Home Blog Page 5

32 Murid Utama Buddha Gotama: 20. YA Mahāpajāpatī Gotami Therī

0

(Sumber gambar: Pribadi)

20. YA Mahāpajāpatī Gotami Therī

Beliau lahir di dalam sebuah keluarga Sakya di Devadaha sebagai putri Raja Suppabuddha dan merupakan adik Ratu Mahāmāyā, ibu Pangeran Siddhattha, yang meninggal dunia ketika pangeran berusia tujuh hari. (Lihat diagram silsilah Sang Buddha)

Lalu, Pangeran Siddhattha dibesarkan oleh Ratu Mahāpajāpatī Gotami.

Setelah Sang Buddha menyelesaikan vassa-Nya yang kelima, Raja Suddhodana menjadi Arahat dan mencapai Parinibbāna pada hari itu juga.

Halaman 521-524 Vinaya Piṭaka mencatat bahwa ratu dan sejumlah wanita suku Sakya ingin menjadi bhikkhuni. YA Ᾱnanda mendukung niat itu dan memohon kepada Sang Buddha agar mereka ditahbiskan  sebagai bhikkhuni.

Pada Nandakovada Sutta (MN 146) Sang Buddha memerintahkan YA Nandaka untuk membabarkan Dhamma kepada YA Mahāpajāpatī Gotami dan 500 bhikkhuni yang lain dan, setelah pembabaran yang kedua, YA Mahāpajāpatī Gotami menjadi Arahat. Lima ratus orang bhikkunī lainnya mencapai berbagai tingkat kesucian.

Therigatha 6.6 mencatat pujian-pujian YA Mahāpajāpatī Gotami tentang Sang Buddha.

Pada usia 120 tahun beliau mencapai Parinibbāna dan juga kelima ratus orang bhikkhuni lainnya di kota Vesāli.

YA Ᾱnanda mengumpulkan dan memasukkan relik beliau ke dalam mangkuk yang biasanya beliau pakai.

20. The Venerable Mahāpajāpatī Gotami Theri

Born to a Sakyan family in Devadaha, she was King Suppabuddha’s daughter and the younger sister of Queen Mahāmāyā, Prince Siddhattha’s mother, who passed away when the prince reached the age of seven days. (See the Buddha’s genealogical chart)

The prince was then brought up by Queen Mahāpajāpatī Gotami.

After the Buddha completed His fifth rains retreat, King Suddhodana became an Arahant and reached final Nibbāna on the same day.

Pages 522-524 of Vinaya Texts record that The queen and a number of women of the clan Sakyan intended to become nuns, or bhikkhunis. The Venerable Ᾱnanda was supportive of the intention and made a request to the Buddha that they be ordained as nuns.

In the Nandakovada Sutta the Buddha ordered the Venerable Nandaka to preach the Dhamma to Mahāpajāpatī Gotami and another 500 nuns and, after the second preaching, she  attained Arahantship. The other five hundred nuns attained different degrees of sainthood.

Therigatha 6.6 records the praises spoken by her of the Buddha.

At the age of 120 years she reached her final Nibbāna and so did her five hundred fellow nuns in the city of Vesāli.

The Venerable Ᾱnanda gathered and put her relics into the bowl usually used by her.

Ditulis oleh Rama Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, Sāsanadhaja Dharma Adhgapaka, Rohaniwan Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia

Kisah 32 Murid Utama Buddha Gotama: 19. YA Nāgasena Thera

0

(Sumber gambar: https://www.freepik.com/free-vector/buddha-flat-illustration_4186263.htm#page=7&query=buddhist%20monk&position=33&from_view=search&track=ais)

19. YA Nāgasena Thera

Kitab Pertanyaan Raja Milinda mencatat bahwa beliau adalah putra Brahmana Sonuttara di desa Kajaṅgala di Pegunungan Himālaya.

