By Jon Eka Putra, 19 November 2022
Saya anak pertama dari seorang Guru SD di daerah Curup, Bengkulu, Sumatera. Keinginan belajar bahasa Inggris tumbuh dari kesukaan saya mendengar siaran berita Radio BBC. Dalam benak saya saat itu adalah alangkah bahagianya kalau saya bisa seperti mereka.
Keingginan itulah yang mendorong saya mendapatkan buku-buku bahasa Inggris secara gratis (maklum kondisi ekonomi keluargaku sangat kurang). Di tahun 1980-an, saat itu yang hanya bisa saya lakukan adalah menulis surat ke Kedutaan Besar Inggris dan Australia untuk minta buku-buku bahasa Inggris secara gratis. Buku pertama yang saya terima adalah panduan kursus bahasa Inggris lewat siaran Radio Autralia. Bukunya merah bergambar kanguru. Gembira sekali saya menerimanya.
Buku itu mendorong saya untuk kursus, tapi hanya bertahan 2 bulan, atau 16 kali pertemuan. Tempat kursusnya di ruang belajar siswa PGA, dari jam 20.00 sd jam 22.00 WIB. Kelompok kami maksimal 10 orang siswa dalam satu kelas. Pengajarnya guru PGA. Saya masih ingat kata-katanya “Untuk sukses, bahasa Inggris harus selalu dipraktikkan dan kamu harus berani mulai berbicara”. Kelemahan saya pada saat itu justru adalah kurang berani berbicara dan merasa minder dengan sesama siswa yang lebih cerdas plus berani berbicara di ruang kursus. Selain itu, selesai kursus, saya harus pulang dengan berjalan kaki seorang diri, kurang lebih 5 km, di malam hari. Saya juga kesulitan membayar uang kursus dan saya putuskan mundur diri.
Ternyata kesulitan belajar bahasa Inggris yang saya alami saat itu, selain yang sudah saya ceritakan di atas, sebagiannya karena metode pengajarannya masih seperti pelajaran di sekolah pada saat itu: Lebih mengutamakan grammar.
Rasa takut salah berbicara itulah penyebab saya gagal kuasai bahasa Inggris secara aktif dan sekarang hanya mampu sekedarnya.
Semoga bermanfaat.