Intisari: Walaupun seseorang mampu hanya mengucapkan sedikit Tipitaka, tetapi mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, ia ikut menikmati buah-buah kehidupan suci atau bhikkhu.
‘Appampi ce sahitaṁ bhāsamāno
dhammassa hoti anudhammacāri
rāgañ ca dosañ ca pahāya mohaṁ
sammappajāno suvimuttacitto
anupādiyāno idha vā huraṁ vā
sa bhāgavā sāmaññassa hoti’’
Artinya: Walaupun mengucapkan sedikit Tipitaka,
tetapi hidup sesuai dengan Dhamma
sehingga menghancurkan nafsu rendah, kebencian dan kebodohan batin,
memiliki pengetahuan benar dan memiliki pikiran yang benar-benar terbebaskan (dari kotoran batin),
tidak melekat pada apa pun di dunia ini atau yang berikutnya,
orang yang demikian ikut menikmati buah-buah dari kehidupan bhikkhu.
Latar Belakang: Kedua orang bhikkhu yang sama seperti di Stanza 19 terkait dengan stanza 20 ini, yaitu yang satu mempelajari Dhamma dan yang satunya lagi mengerti realitas dengan berpraktik
Penjelasan: bhikkhu yang mempelajari dan mengajar sedikit Dhamma, tetapi mempraktikkan Dhamma dan Vinaya serta menjalani kehidupannya sesuia dengan Dhamma, layak menjadi bhikkhu. Hal itu mengesankan bahwa semua ajaran tidak merupakan keharusan untuk mencapai pembebasan akhir. Bahkan dengan sedikit Dhamma dan mempraktikkannya, seseorang dapat memperoleh kehidupan suci.
‘anudhammacāri’ – seorang bhikkhu yang patuh dengan Dhamma sebaiknya hidup dengan rasa muak tentang tubuh ini (rūpa), perasaan (vedanā), persepsi (saññā), bentukan-bentukan pikiran (saṁkāra) dan kesadaran (viññāna). Dalam konteks ini, caraņa atau perilaku yang semestinya memainkan salah satu peran besar.
Yang terutama, bhikkhu yang mematuhi Dhamma diharapkan mempraktikkan ‘Catu-pārisuddhi sīla’ – yaitu praktik berunsur empat untuk memurnikan pikiran, yaitu: i. Pātimokkha-saṁvara sīla – praktik pengekangan diri menurut aturan-aturan disiplin yang ditetapkan di dalam Pātimokkha disiplin untuk para bhikkhu ,
ii. Indriya-saṁvara sīla -praktik pengekangan diri berkenaan dengan enam indra
- Ājīvapārisuddha sīla – praktik pemurnian mata pencarian dengan ketat
- Paccaya sannissita sīla – pemakaian empat kebutuhan pokok bhikkhu misalnya makanan sumbangan, jubah, hanya sebagai salah satu cara untuk mencapai tujuan yang tertinggi.
‘rāgañ ca dosañ ca pahāya mohaṁ’ – Bhikkhu yang mematuhi Dhamma juga diharapkan memberantas nafsu rendah, setiap bentuk kebencian, dan kebodohan batin. Bhikkhu yang demikian dapat merencanakan pelaksanaan 13 buah dhutaṅga (praktik petapa secara kaku atau ketat sekali), yang sebagai berikut:
- Pamsukūlika-aṅga – praktik sebagai pemakai pakaian rombengan yang berupa sampah
- Tecivarika-aṅga – praktik pemakaian jubah berunsur tiga,
- Piņḑapātika-aṅga – praktik sebagai pencari makanan sumbangan,
- Sapadānacārika-aṅga –praktik minta sumbangan dari rumah ke rumah,
- Ekāsanika-aṅga – praktik sebagai orang yang makan satu kali saja,
- Pattapiņḑika-aṅga – praktik sebagai pemakan makanan dari mangkuk,
- Khalupaccābhattika-aṅga- praktik sebagai penolak makanan yang sudah lewat waktu untuk makan,
- Araññika-aṅga – praktik sebagai penghuni hutan,
- Rukkhamūlika-aṅga-praktik sebagai penghuni kaki pohon,
- Abbhokāsika-aṅga – praktik sebagai penghuni ruang/udara terbuka,
- Sosānika-aṅga – praktik sebagai penghuni lahan pembuangan mayat,
- Yathāsantatika-aṅga – praktik sebagai orang tidur di sembarang tempat tidur, dan
- Nesajjika-aṅga – praktik sebagai orang yang hidup tidur hanya dengan duduk (tanpa berbaring dll).
Bhikkhu yang demikian adalah yang suka mempraktikkan “asubha kammaṭṭhāna,” atau sejenis meditasi ketika seseorang sebaiknya mengerti sebuah mayat sebagai benda yang kotor dan bau untuk menghilangkan nafsu-nafsu indrawinya yang jahat. Naskah-naskah Dhamma menjelaskan bahwa penglihatan berunsur sepuluh tentang kekotoran (dasa-asubha-saññā) tubuh kita akan didapatkan dengan mengamati 10 ciri mayat itu. Kegiatan itu akan menimbulkan pencapaian pemusatan pikiran.
Penglihatan Berunsur Sepuluh tentang kekotoran itu adalah sebagai berikut: 1. Gembung; 2.pucat kelabu; 3.bernanah/membusuk; 4.terpotong-potong; 5. tergerogoti; 6. Terpencar-pencar; 7. Terbelah dan terpencar-pencar; 8.berdarah; 9. Penuh dengan cacing; dan 10. Kerangka.
- Dengan berbagai cara tersebut, seorang bhikkhu dapat memberantas nafsu-nafsu indrawi maupun kotoran batinnya yang lain dan ia dapat mencapai tujuan akhir sedikit demi sedikit. Mudah bagi dirinya mengendalikan pikirannya dan bebas dari sifat-sifat jahat.
anupādiyāno – ia tidak memiliki kemelekatan apa pun pada semua hal yang terbentuk dan tidak menganggapnya sebagai permanen, menguntungkan atau membahagiakan.Jadi, ia bebas dari semua kemelekatan.
Naskah bahasa Inggris ditulis oleh
Prof. Seevali, DEA, Ph.D, dari Bodhi Dharma Society & Buddha Dharma Television, Malaysia
Diterjemahkan menjadi bahasa Indonesia oleh
Tjan Sie Tek, M.Sc., Sworn1997 Translator1978
https://www.tjansietek.com; tst228@yahoo.com