Beliau sangat fasih dalam Triveda dan masuk Saṅgha di bawah YA Rohaṇa untuk belajar Dhamma Sang Buddha. Kemudian, beliau pergi belajar dari YA Assagutta di pertapaan Vattaniya. Di sana, pada suatu hari setelah selesai makan dan sambil berterima kasih kepada seorang umat awam wanita yang telah melayani YA Assagutta selama lebih dari 30 tahun, YA Nāgasena menjadi Sotāpanna. Lalu, beliau dikirim ke  Pāṭaliputta, tempat beliau belajar di bawah YA Dhammarakkhita dan di sana menjadi Arahat. Setelah itu, beliau pergi ke parivena (lembaga pendidikan tinggi; seminari) Saṅkheyya di Sagala, tempat beliau bertemu dengan Raja Milinda. Diskusi-diskusi mereka tercatat dalam Kitab Pertanyaan Raja Milinda.

Menurut cerita dalam kehidupan yang sebelumnya, beliau adalah dewa yang bernama Mahāsena dan tinggal di sebuah istana yang bernama Ketumatῑ di Surga Tāvatiṁsa serta setuju untuk lahir di dunia manusia atas permintaan yang mendesak dari Dewa Sakka dan para Arahat yang dipimpin oleh YA Assagutta.

19. The Venerable Nagasena Thera

The Questions of King Milinda records that he was the son of the Brahmin Sonuttara, in the village of Kajaṅgala in the Himālayas.

He was well versed in the Vedas and entered the Order under the Venerable Rohaṇa to learn the Buddha’s teaching. Later he went to the Venerable Assagutta of the Vattaniya senāsana and studied under him. There, one day, at the conclusion of a meal, while giving thanks to a lay woman who had looked after the Venerable Assagutta for more than thirty years, the Venerable Nāgasena became a Sotāpanna. Then he was sent to Pāṭaliputta, where he studied under the Venerable Dhammarakkhita, and there he attained arahantship. Subsequently he went to the Saṅkheyya parivena in Sagala, where he met King Milinda. Their discussions were recorded in book entitled “the Questions of King Milinda.”

The book says that in his previous birth he was a deva, named Mahāsena, living in Tāvatiṁsa, in a palace called Ketumatῑ, and that he consented to be born among men at the insistent request of Sakka and the Arahants led by the Venerable Assagutta.

Ditulis oleh Rama Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, Sāsanadhaja Dharma Adhgapaka, Rohaniwan Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia

Kisah 32 Murid Utama Buddha Gotama: 17. YA Girimānanda Thera

0

(Sumber gambar: https://www.pexels.com/photo/monks-performing-a-ritual-11393075/)

17. YA Girimānanda Thera

Beliau adalah putra seorang menteri Raja Bimbisāra dan masuk Saṅgha setelah melihat keajaiban yang diperlihatkan oleh Sang Buddha ketika memasuki Rājagaha.

Lalu, beliau tinggal di sebuah desa untuk belajar tetapi suatu hari ketika datang ke Rājagaha untuk mengunjungi Sang Buddha, Raja Bimbisāra minta beliau tetap di sana dengan janji akan menjaga keperluan beliau. Namun, sang raja lupa tentang janjinya sehingga YA Girimānanda harus berdiam di ruang terbuka. Para dewa, yang takut menjadikan tubuh beliau basah, menghentikan hujan. Setelah mengamati musim kering dan mengetahui sebabnya, sang raja membangun sebuah pertapaan tempat beliau menerapkan energi dan menjadi Arahat.

Giri Sutta diucapkan dengan mengacu pada YA Girimānanda ketika beliau berbaring dalam keadaan sakit berat.

17. The Venerable Girimānanda Thera

He was the son of King Bimbisāra’s chaplain and, having seen the wonders of the Buddha when the Buddha entered Rājagaha, joined the Order.

He then lived in a village studying, but one day, when he came to Rājagaha to visit the Buddha, the king asked him to remain, promising to look after him. The king, however, forgot his promise, and Girimānanda had to live in the open. The gods, fearing to wet him, stopped rains. The king, observing the drought and discovering the reason for it, built him a hermitage wherein the Thera put forth effort and became an Arahant.

