diucapkan cukup keras. Saya membisiki beliau agar ucapkan kata “Buddho” terus-menerus. Lalu, saya mengajak sejumlah anggota keluarga untuk membaca paritta untuk orang sakit.
Di kamar Mama, ada altar kecil dengan sebuah rupang Buddha. Sesudah baca paritta, saya berkata,” Sang Buddha, sudah puluhan tahun Mama bercita-cita untuk lahir kembali di surga jika wafat. Apabila buah karma baik beliau belum cukup, bantulah beliau agar mencapai cita-cita beliau. Terima kasih, Sang Buddha.”
10.6 Begitu selesai berkata demikian, saya memandang wajah Mama dan saat itu juga beliau “pergi untuk selama-lamanya.”
11. Kakak ipar tertua kami berkata,” Oh, rupanya kereta kencana itu menjemput Mama!!!”
12. Wajah Mama terlihat tenang, sejuk dan bahagia.
13. Empat hari kemudian, kami mengkremasi jenazah beliau dan menyempurnakannya di laut menjelang sore.
14. Hari masih sore ketika saya dalam perjalanan pulang dari acara itu dan duduk di kursi depan di samping sopir. Tiba-tiba muncul wajah Mama dengan pakaian “keren” dan berkata,” Terima kasih ya sudah mengajarkan Dhamma kepada saya. Sekarang saya di alam bahagia.”
B. Tentang mendiang adik laki-laki saya, yang meninggal pada usia 57 tahun pada 14 Desember 2019
1. Dua hari sesudah kremasi Mama pada Juli 2018, dia bilang kepada saya,” Mulai saat ini, keyakinan saya pada ajaran Sang Buddha mantap. Saya mau dalami dan praktikkan selama sisa hidup saya. Saya mau kumpul kembali dgn Mama di surga.”
2. Dia bersumpah tidak akan melanggar Pancasila Buddhis.
3. Dia juga cukup aktif meditasi dan bahkan sangat aktif dorong orang lain ikut meditasi di sebuah vihara.
4. Dia ikut sejumlah grup WA Dhamma.
5. Sejak dia jatuh sakit ringan sekitar 1,5 bulan lalu, dia semakin curahkan waktunya untuk renungi Dhamma dan kikis kilesa dari pikirannya.
6. Saya jumpa dia kali terakhir pada Jumat malam lalu, 13 Desember 2019, dan lihat dia sedang baca dan kirim pesan-pesan Dhamma lewat WA.
7. Pagi ini, dia bangun tidur sekitar jam 4 pagi, lalu jalan ke kamar kecil. Dia ke dapur untuk makan sedikit, kembali ke kamarnya, terlentang, lalu pergi selama-lamanya sekitar jam 5.15 pagi.
8. Kami membawanya ke rumah duka.
9. Wajahnya tersenyum, mirip sekali dengan keadaannya sehari-hari. Ketika peti matinya akan ditutup, kami mengajak banyak teman dan tamu untuk melihatnya. Mereka takjub sekali. Bahkan abang kami dan isterinya berkata bahwa selama berpuluh-puluh tahun melihat wajah orang meninggal, baru kali ini mereka melihat wajah orang meninggal (yaitu adik kami) tersenyum cerah!!!
10. Seorang wanita teman keluarga kami membantu membuat sejumlah kue untuk para tamu di rumah duka. Esoknya dia bercerita kepada kami bahwa adik kami mendatanginya dalam mimpi dan, dengan ramah, mengucapkan terima kasih kepadanya sebagai berikut,” Ci, terima kasih banyak ya sudah membuat kue untuk acara saya.”
11. Dua hari kemudian, kami mengadakan upacara Buddhis untuk kremasi.
12. Sesudah kremasi, seorang mantu saya membawa sisa kremasi jasad adik kami ke laut dan menyempurnakannya di sana. Hari sudah sore, sekitar jam 4.00. Sesudah selesai, mantu saya masuk ke mobilnya dan menutup pintu mobilnya untuk menghidupkan mesin mobilnya. Tiba-tiba mendiang adik kami, dengan pakaian dan senyuman sehari-harinya, muncul di sebelah kanan mantu saya (di luar mobilnya) dan, sambil tersenyum ramah, mendiang adik kami berkata,” Terima kasih ya sudah menyempurnakan jasad saya.”
Semoga bermanfaat.
Cattamalo Tjan
Jakarta, 16 Desember 2019
Catatan: Kisah di atas hanya sebagian dari fenomena yang kami alami dan lihat tentang Mama dan adik kami itu sebelum dan sesudah mereka meninggal.