The Giri Sutta was preached in reference to the Venerable Girimānanda when he lay grievously ill.

Ditulis oleh Rama Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, Sāsanadhaja Dharma Adhgapaka, Rohaniwan Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia

Kisah 32 Murid Utama Buddha Gotama: 18. YA Gavampati Thera

0

(Sumber gambar: https://www.pexels.com/photo/silhouette-photo-of-monk-holding-umbrella-2730212/)

18. YA Gavampati Thera

Beliau adalah putra seorang seṭṭhi (bendahara kerajaan, yang jabatannya dapat diwariskan; pedagang kaya-raya) di Benares dan satu di antara empat orang teman sejalan YA Yasa, yang ketika mendengar tentang keluarnya YA Yasa dari kehidupan perumah tangga, mengikuti jejak YA Yasa dan menjadi Arahat. Tiga orang lainnya adalah YA Vimala, Subahu dan Punnaji (VT: 59-60).

Kemudian, YA Gavampati tinggal di Añjanavana di Sāketa. Pada suatu hari ketika Sang Buddha mengunjungi Añjanavana, beberapa di antara bhikkhu yang menyertai-Nya tertidur di tepi yang berpasir dari Sungai Sarabhū. Sungai itu meluap pada malam hari dan terjadi kecemasan besar. Sang Buddha mengirimkan YA Gavampati untuk menangkal banjir tersebut. YA Gavampati melakukannya dengan abhiññā (kekuatan batin) beliau. Air berhenti jauh sekali sehingga terlihat seperti puncak gunung (DPPN).

Pāyāsi Sutta (DN 23) mencatat bahwa YA Gavampati sering beristirahat siang di Istana  Serissaka yang kosong di Surga Cātummahārajika dan mengadakan percakapan dengan dewa yang sebelumnya adalah Pangeran Pāyāsi dari Kosala. Melalui beliau, dewa tersebut mengirimkan pesan yang berikut ini kepada penduduk bumi kita: ”Yang Mulia, orang yang berdana tanpa mendumel … lahir kembali di alam Tiga Puluh Tiga Dewa (Tāvatiṁsa), tetapi, saya, yang berdana dengan enggan, telah lahir kembali di Istana Serissaka yang kosong ini. Yang Mulia, ketika Yang Ariya kembali ke bumi manusia, tolong minta mereka berdana tanpa enggan … dan beritahu mereka tentang bagaimana Pangeran Pāyāsi dan Brahmana muda Uttara telah lahir kembali.”

18. The Venerable Gavampati Thera

He was the son of a seṭṭhi (royal treasurer, whose post can be bequeathed; wealthy merchant) in Benares and one of the four lay companions of the Yasa Thera, who, when they heard of Yasa’s renunciation, imitated him and won Arahantship.

Later, Gavampati lived in the Añjanavana at Sāketa. One day, when the Buddha visited the Añjanavana, some of the monks accompanying him slept on the sandbanks of the Sarabhū. The river rose in the night and there was great dismay. The Buddha sent Gavampati to stem the flood, which he did by his iddhi-power. The water stopped afar off, looking like a mountain peak. (Dictionary of Pali Proper Names).

The Pāyāsi Sutta (DN 23) says that Gavampati often spent his midday rest in the empty Serissaka mansion in the Cātummahārajika world and held conversations with a god that was previously Prince Pāyāsi of Kosala. Through him, this god sent the following message to the inhabitants of the earth: ”Lord, he who gave the charity ungrudgingly … was reborn in the realm of the Thirty-three Gods, but I, who gave grudgingly, …. have been reborn in the empty Serissaka mansion. Lord, please, when you return to earth, tell people to give ungrudgingly … and inform them of the way in which Prince Pāyāsi and the young Brahmin Uttara have been reborn.”

Ditulis oleh Rama Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, Sāsanadhaja Dharma Adhgapaka, Rohaniwan Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia

Kisah 32 Murid Utama Buddha Gotama: 16. YA Kaccāyana Thera

(Sumber gambar: https://www.pexels.com/photo/buddhist-monk-in-robes-15147013/)

16. YA Kaccāyana Thera

Terlahir di kota Ujjenī sebagai anak seorang menteri kerajaan dengan warna kulit keemasan sehingga beliau dinamai Kaccāna. Setelah dewasa, beliau menguasai Triveda. Setelah sang ayah meninggal, beliau mewarisi posisi yang sama.

Setelah menjadi siswa Sang Buddha dengan perkataan ‘Mari, bhikkhu,’ beliau menjadi Arahat bersama tujuh orang siswa lainnya. Beliau lebih dikenal dengan nama YA Kaccāyana Thera.

Sang Buddha menganugerai beliau gelar sebagai bhikkhu yang berkemampuan terbaik dalam menjelaskan secara rinci dan analitis apa yang telah diungkapkan secara singkat.

16. The Venerable Kaccāyana Thera

Born as the son of a Purohita, or royal minister, in the city of Ujjenῑ, he had golden skin and, therefore, was named Kaccāna. After majority he mastered the Triveda. Following his father’s death, he was inherited with the same position.

After he was admitted as another disciple of the Buddha using the Ehi Bhikkhu, or Come, monks, formula, he reached arahantship together with another seven disciples. He was better known as the Venerable Kaccāyana Thera.

The Buddha granted him the title of the monk who was the most capable of explaining in detail and analytically what is briefly stated.

Ditulis oleh Rama Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, Sāsanadhaja Dharma Adhgapaka, Rohaniwan Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia

Kisah 32 Murid Utama Buddha Gotama: 15. YA Vaṅgīsa Thera

0

(Sumber gambar: https://www.pexels.com/photo/men-s-brown-top-near-trees-994747/)

15. YA Vaṅgīsa Thera

Terlahir dalam keluarga brahmana di Vanga, Vaṅgῑsa muda dapat mengetahui alam kelahiran kembali dari seseorang yang telah meninggal dunia hanya dengan meraba tengkorak orang yang sudah mati tersebut.

Pada suatu hari Vaṅgīsa datang ke Vihāra Jetavana untuk menemui Sang Buddha. Sang Buddha bertanya, “Vaṅgīsa, apakah kamu ahli dalam bidang tertentu?”. “Saya menguasai chavasīsa mantra yang dapat mengetahui di alam apa seseorang dilahirkan kembali”.

Kemudian Sang Buddha mengambil lima buah buah tengkorak manusia: yang kesatu terlahir ke alam neraka, yang kedua ke alam manusia, yang ketiga ke alam manusia, yang keempat kedewa dan yang kelima milik Arahat yang telah Parinibbāna. Kedua buah tengkorak yang pertama dapat dikenali oleh Vaṅgīsa muda. Namun tentang tengkorak yang ketiga, Vangīsa muda kebingungan. Ia berulang kali merabanya tetapi tetap tidak mampu menyebut tempat kelahiran kembali nya. Lalu, ia menjadi murid Sang Buddha dan YA Nigrodhakappa yang menahbiskan menjadi sāmanera.

YA Vaṅgīsa diajar untuk merenungkan tiga puluh dua bagian tubuh sehingga menjadi Arahat dan kemudian dianugerahi gelar sebagai bhikkhu yang terkemuka dalam mengucapkan kata yang tepat agar sesuai dengan keadaan.

Berkenaan dengan YA Vaṅgīsa, Sang Buddha mengucapkan syair 419 and 420 Dhammapada:

“Orang yang tujuan perjalanannya tidak diketahui, yang mengetahui kematian dan kelahiran kembali makhluk di mana pun, yang tidak melekat, yang akan bahagia setelah kematiannya, Yang Tersadarkan, saya menyebutnya sebagai Brahmana.”

“Orang yang tempat kepergiannya tidak diketahui oleh para dewa, gandhabba dan manusia, yang telah menghancurkan noda batin, yang merupakan Arahat, saya menyebutnya sebagai Brahmana.”

15. The Venerable Vaṅgῑsa Thera

Young Vaṅgῑsa was born to a Brahmin family in Vanga, young Vaṅgῑsa and endowed with the knowledge about the future rebirth planes of dead persons only by tapping on their skulls with his finger nail.

One day young Vaṅgῑsa went to the Jetavana Monastery to see the Buddha who then asked: ”Vangῑsa, are you a specialist in a particular science?”. “I master the chavasῑsa mantra whereby I am capable of knowing in which realm someone will be reborn,” was his reply.

Then, the Buddha took five human skulls: the one belonged to someone reborn in a hell, the second the animal realm, the third the human realm, the fourth the gods’ realm and the fifth an Arahant. Young Vangῑsa was capable of identifying the first four skulls. He was confused about the rebirth plane of the fifth. He tapped the skull repeatedly and continued to be incapable of identifying the rebirth plane. Then, he became another disciple of the Buddha and was ordained by the Venerable Nigrodhakappa as a novice.

This novice was taught to contemplate on the thirty-two parts of the human body. He attained arahantship and later was conferred the title of the monk foremost in speaking the right word to suit the the occasion.

With respect to the Venerable Vaṅgīsa, the Buddha recited verses 419 and 420 of the Dhammapada:

“He who perfectly understands
The rise and fall of all beings,
Who is detached, well-gone and enlightened-
Him I do call a ‘brahman’.”

“Whose way is unknown
To gods, gandharvas and men,
Who has destroyed all dfilements
And who has become enlightneed-
Him I do call a ‘brahman’.”

Ditulis oleh Rama Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, Sāsanadhaja Dharma Adhgapaka, Rohaniwan Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia

Kisah 32 Murid Utama Buddha Gotama: 14. YA Puṇṇa Mantānīputta Thera

0

(Sumber gambar: https://www.pexels.com/photo/unrecognizable-monk-standing-near-sacred-torii-gates-of-buddhist-sanctuary-4320759/)

14. YA Puṇṇa Mantānīputta Thera

Lahir sebagai anak dari brahmana perempuan bernama Mantānī (adik dari YA Kondañña), Puṇṇa muda ditahbiskan sebagai bhikkhu oleh YA Kondañña. Beliau tinggal di kota Kapilavatthu dan berhasil mencapai kesucian Arahat. YA Puṇṇa menahbiskan lima ratus orang bhikkhu di Kapilavatthu yang semuanya kemudian menjadi Arahat.

Rathavinīta sutta (MN 24) mencatat wawancara yang sangat mengesankan antara YA Sāriputta dan YA Puṇṇa dan pertemuan pertama mereka.

Puṇṇavoda Sutta (MN 145.5-6), di mana Sang Buddha menasehati beliau tentang bahaya kesenangan dalam nafsu indrawi, mencatat kebajikan-kebajikan YA Puṇṇa:

Sang Buddha bertanya kepada beliau, “Sekarang karena aku telah memberimu nasihat singkat ini, Puṇṇa, di negeri mana kamu akan tinggal?”

“Bhante, karena sekarang Bhante telah memberi saya nasihat singkat ini, saya akan berdiam di negeri Sunāparanta.” “Puṇṇa, orang-orang Sunāparanta buas dan kasar. Jika mereka menyiksa dan mengancammu, apa yang akan kamu pikirkan?”

“Bhante, jika orang-orang Sunāparanta menyiksa dan mengancam saya, saya akan berpikir: “Orang-orang Sunāparanta ini baik hati, betul-betul baik hati sehingga mereka tidak memukul saya dengan tinju mereka; demikianlah saya akan berpikir, Yang Maha Mulia.”

Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta betul-betul memukulmu dengan tinju mereka, apa yang akan kamu pikirkan pada saat itu?”

“Bhante, jika orang-orang Sunāparanta betul-betul memukul saya dengan tinju mereka, saya akan berpikir: “Orang-orang Sunāparanta ini baik hati, betul-betul baik hati sehingga mereka tidak memukul saya dengan gumpalan (tanah); demikianlah saya akan berpikir, Yang Maha Mulia.”

Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta betul-betul membunuhmu dengan pisau tajam, apa yang akan kamu pikirkan pada waktu itu?”

“Bhante, jika orang-orang Sunāparanta betul-betul membunuhmu dengan pisau tajam, saya akan berpikir begini:’Sudah ada murid-murid Sang Bhagava yang karena dimuakkan dan dijijikkan oleh tubuh dan oleh kehidupan, minta diri mereka dibunuh dengan pisau. Tetapi saya telah dibunuh dengan pisau tanpa memintanya.’ Pada saat itu saya akan berpikir demikian, Sang Bhagava; pada saat itu saya akan berpikir demikian, Yang Maha Mulia..”

Oleh Sang Buddha, YA Puṇṇa Thera disebut sebagai pembabar Dhamma yang terbaik.

14. The Venerable Puṇṇa Mantānīputta Thera

Born to the lady Brahmin Mantānī, the Venerable Kondañña’s younger sister, young Puṇṇa was ordained as a monk by the Venerable Kondañña and lived in the city of Kapilavatthu. He attained arahantship. Then, in the city he ordained five hundred monks, all of whom eventually became Arahants.

The Rathavinīta Sutta (MN 24) records an impressive interview between the Venerable Sāriputta dan the Venerable Puṇṇa and the first encounter between them.

The Puṇṇavoda Sutta (MN 145.5-6), where the Buddha advised him about the dangers of delights in sensual desire, records the virtues of the Venerable Puṇṇa:

The Buddha asked him,”Now that I have given you this brief advice, Punna, in which country will you dwell?”

“Venerable sir, now that the Blessed One has given me this brief advice, I am going to dwell in the Sunāparanta country.” “Puṇṇa, the people of Sunāparanta are fierce and rough. If they abuse and threaten you, what will you think then?”

“Venerable sir, if the people of Sunāparanta abuse and threaten me, then I shall think: ‘These people of Sunāparanta are kind, truly kind, in that they did not give me a blow with the fist.; Then I shall think thus, Sublime One.”

“But, Puṇṇa, if the people of Sunāparanta do give you a blow with the fist, what will you think then?”

“Venerable sir, if the people of Sunāparanta do give me a blow with the fist , then I shall think: ‘These people of Sunāparanta are kind, truly kind, in that they did not give me a blow  with a clod.’ Then I shall think thus, Blessed One; then I shall think thus, Sublime One.”

But, Puṇṇa, if the people of Sunāparanta do take your life with a sharp knife, what will you think then?”

“Venerable sir, if the people of Sunāparanta do take my life with a sharp knife, then I shall think thus: ‘There have been disciples of the Blessed One who, being humiliated and disgusted by the body and by life, sought to have their lives deprived by the knife. But I have had my life deprived by the knife without seeking for it.’ Then I shall think thus, Blessed One; then I shall think thus, Sublime One ….”

The Venerable Puṇṇa Thera was designated by the Buddha as the monk who excelled in the exposition of the Dhamma.

Ditulis oleh Rama Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, Sāsanadhaja Dharma Adhyapaka Dasa Marsa, Rohaniwan Buddha Kementerian Agama Republik indonesia

Kisah 32 Murid Utama Buddha Gotama: 13. YA Subhūti Thera

0

(Sumber gambar: https://pixabay.com/photos/buddhism-temple-monks-thailand-436767/)

13. YA Subhūti Thera

Menurut Nanamoli & Bodhi (1995: 1351) YA Subhūti adalah adik Anāthapiṇḍika.

Menurut Halaman 459-463 Vinaya Piṭaka, suatu hari Anāthapiṇḍika mengundang Sang Buddha untuk makan di rumahnya. Setelah itu, Anāthapiṇḍika membeli taman luas milik Pangeran Jeta yang dibayar dengan menutupi seluruh taman dengan koin uang emas. Kemudian di taman itu, Anāthapiṇḍika membangun Vihāra Jetavana dan mempersembahkannya kepada Sang Buddha.

Nanamoli & Bodhi (1995: 1351) juga mencatat bahwa pada hari upacara persembahan vihara tersebut, Subūthi muda pergi ke vihara tersebut dan mendengarkan pembabaran Dhamma. Keyakinannya muncul, lalu menjadi bhikkhu dan kemudian menjadi Arahat.

Menurut Nānamoli & Bodhi (1995:1351) Sang Buddha  mengangkat beliau sebagai siswa yang terkemuka dalam dua kategori: yang hidup tanpa pertentangan dan yang layak menerima persembahan.

Dalam Subhūti Sutta tercatat bahwa Sang Bhagava (Sang Buddha) melihat YA Subhūti sedang duduk tidak jauh, kaki beliau bersila, tubuh terjaga tegak, berpusat pada konsentrasi yang bebas dari pikiran yang terarahkan.

Lalu, setelah mengetahui pentingnya hal itu, Sang Buddha pada saat itu mendeklamasikan:

Orang yang pikirannya menguap,
sangat terkendali
di dalam,
tanpa jejak,
menembus belenggu itu,
yaitu orang yang melihat keadaan tanpa bentuk,
sehingga mengatasi keempat buah kuk,
tidak akan lahir kembali.

13. The Venerable Subhūti Thera

The Venerable Subhūti was Anāthapiṇḍika’s younger brother.

According to pages 459-63 of Vinaya Texts, one day Anāthapiṇḍika invited the Buddha for a meal at his home. After that, the former bought a large park belonging to Prince Jeta, the payment for which was gold coins used to cover the whole park. Then, Anāthapiṇḍika built the Jetavanna Monastery and donated it to the Buddha.

Nanamoli & Bodhi (1995: 1351) further record that on the day of donation, young Subhūti went to the monastery to listen to the exposition of the Dhamma. His conviction arose and he became a monk and then reached arahantship.

According to Nānamoli & Bodhi (1995:1351) the Buddha appointed him the foremost disciple in two categories: those who live without conflict and those who are worthy of gifts.

In the Subhūti Sutta it is recorded that the Buddha saw the Venerable Subhūti sitting not far away, his legs crossed, his body held erect, centered in a concentration free from directed thought.

Then, on realizing the significance of that, the Blessed One on that occasion exclaimed:

Whose thoughts are vaporized,
well-dealt-with
within,
without trace —
going beyond that tie,
one who perceives the formless,
overcoming
four yokes,
does not go
to rebirth.

Ditulis oleh Rama Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, Sasanadhaja Dharma Adhgapaka, Rohaniwan Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia

Kisah 32 Murid Utama Buddha Gotama: 12. YA Kumāra Kassapa

0

(Sumber gambar: https://pixabay.com/photos/bhikkus-monks-queue-buddhist-5734307/)

12. YA Kumāra Kassapa

Menurut Nigrodhadamiga Jātaka, beliau adalah putra seorang bhikkhuni yang merupakan putri seorang pedagang kaya di Rājagaha. Sebelum menjadi bhikkhuni, ibu beliau sangat ingin meninggalklan hidup keduniawian. Setelah tidak mendapatkan ijin orangtuanya untuk menjadi bhikkhuni, ia dinikahkan. Dengan ijin suaminya, ia kemudian masuk Saṅgha tanpa tahu bahwa dirinya sedang hamil.

Atas perintah Sang Buddha YA Upāli menyelidiki masalah ini dan menyatakan bahwa ia hamil sebelum menjadi bhikkhunī.

Kemudian, ia melahirkan seorang putra yang kemudian dibawa ke istana atas perintah Raja Pasenadi dari Kosala. Pada hari penamaannya, sang bayi diberi nama Kassapa. Di istana ia dibesarkan sebagai seorang pangeran sehingga bernama Pangeran Kassapa.

Pada usia tujuh tahun beliau diangkat sebagai sāmanera. Kemudian, beliau menjadi dikenal sebagai Kumāra Kassapa karena masuk Saṅgha pada usia yang demikian muda dan dibesarkan oleh raja dan, juga karena Sang Buddha, ketika mengirimi beliau makanan yang lezat, menyebut beliau sebagai Kumāra Kassapa.

Vammika Sutta (MN 23) memberitahu kita tentang sebuah cerita yang singkatnya berjalan  sebagai berikut: Ketika YA Kumāra  Kassapa sedang bermeditasi di Andhavana, sesosok dewa muncul di hadapan beliau dan mengajukan 15 pertanyaan yang hanya mampu dijawab oleh Sang Buddha. Lalu, YA Kumāra  Kassapa menghadap Sang Buddha untuk mendapatkan jawabannya dan hal itu menimbulkan pembabaran sutta ini. Setelah merenungi ajaran-ajaran dalam sutta ini, YA Kumāra  Kassapa menjadi Arahat.

Ibu beliau pun menjadi Arahat.

YA Kumāra Kassapa dianugerahi oleh sang Buddha gelar sebagai bhikkhu yang terkemuka dalam kemampuan berwacana.

12. The Venerable Kumāra Kassapa Thera

According to the Nigrodhadamiga Jātaka, his mother was a nun, who was the daughter of a wealthy merchant of Rājagaha. Prior to ordination as a nun, she was eager to renounce the world. Having failed to obtain her parents’ consent to become a nun, she was married and, with her husband’s consent, then joined the Order, not knowing that she was pregnant.

According to the Nigrodhadamiga Jataka, at the Buddha’s order the Venerable Upāli investigated this matter and declared that she was pregnant before ordination.

Then she gave birth to a son who was taken to the palace at the order of King Pasenadi of Kosala. On the day of naming the baby was named Kassapa. In the palace he was grown up like a prince so that he was called Prince Kassapa.

At age seven he was ordained as a novice. The boy came to be called Kumāra Kassapa, because he joined the Order so young and was of royal upbringing, and also because the Buddha, when sending him little delicacies such as fruit, referred to him as Kumāra Kassapa.

The Vammika Sutta (MN 23) tells us a story which in brief runs as follows: When the Venerable Kumara Kassapa was meditating in Andhavana, a deity appeared before him and asked him fifteen questions which only the Buddha was able to answer. Then, the Venerable Kumāra  Kassapa went to the Buddha for the answers and this led to the preaching of this sutta. After dwelling on its teachings the Venerable Kumara Kassapa became an rahant.

His mother became an Arahant, too.

He was given by the Buddha the title of the monk who excelled in eloquence.

Ditulis oleh Rama Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, Sāsanadhaja Dharma Adhapaka, Rohaniwan Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia

Kisah 32 Murid Utama Buddha Gotama: 11. YA Mogharāja Thera

0
11. YA Mogharāja Thera

Lahir sebagai putra dari penasehat Raja Maha Kosala, Mogharāja adalah pemuda yang sangat cerdas ketika muda, Mogharāja menjadi bhikkhu bersama-sama dengan enam belas temannya, YA Mogharāja memiliki kebiasaan mengenakan jubah yang kwalitasnya rendah dalam hal jahitan dan kainnya.

Pada suatu kesempatan, Sang Buddha menganugerahi kepada YA Mogharāja sebagai bhikkhu mengenakan jubah kasar yang terbaik.

11. The Venerable Mogharāja Thera

Born as the son of an adviser to King Maha Kosala, young Mogharāja was a very smart boy. He studied under Bāvarī as an ascetic. He became a monk together with fifteen of his friends as they were sent by Bāvarī to the Buddha. When Mogharāja had asked his question of the Buddha and received the answer, he attained arahantship.

He then attained the distinction by wearing rough cloth which had been thrown away by caravaners, tailors and dyers.

The venerable Mogharāja is given as an example of one who attained arahantship by the development of investigation.

On one occasion the Buddha conferred on him the title of the monk who excelled in wearing rough robes.

Ditulis oleh Rama Tjan Sie Tek, M.Sc., Penerjemah Tersumpah, Sāsanadhaja Dharma Adhgapaka, Rohaniwan Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia